20. Nenek Maura

1874 Kata
Terkadang orang-orang di dunia ini memiliki cara unik sendiri-sendiri tentang bagaimana cara untuk menghilangkan kesedihan mereka. Adakalanya, cara itu berhasil meski tak jarang pula hanya berhasil untuk beberapa menit dan ketika sendirian kesedihan itu akan datang kembali. Tapi tak mengapa, setidaknya dalam hitungan menit tersebut, mereka jadi punya ruang untuk bernapas. Namun, rasa sedih karena patah hati mungkin agak terlalu sulit untuk dihilangkan. Bagaimana pun rasa kecewa itu lebih menyakiti hati dan menusuk dari pada kesedihan tentang kerumitan hubungan antar teman atau masalah pekerjaan di kantor. Begitu pula yang terjadi pada Chelsea. Hatinya yang patah membuat dia mencari cara untuk bagaimana menyembuhkan luka tersebut. Dan salah satu cara paling ampuh baginya adalah makan, makan dan makan. Karena alasan itulah sekarang Chelsea sudah berada di restoran cepat saji langganannya. Jika saja bukan karena Manda sedang ada janji kencan dengan kekasihnya, wanita itu pasti dengan senang hati akan menemani Chelsea makan banyak-banyak di sana. “Selamat datang, mau pesan apa?” tanya seorang pramusaji dari balik counter. Chelsea pun menyebutkan beberapa menu makanan cepat saji yang ingin dia makan. Cukup banyak sehingga sang pramusaji mengira Chelsea sedang memesan makanan untuk tiga sampai empat orang namun Chelsea berkata dia akan memakannya sendiri. “Memang habis Mbak?” tanya pramusaji pada Chelsea. “Habis dong! Kan lagi sakit hati,” jawab Chelsea jujur. Gadis pramusaji yang memakai hijab warna pink itu ber-oh ria, tidak menanyakan tentang kepatah hatian Chelsea lebih lanjut. Dia hanya berusaha memahami dan memaklumi sikap Chelsea yang ingin makan banyak saat ini. “Mari, saya bantu bawakan ke meja,” tawar si mbak pramusaji karena Chelsea tidak mungkin membawa empat nampan berisi makanan sekaligus. “Terima kasih, Mbak.” Tersenyum, mbak pramusaji itu mengikuti ke mana Chelsea melangkah. Di mana ternyata mereka menjumpai bahwa bangku dalam restoran tersebut sudah penuh. Membuat Chelsea sempat kebingungan mencari tempat duduk. Maklum, restoran tersebut memang hampir tidak pernah sepi pengunjung. “Penuh nih mbak kursinya,” ujar mbak pramusaji. Chelsea mengangguk, namun matanya terus menyelusuri meja yang ada. Hingga dia menemukan sebuah meja yang hanya ditempati oleh seorang wanita berambut putih, Chelsea berkata pada mbak pramusaji itu. “Duduk di sana aja, Mbak!” tunjuknya. Keduanya menuju meja yang diinginkan Chelsea, akan tetapi sebelum Chelsea memutuskan untuk duduk, dia menyapa ramah seorang nenek tua tersebut. “Permisi, Nenek. Boleh saya duduk di sini?” tanya Chelsea dengan seulas senyum di bibir. Nenek-nenek tersebut mengangkat kepala, membalas senyum Chelsea dengan senyuman yang tak kalah lebar. “Boleh,” angguknya. “Terima kasih,” ucap Chelsea yang langsung duduk di seberang kursi nenek tersebut. Mbak pramusaji yang tadi bersama Chelsea langsung meletakkan dua nampan di tangan di atas meja lalu pamit kembali bekerja. “Maaf ya, Nek. Saya makannya agak banyak,” kata Chelsea setengah tidak enak karena makanannya memenuhi meja. “Tidak apa-apa. Anak muda memang harus makan banyak.” Jeda sejenak. “Tapi memangnya kamu habis makan ini semua? Atau kamu pesan buat dua orang? Lagi nunggu teman ya?” Chelsea menggeleng. “Nggak, saya sendirian. Kalau Nenek mau, Nenek bisa kok makan sama saya!” ujar Chelsea menawarkan. “Hahaha, tidak usah. Satu burger saja perutku rasanya sudah penuh ini!” tunjuk sang nenek pada burgernya yang sisa separuh. Sempat mengamati wajah sang nenek dengan seksama secara diam-diam, Chelsea bisa menebak jika beliau adalah orang yang sangat ramah dan sederhana. Meski wajahnya sudah banyak ditumbuhi oleh keriput karena dimakan usia, sang nenek tetap terlihat segar dan sehat. Meski begitu ada satu sisi yang ditangkap oleh Chelsea dari balik senyum sang nenek. Bahwa dia terlihat begitu kesepian. “Nenek sendiri? Sendirian di sini atau nunggu anak atau cucu buat ke sini?” tanya Chelsea berbasa-basi. “Saya baru lihat Nenek mengunjungi restoran ini.” “Jadi kamu langganan di restoran ini?” “Iya,” angguk Chelsea. “Saya bisa datang ke sini setiap minggu, bahkan dua sampai tiga kali dalam satu minggu. Dan saya nggak pernah ketemu Nenek.” “Ini memang kali pertama aku datang di tempat ini. Iseng saja. Aku tadi lihat banyak orang mampir di sini jadi tidak ada salahnya jika aku juga mencoba makanan di sini. Ternyata, enak juga. Burger ini saja rasanya enak. Cocok di lidahku yang sudah tua ini.” “Memang sih makanan di sini enak enak banget Nek! Makanya saya suka. Ini, coba deh kentang gorengnya! Renyah, pakai banget!” Chelsea menawarkan kentang goreng pesanannya pada si nenek, beliau pun mencobanya dengan senang hati. “Wah, kamu benar. Ini empuk dan renyah. Gurihnya pas juga.” “Iya kan? Apa saya bilang? Udah ini makan berdua aja.” Keduanya pun akhirnya mengobrol seru tentang menu-menu makanan di restoran tersebut. “Oh iya, nama kamu siapa?” tanya si nenek kemudian. “Saya Chelsea, Nek. Kalau Nenek sendiri, namanya siapa?” “Aku Maura.” “Oh, Nenek Maura,” ulang Chelsea senang. Pasalnya nenek kandungnya sudah lama meninggal saat dia masih kecil. Jadi bertemu dengan Maura mengingatkannya pada almarhumah sang nenek. “Nenek tinggal di mana? Jauh dari sini?” tanya Chelsea. “Lumayan sih. Sekitar setengah jam dari sini. Kamu?” “Kalau saya dekat sih, Nek. Jalan kaki sepuluh menit sampai di apartemen. Kapan-kapan kalau Nenek mampir ke sini lagi, boleh kok mampir ke apartemen saya. Nanti saya kenalkan sama sahabat baik saya, namanya Manda. Dia itu orangnya cerewet tapi baik ... bla ... bla ... bla ...” Chelsea mulai bercerita banyak hal tentang Manda. Memang, dia selalu membanggakan seahabatnya itu pada siapa pun. Bagaimana pun, hanya Mandalah yang selalu ada buat Chelsea. Hanya Manda satu-satunya orang yang mau berteman dengannya apa adanya bukan karena ada apanya. Dan hanya Mandalah satu-satunya perempuan yang mau mengulurkan tangannya ketika seluruh dunia memusuhi Chelsea. “Jadi, kalau Nek Maura ketemu sama Manda, pasti Nenek akan suka banget. Dia itu rame banget orangnya. Eh tapi Nek Maura juga harus ngelus d**a sih kalau-kalau tiba-tiba dia bersikap bar-bar. Tapi meski begitu saya jamin, Manda adalah cewek yang sangat tulus!” Maura tertawa kecil. “Saya rasa kamu juga tidak kalah tulus seperti teman kamu.” “Ah, Nek Maura bisa aja,” jawab Chelsea. Lalu entah bagaimana dia kembali pada ingatannya yang membuat dia berakhir di restoran itu. Hingga tanpa sadar Chelsea bergumam lirih, “Tapi percuma aja tulus kalau yang disukai nggak bisa menerima ketulusan itu.” Maura tersenyum tipis, kemudian menggenggam tangan Chelsea. “Ada laki-laki yang kamu suka, ya?” tebaknya, langsung menatap dua iris mata Chelsea. Untuk sesaat, Chelsea bisa melihat bahwa iris mata Maura benar-benar berwarna hitam bulat dan masih jernih, tanda jika penglihatan beliau masih benar-benar sehat. Chelsea jadi yakin bahwa semasa muda wanita yang sebagian besar rambutnya sudah memutih tersebut sangatlah cantik. “Sebenarnya ... ada sih,” lirih Chelsea. Tidak yakin apakah sopan bercerita tentang laki-laki pada orang yang pertama kali dia temui. Namun tatapan Maura adalah jenis tatapan yang siap menunggu cucunya untuk menceritakan keluh kesahnya serandom apapun itu. Sama seperti yang Chelsea ingat dari neneknya dulu. “Nggak apa-apa, cerita saja. Begini begini, aku sudah hidup lebih lama dari kamu. Mungkin aku bisa kasih solusi?” ucap Maura. Suaranya terdengar lembut menyenangkan. “Tapi kalau kamu nggak ingin tidak apa sih, aku nggak akan maksa. Kan itu hak kamu.” Chelsea menggigit bibir. Mungkin dia bisa bercerita sedikit tentang kisah cintanya yang tragis, menyukai CEO-nya yang mencintai sesama jenis. “Nggak apa ini Nek kalau saya cerita? Nenek nggak buru-buru mau pulang?” tanya Chelsea hati-hati. “Enggak. Justru aku senang ada di sini dan ngobrol sama kamu. Dari pada di rumah. Sepi,” jawab Maura. Akhirnya, Chelsea pun menceritakan tentang Bastian. Tentang pertama kali saat dia melihat dan jatuh cinta pada Bastian, kemudian dirinya yang melamar pekerjaan sebagai office girl, lalu sempat berhenti karena Bastian melarangnya untuk membersihkan ruang kerjanya sampai Chelsea akhirnya kembali menjadi OG di sana karena tidak ada satu pun OB yang berani berurusan dengan Bastian. “Alasannya?” tanya Maura penasaran. “Kenapa para OB takut berurusan sama dia?” Chelsea menggaruk rambut yang tidak gatal. Ragu untuk menyampaikan masalah penyimpangan s*****l. Bagaimana pun Chelsea paham bahwa dulu mungkin di jaman Maura tidak segila di jaman Chelsea di mana menyukai sesama jenis mulai dilegalkan di banyak negara. “Itu ... eum ... sebenarnya masalah orientasi s*****l sih Nek.” “Orientasi s*****l?” Dahi Maura berkerut dalam. “Iya,” angguk Chelsea. “Jadi sebenarnya ... Pak Bastian itu ...,” Chelsea mencondongkan tubuh sedikit ke depan, kemudian berbisik karena takut pembicaraan mereka ada yang mencuri dengar. “ ... Gay.” Hening. Untuk beberapa detik Maura terdiam. Bibirnya sedikit terbuka karena mencerna kalimat Chelsea barusan. “Gay maksudnya yang beneran gay alias pecinta sesama jenis?” tanya Maura. Chelsea mengangguk lagi. “Iya,” cicitnya. “Dari mana mereka tahu kalau Bastian itu gay? Mungkin itu hanya rumor. Biar nggak ada perempuan yang mendekatinya,” kata Maura berpendapat. “Awalnya saya juga mikir gitu, Nek. Tapi ternyata omongan orang-orang itu benar.” “Masa sih? Eh tapi kamu ini bekerja di mana?” “Di perusahaan WINA.” “Perusahaan WINA yang perusahaan otomotif kendaraan terbesar se-Indonesia itu bukan?” “Iya, Nek,” sahut Chelsea. “Ya, meskipun posisi saya nggak bisa dibanggakan sih, hehe.” “Apapun profesi pekerjaan itu sama saja, nggak ada yang rendah. Jadi kamu nggak boleh malu atau bilang begitu.” “Iya sih, saya nggak malu kok. Serius! Malah senang ... sampai kejadian pagi tadi sih.” “Kejadian apa?” Kini rasa penasaran Maura makin memuncak. “Itu ... jadi saya lihat Pak Bastian ke kantor membawa pacarnya." "Pacar? Maksud kamu pacar laki-laki? Yakin itu bukan teman?" tanya Maura bertubi-tubi. Nampaknya nenek tersebut masih menyangsikan cerita Chelsea bahwa di dalam negaranya, di dalam kota tempat dia tinggal ada orang yang mempunyai kelainan orientasi s*****l. "Iya, Nek. Seratus persen dia pacar Pak Bastian!" "Tahu dari mana? Kali aja kamu salah paham. Jaman sekarang anak-anak muda kan begitu, kadang suka menyimpulkan sesuatu yang tidak benar lalu menyebarkan gosip tidak mengenakkan." "Ya tapi ini serius, Nek! Kali ini benar-benar pacarnya." Chelsea sangat tidak ingin bercerita lebih jauh namun entah bagaimana hatinya terdorong untuk melakukannya. Ia pikir mungkin dengan cara ini hatinya bisa lebih lega dari sakit hati yang menyesakkan d**a. "Soalnya saya sempat lihat mereka berciuman," kata Chelsea lirih setengah menggumam. Meski begitu Maura bisa mendengar dengan sangat jelas di setiap suku katanya. "Berciuman? Dua laki-laki itu?!" Chelsea mengangguk polos. Bibirnya tertekuk ke bawah sementara wajahnya terlihat kembali sedih. Mendung pun terlihat di kelopak mata namun berusaha ditahan agar tidak menjadi hujan. "Padahal saya udah yakin kalau Pak Bastian itu calon suami masa depan saya. Sekarang harapan saya pupus sudah." Chelsea menarik napas dalam, kemudian mencomot kentang goreng dan memakannya. Disusul dengan comotan-comotan makanan lain hingga mulutnya penuh. Oke, dengan cara ini setidaknya Chelsea bisa memastikan air matanya tidak jatuh. Dia tidak menangis lagi. "Yang sabar, ya. Mungkin dia bukan jodoh kamu," kata Maura kemudian, yang bisa melihat kesedihan Chelsea. Wanita itu bahkan rela susah-susah berdiri dari tempat duduk untuk mengelus punggung Chelsea. Dan hal itu malah berakibat fatal. Karena hal yang terjadi selanjutnya adalah pertahanan Chelsea yang gagal. Gadis itu menangis lagi. Namun kali ini tidak sendiri di dalam bilik toilet, melainkan bersama Maura di restoran favoritnya sambil makan makanan enak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN