Pertemuan Chelsea dengan Maura nyatanya membawa dampak positif untuk gadis berusia dua puluh empat tahun tersebut. Maura banyak memberikan nasihat-nasihat bijak pada Chelsea tentang arti hidup dan bagaimana cara menjalaninya dengan baik. Dengan kata lain, nenek yang sudah berusia enam puluh tahun tapi masih sangat sehat tersebut mampu membuat Chelsea sedikit demi sedikit bisa melupakan tentang rasa sakitnya setelah mengetahui fakta mengejutkan tentang Bastian.
“Hidup itu terus berjalan. Kalau ada satu hal yang membuat kamu sakit saat ini, jangan terlarut terlalu lama ketika bersedih. Tapi teruslah berjalan. Awalnya memang susah. Berat. Tapi seiring dengan berjalannya waktu semua akan menjadi ringan dan lebih mudah. Dan ketika kamu sudah berada di titik yang lebih jauh, kamu akan terkejut mengetahui betapa kuat diri kamu untuk melalui rasa sakit itu.” Maura berkata di suatu sore. Dia berjanji temu dengan Chelsea di taman dekat apartemen Chelsea tinggal. Sejak Maura bertemu dengan Chelsea dan jatuh cinta pada restoran cepat saji favorit Chelsea, Maura jadi sering mampir ke sana saat luang.
“Aku tidak mengatakan waktu akan menyembuhkan luka, Nak. Karena sejatinya Cuma diri kamu sendirilah yang bisa menyembuhkan luka di hati kamu.”
Maura memang benar. Tidak akan ada yang berhasil tanpa ada niat yang kuat dari dalam diri sendiri. sebab sebanyak apapun usaha, jika tidak ada niat yang kuat hasilnya akan sia-sia. Sam asaja.
Dan di sinilah Chelsea berada sekarang. Bekerja seperti biasa membersihkan ruang kerja Bastian.
Berpegang dengan nasihat Maura bahwa Chelsea pasti mampu melewati masa-masa terberat seperti move-on, gadis itu berusaha untuk bisa bekerja secara profesional. Tidak seperti beberapa hari yang lalu di mana dia dengan mudah memutuskan untuk resign, kali ini Chelsea berusaha bertahan untuk satu bulan.
Yah, setidaknya Chelsea butuh persiapan untuk melepaskan hatinya sebelum benar-benar pergi. Dia tidak bisa langsung melepas rasa cintanya pada Bastian secepat kilat dan Chelsea paham itu. Harus perlahan-lahan dan membiasakan diri terlebih dulu untuk menerima kenyataan bahwa Bastian adalah seorang gay, barulah Chelsea bisa move on.
“Benar, hidup itu keras,” gumam Chelsea sambil menghela napas berat. “Yang kuat ya hati! Pasti bisaaaaa!!” serunya kemudian sambil menepuk d**a.
Dengan semangat berlebih, gadis itu mulai membersihkan setiap sudut ruang kerja Bastian. Selama ini memang pekerjaannya sebagai office girl tidak pernah mengecewakan. Hal ini terbukti dengan Bastian yang tidak pernah protes apapun bahkan tentang masalah kopi sekali pun. Pria yang perfeksionis dalam hal kebersihan tersebut anteng-anteng saja sejak Chelsea yang menjadi OB khusus lantai tiga puluh.
Selesai membersihkan ruangan Bastian, Chelsea keluar dari sana. Dia menuju pantries untuk membuatkan kopi hitam untuk CEO-nya seperti biasa.
***
Bastian datang ke kantor lebih pagi hari ini.
Bukan, kali ini bukan temannya Rafael yang datang, melainkan neneknya.
Entah mimpi apa Bastian tadi malam hingga nenek tua tersebut pagi-pagi sudah muncul di depan apartemennya. Membangunkan Bastian, mengomelinya dan yang lebih penting lagi memintanya untuk kembali tinggal di rumah.
“Kembali pulang ke rumah. Rumah sepi tidak ada orang,” kata Nenek sambil duduk di sofa. Maura.
Rambut yang dulu Cuma ditumbuhi sedikit uban, kini rambut putih tersebut sudah hampir menutup semua rambut hitamnya. Wajahnya pun terlihat semakin keriput sejak terakhir kali Bastian bertemu dengannya.
“Sepi bagaimana sih, Nek? Kan banyak pelayan di sana. Lagian Bastian lebih nyaman tinggal di sini. Rumah itu terlalu besar untuk disebut sebagai sebuah rumah. Bastian capek jalannya,” tukas Bastian beralasan.
“Alasan saja kamu! Rumah Cuma tiga lantai dibilang terlalu besar. Lagian kamu nggak perlu naik tangga tiap mau ke lantai atas. Nenek sudah pasang lift.”
Sudut bibir Bastian berkedut geli. Neneknya memang tidak ada duanya.
“Kan di rumah sudah ada Pram, Nek,” tutur Bastian lembut. Dia meraih tangan sang nenek dan mengelus tangan yang sudah keriput tersebut. “Memang nenek mau lihat Pram sama Bastian berantem di rumah tiap hari? Nnati bukannya sehat, nenek malah jadi darah tinggi tiap hari. Kalau sudah begitu, nanti nenek lebih cepat menghadap Ilahi.”
Maura mendelik, kemudian menjewer telinga Bastian, membuat cucunya langsung mengaduh. “Cucu kurang ajar! Doain Nenek cepet mati ya! Nenek kutuk kamu juga lama-lama.”
“Aduuuh, ampun Nek ampuuun,” ucap Bastian setengah terkekeh setengah kesakitan.
Maura yang tidak tega pun melepas jewerannya sambil mendengus kesal.
“Maaf, Nek. Bastian bukan mendoakan tapi memaparkan sebuah fakta dan realita.”
“Terserah! Pokoknya Nenek mau kamu kembali ke rumah! Titik! Nenek kesepian Bastian.”
“Kan ada Pram—“
“Dia sudah minggat! Ck!” Maura berdecak sebal, lalu memijit pelipisnya karena pusing. “Heran. Punya cucu dua tapi durhaka dua-duanya. Mereka lebih mementingkan diri sendiri dari pada orang tua ini. Kalau nanti Nenek menghadap Tuhan dan bertemu kakek kamu, Nenek pasti akan sangat malu!”
“Nenek kok ngomong gitu? Nggak dong! Justru kakek bakal bangga sama nenek.”
“Bangga, gundulmu!” maki Maura. Sekali lagi membuat Bastian terkekeh geli.
“Nek, sudah tua dibiasakan bicara yang baik.”
“Dengan kamu rasanya mustahil!” jawab Maura.
Kemudian hening sejenak. Maura berdiri, kemudian berjalan ke jendela apartemen yang setinggi dinding. Mata wanita itu menyipit sebab terkena tembusan silau sinar matahari.
Pemandangan langit memang nampak selalu indah, namun tidak ada yang menandingi keindahannya jika dilihat di atas ketinggian apartemen ini. Alasan inilah kenapa dulu almarhum suaminya membeli unit apartemen ini sebelum Maura berikan pada Bastian beberapa tahun silam.
“Nek?” panggil Bastian lembut. Pria bertubuh tegap tersebut memeluk Maura dari belakang.
Bastian menyayangi Maura. Sangat! Rasanya apapun akan dia lakukan demi sang nenek.
Hanya saja Maura belum tahu bahwa Bastian benci kembali ke rumah. Bastian benci teringat dengan kenangan masa lalu.
Maura tidak tahu kalau Bastian sering bermipi buruk di rumah itu. Setiap kali dia memejamkan mata, maka dia hanya akan melihat gambaran masa lalu. Hal itu bisa membuatnya ke tingkat stress dan bahkan hampir gila.
Maura tidak tahu. Dan Bastian enggan memberi tahu.
“Nenek rindu sama kamu,” lirih Maura. Menyandarkan kepalanya di d**a Bastian yang nyaman.
“Maaf Bastian yang salah. Bastian jarang berkunjung karena kesibukan mengurus perusahaan,” kata Bastian, mengecup puncak rambut kepala Maura. “Setelah ini Bastian janji bakal sering-sering mengunjungi Nenek.”
“Terdengar seperti omong kosong! Persis seperti Pramudia!” sahut Maura geli.
Bastian mendengus kecil. “Jangan samakan aku dengan bocah itu. Nanti kalau ketemu biar Bastian hajar. Beraninya ninggalin Nenek tinggal sendirian di rumah!”
Maura tertawa. “Sama kan kayak kamu?”
“Gimana kalau Nenek tinggal aja di sini?”
“Nggak mau!” tolak Maura langsung. “Nanti rumah kita jadi berhantu.”
Bastian tahu itu cuma alasan Maura. Wanita tua tersebut hanya sayang jika meninggalkan rumah peninggalan almarhum kakek. Sekali saja Maura meninggalkan rumah itu, mungkin itu akan langsung berbalik nama.
Sungguh, Bastian merasa kasihan sebenarnya pada Maura. Sebab di usianya yang tak lagi muda, dia harus memikirkan banyak hal. Meski pun Bastian sebenarnya juga tidak masalah jika rumah tersebut dijual atau berbalik nama sekali pun. Toh dia tahu dia tidak akan bisa tinggal di sana untuk selamanya.
Setelah pembicaraan itu, Maura memaksa Bastian untuk sarapan dengannya di luar. Kemudian jalan-jalan di taman sambil mendengarkan ocehan wanita tua tersebut.
“Usia kamu sudah matang untuk menikah. Sebelum nenek kamu ini mati, nenek ingin kenal calon kamu. Dan nenek akan tahu kalau kamu menyewa calon istri bayaran!” peringat Maura dengan nada serius.
Bastian mesem saja. Kemudian menganggukkan kepala.
“Iya, nanti Bastian bawa Alex ke rumah. Nenek tunggu saja.”
Dan sebelum Maura melemparkan sepatunya ke kepala Bastian, pria itu sudah kabur dari sana. Dia berseru pada Maura dan berpamitan untuk pergi bekerja.
“Jaga nenek ya, Pak! Kalau ada apa-apa, langsung hubungi nomor saya,” pesannya pada Pak Tino, supir pribadi Maura.
***
“Pagi, Pak Bastian.”
“Pagi, Pak.”
“P-p-p-pagi.”
Seluruh sapaan dari karyawan yang berpapasan telah Bastian terima. Mulai dari yang benar-benar sopan, seadanya atau malah tergagap. Kini setelah tahu alasan kenapa para karyawan laki-laki selalu tegang ketika bersamanya terjawab sudah akibat bantuan dari para OB, dia tidak heran lagi mengapa mereka ketakutan tiap bertemu dengannya.
Sungguh sampai sekarang Bastian masih tidak habis pikir kenapa hanya karena dia gay orang-orang jadi takut padanya. Takut di notice katanya. Lalu kenapa banyak sekali pelamar pekerjaan diperusahaan WINA?
Dan mendadak jawaban bodoh itu muncul di kepala Bastian; bahwa mereka bekerja di tempat ini sebab perusahaan WINA adlaah salah satu perusahaan besar di Indonesia. Gaji karyawan juga tidak main-main selama kinerjanya bagus. Tidak ada nepotisme di sini. Semua bekerja sesuai dengan kemampuan dan tes ketat yang diberikan oleh tim HRD. Sebeb itulah perusahaan bisa berjalan dengan baik sampai saat ini.
Bastian masuk ke dalam lift, kemudian menekan tombol tiga puluh. Akan tetapi sebelum lift tersebut benar-benar naik, pintu ditahan oleh tangan seseorang. Saat terbuka, muncullah sosok Indra dari luar, masuk ke dalam.
“Pagi,” sapanya santai pada Bastian.
Benar, Bastian baru ingat satu-satunya karyawan pria yang tidak takut padanya hanyalah Indra. Mungkin karena dia terlalu profesional, atau mungkin karena Indra tahu Bastian tidak akan tertarik padanya? Mereka sudah kenal terlalu lama.
“Pagi,” sapa Bastian balik. Dia bergeser ke samping agar Indra bisa berdiri di sampingnya.
“Tumben sudah sampai jam sekarang?” tanya Indra sambil melirik arlojinya.
“Iya,” jawab Bastian. “Sedang ingin menjadi bos yang rajin.”
“Hahaha. Lucu. Oh iya, data-data perusahaan yang kamu minta sudah aku masukkan dalam laptop yang kamu kirimkan melalui Gojek tadi malam.”
“Oh ya? Secepat itu?”
“Aku hanya perlu mentransfer data, bukan mengaudit atau mengoreksinya untuk membuat langkah kebijakan ke depan. Itu tugas kamu, Pak CEO!”
“Iya iya. Kalau begitu bawa laptopnya nanti ke ruanganku.”
Ting!
Lift terbuka, mereka sudah sampai di lantai tiga puluh.
Bastian hampir saja melangkah keluar namun tiba-tiba ponselnya berdering. Pria itu merogoh saku dan melihat nama Alex tertera di sana. Tanpa pikir panjang, dia pun menjawab panggilan tersebut.
“Halo?”
“Halo, Sayangku? Kamu di mana? Masih di apartemen kamu kan?”
“Nggak. Aku sudah ada di kantor. Kenapa?” tanya Bastian.
Alex mengatakan sesuatu di seberang telepon yang membuat Bastian sedikit terkejut, cemas. Kemudian sebelum Alex berbicara lebih jauh lagi, Bastian sudah menyela dengan cepat.
“Jangan lakukan hal bodoh dan tunggu aku di sana. Aku jemput kamu sekarang!”