Yudha yang sedang menikmati kesendiriannya di depan perapian sambil menikmati secangkir teh hangat, menoleh saat seseorang duduk di sampingnya. Tapi, Yudha hanya tersenyum tipis setelah tahu siapa yang datang.
Yudhi menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Tangannya memilin gelas berkaki panjang berisi cairan merah.
Tidak ada yang berinisiatif untuk memulai pembicaraan di antara kedua pria itu. Tapi, tentu kedatangan Yudhi di sana, hendak membicarakan sesuatu pada kembarannya.
Mengingat hubungan Yudhi begitu canggung sekarang, dan membuat Yudhi lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit.
"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Yudha akhirnya. Sepertinya ia tidak tahan dengan aksi saling diam itu.
"Baik. Sedikit bikin capek tapi sejauh ini lancar aja," jawab Yudhi. Kemudian, suasana kembali hening.
"Dha, ada dokter spesialis bagus di Berlin. Aku dapat info dari teman sejawatku. Gimana kalau kita coba konsultasi dulu ke sana?"
Yudha mengulas senyum dan menggeleng. Lalu ia menyesap tehnya. "Kau ingat berapa dokter spesialis yang sudah aku datangi, dan hasilnya masih tetap sama?"
"Ya, tapi, apa salahnya kita coba terus?"
Kembali Yudha mengulas senyumnya. "Aku sudah capek, Dhi. Aku akan jalani pengobatan yang sekarang saja. Selebihnya aku pasrahkan pada takdir."
Yudhi mendecak.
"Kamu nggak mikirin Dara dan anak dalam kandungannya?"
Mendengar Yudhi menyebut nama Dara, Yudha menoleh padanya. "Justru yang aku lakukan ini karena aku mikirin Dara dan calon anak kami."
Yudhi mengerutkan keningnya. Ia tidak bisa mencerna ucapan kembarannya itu.
"Kamu mau, kan, menjaga Dara dan anak kami saat aku sudah tidak ada?"
Yudhi terkesiap mendengar ucapan Yudha. Ia menggeleng. "Kenapa kamu ngomong seperti itu?" timpalnya.
"Ya, kamu satu-satunya orang yang tepat untuk menggantikan posisiku sebagai suami Dara."
Yudhi meletakkan gelas anggurnya ke atas meja. Ia sadar, hubungan masa lalunya dengan Dara, menjadi salah satu faktor Yudha begitu pesimis dengan penyakitnya. Ini yang harus ia luruskan. Sejujurnya, inilah yang ingin ia bicarakan dengan Yudha malam ini.
"Semua orang punya masa lalu, dan kebetulan masa laluku bersama Dara, istrimu. Tapi, itu sudah lama berlalu. Kamu tidak usah berpikiran macam-macam tentang aku dan Dara. Dia cinta sama kamu," terangnya.
Yudha tersenyum tipis. Ia ikut meletakkan cangkir tehnya ke atas meja. Lalu menghela napas dalam-dalam.
"Dulu, aku yang hadir di antara kalian."
Yudhi mendecak. "Kenapa harus fokus dengan masa lalu? Kita fokus dengan pengobatan kamu. Itu yang terpenting."
Yudha tertawa hambar. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Matanya menatap perapian yang apinya masih setia menyala.
"Aku hanya ingin memastikan kau akan menjaga Dara dan anak kami nanti."
Yudhi menghela napasnya berat.
Sepertinya ia tidak harus melanjutkan obrolan ini. Ia mengambil gelasnya di atas meja, dan beranjak dari duduknya.
"Sebaiknya kamu tidur, Dhi. Sudah malam," ujar Yudhi sebelum berlalu dari ruangan itu.
Kini, tinggallah Yudha sendiri. Ia menyugar rambutnya pelan. Dadanya berkecamuk dengan pikiran-pikiran yang ia buat sendiri.
***
Saat Yudhi melintas di dekat tangga, ia melihat Dara sedang melangkah turun dengan hati-hati. Ia ingin menghindari wanita itu, tapi, sepertinya Dara kepayahan menuruni tangga.
"Aduh," desis Dara seraya memegangi pinggangnya.
Yudhi yang takut terjadi apa-apa dengan Dara, segera menaiki tangga dan membantu wanita itu turun. Meskipun Dara sedikit terkejut melihat Yudhi, tapi ia menerima saja bantuan dari pria itu. Ia memang sedang kesusahan menuruni tangga karena pinggangnya sedang terasa pegal.
"Kamu nyari Yudha?" tanya Yudhi seraya membantu Dara duduk di atas sofa.
Dara mengangguk. "Kamu tahu di mana dia? Aku menunggunya dari setelah makan malam tadi. Dia bilang mau cari udara segar, tapi, ini sudah jam sebelas malam dan dia belum masuk kamar."
Dara meringis memegangi pinggangnya. Ia berusaha mengatur napasnya yang sedikit tersengal.
"Dia ada di ruang perapian," jawab Yudhi.
"Kamu tidak apa-apa? Mana yang sakit?"
"Tidak apa-apa. Cuma pegal di pinggang."
Yudhi maklum. Perut sebesar itu dan ditopang oleh tubuh mungilnya, tentu membuat Dara kepayahan. Nalurinya sebagi dokter membawa tangannya pelan memijit pinggang wanita yang pernah mengisi hari-harinya di masa lalu itu.
Saat itu, Yudha muncul dari balik pintu dan berdiri mematung melihat interaksi Yudhi dan Dara. Keduanya belum menyadari kedatangannya.
Yudha tersenyum. Meskipun hatinya perih melihat pemandangan itu, tapi, ia berpikir bahwa lebih baik memang seperti itu. Biar Dara terbiasa dengan perhatian dari Yudhi. Nantinya jika ia tidak ada, semuanya bisa berjalan baik.
"Dha?" Yudhi segera menghentikan pijatannya di pinggang Dara, saat menyadari Yudha sedang berdiri di dekat pintu, memperhatikan dirinya dan Dara.
"Dara cari kamu," ucapnya seraya beranjak dari duduknya. "Tadi, Dara menuruni tangga dan pinggangnya sakit," terangnya. Seakan-akan ingin menjelaskan kenapa ia memijit pinggang Dara. Bahwa ia hanya ingin membantu.
Yudha tersenyum tipis. "Maaf, ya, Sayang, kamu nungguin aku lama," ucapnya seraya mendekat ke arah Dara.
"Makasih, Dhi," ucap Yudha pada kembarannya. Kemudian ia membantu Dara berdiri dan keduanya menaiki tangga menuju kamar mereka.
"Pelan-pelan," ucap Yudha saat membantu Dara berbaring.
"Yudhi cuma membantu, Mas," terang Dara. Ia merasa tidak enak pada sang suami. Ia takut Yudha berpikiran macam-macam lagi.
"Tidak apa-apa, Sayang."
Dara menelan salivanya dengan susah payah. Kini Yudha berbaring memunggunginya.
"Jangan marah, Sayang," ucap Dara was-was.
Terdengar Yudha terkekeh pelan. "Aku nggak marah. Justru aku seneng melihat Yudhi menjaga kamu. Aku bisa tenang sekarang."
Dara memejamkan matanya sejenak. Ia tahu arah pembicaraan Yudha, dan tidak berniat untuk menimpalinya.
"Mas, bisa menghadap ke sini?" pinta Dara seraya menyentuh punggung Yudha.
Pelan Yudha memutar badannya. Ia menatap Dara lekat.
Wanita itu berusaha untuk mendekatkan wajahnya pada sang suami, meskipun perutnya yang besar sedikit menghalangi.
Dara mendekatkan bibirnya pada bibir Yudha, kemudian memagutnya. Beberapa saat bibir mereka saling bertaut, tapi seperti ada yang membuat Yudha harus menghentikan ciumannya.
"Sudah malam. Sebaiknya kita tidur. Aku sedikit capek," ucap Yudha.
Dara menghela napas kecewa. Ia ingin menyatu dengan Yudha malam ini. Tentunya dengan nasehat dokter yang mengatakan ia harus berhati-hati saat melakukan hubungan suami istri.
"Kamu bisa peluk aku?" pinta Dara pada akhirnya. Ia memutar badan memunggungi Yudha dan menanti suaminya itu mendekapnya. Beberapa saat ia menunggu hingga akhirnya ia merasakan tangan Yudha menelusup ke pinggangnya. Punggung Dara pun terasa hangat saat d**a Yudha menempel padanya.
Dara mengeratkan pelukan Yudha. Ia merasakan hembusan napas pelan Yudha meniup tengkuknya. Dara berharap bibir Yudha akan menyapu lehernya.
Namun, sepertinya tidak akan terjadi apa-apa. Napas Yudha terdengar halus, pertanda pria itu telah pergi ke alam mimpi.