Perjalanan dari Hospital Saint-Loius menuju mansion mereka di Marais terasa mendebarkan bagi Dara. Dokter mengizinkannya pulang lebih awal karena tidak ada hal serius yang terjadi pada kandungannya, dan perkiraan tanggal kelahiran bayinya pun masih lama.
Ia menghela napasnya. Ada beberapa hal yang ingin ia sampaikan pada Yudha.
Entahlah. Rasanya seperti ada perang dingin tak kasat mata antara dirinya dan suaminya itu, sejak ia menceritakan hubungan masa lalunya dengan Yudhi. Penyakit yang diderita Yudha pun membuat suaminya itu tidak lagi sama.
Bahkan, Yudha pun tidak menjenguknya di rumah sakit. Siapa yang paling dibutuhkan wanita hamil di sampingnya saat ada masalah dengan kandungannya, meskipun bukan masalah serius, kalau bukan suaminya.
Dara melempar pandang keluar jendela mobil, menikmati pepohonan tidak berdaun di sepanjang jalan yang diselimuti salju tipis. Sesekali ia melonggarkan syal di lehernya, dan menghela napasnya pelan.
"Apa kamu baik-baik saja, Dara?" tanya Rere di samping Yudhi yang sedang mengemudi. Wanita itu mendengar beberapa kali sang adik ipar menghela napasnya, berat.
"Aku baik-baik saja, Mbak." Dara mengulas senyum tipis. Lalu memandang sekilas pada Yudhi yang sedang fokus pada jalanan.
"Tidak ada keluhan apa-apa, kan?" tanya Rere memastikan.
"Tidak ada, Mbak." Dara memaksakan senyumnya. Keluhan fisik tidak ada, tapi, hatinyalah yang sedang mengeluh.
Kembali Dara melempar pandang keluar jendela kaca. Menikmati Paris dengan musim dinginnya. Putih, sepi, sesepi hatinya.
Kembali Dara berkutat dengan pikirannya sendiri, hingga tidak terasa mobil yang dikemudikan Yudhi memasuki halaman mansion mereka.
"Hati-hati," ucap Rere seraya membantu Dara turun dari mobil. Kemudian menggandengnya masuk ke dalam bangunan klasik bergaya era Renaissence yang tampak begitu anggun.
"Ah, Dara, Sayang. Senangnya melihat kamu sudah pulih," ucap Alisha saat menyambut kedatangan menantunya.
Beberapa saat lalu Yudhi mengabarinya, bahwa Dara sudah diizinkan pulang. Padahal, ia sudah bersiap-siap akan menjenguk sang menantu.
Diciumnya kedua pipi Dara lembut. Lalu mengantar sang menantu naik ke kamarnya di lantai dua.
"Yudha di kamar, kok," kata Alisha saat memintanya untuk beristirahat saja di kamar.
Dara mengangguk. Ia mendorong pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Ah-senangnya bisa kembali merasakan atmosfer kamar ini lagi. Padahal hanya sebentar ia menginap di rumah sakit.
Ia mencari-cari sosok suaminya, tapi pria itu tidak terlihat. Balkon. Dara pun melangkah ke sana. Benar adanya, Yudha sedang duduk di sana membaca buku.
"Hei, kamu sudah pulang?" sapa Yudha saat melihat Dara berdiri di ambang pintu, menatapnya tanpa senyum. Ia menutup bukunya dan memberi isyarat Dara untuk duduk di kursi yang ada di sebelahnya, terpisah oleh meja.
"Iya, aku tahu. Aku minta maaf karena tidak menemanimu," ucap Yudha. Ia sadar, saat ini Dara pastilah sedang kesal padanya.
"Kan, sudah ada Mbak Rere sama ... Yudhi," lanjutnya. Saat mengucapkan nama kembarannya itu, ia memejamkan mata.
Dara menggeleng. "Yang aku butuhkan itu kamu, Mas."
Yudha menghela napas seraya mendongakkan kepala, entah memandang langit-langit balkon. Sulit untuknya menjelaskan semuanya pada Dara. Ia pun sedang bergulat dengan masalah dalam dirinya sendiri.
"Kamu sadar atau tidak, Mas, kalau ada yang salah dengan sikapmu padaku?" tuntut Dara. Ia ingin menumpahkan semua beban dalam dirinya.
Yudha hanya memaksakan senyumnya tanpa menimpali ucapan Dara.
"Ngomong-ngomong, kandunganmu gimana? Baik-baik saja, kan?"
"Mas!" erang Dara. "Jangan mengalihkan topik pembicaraan."
"Dara, hidupku tidak akan lama lagi."
Ah-selalu saja begini. Semua orang sedang berusaha melakukan yang terbaik untuk penyembuhan Yudha, tapi, ia justru bersikap pesimis. Egois.
"Aku ingin ...." Yudha menghela napasnya berat. "Aku ingin kamu nanti terbiasa hidup tanpa aku."
Rasanya Dara ingin memaki-maki suaminya, betapa egoisnya ia dengan sikapnya itu. Apa Yudha tidak pernah melihat dirinya, sebagai seorang istri yang rela melakukan apa saja untuk kesembuhannya. Apa Yudha tidak pernah menyadari betapa Dara mencintainya.
Ucapan Yudha kali ini begitu menyakiti hatinya. Sepasang matanya pun mengembun.
"Kamu akan sembuh, Mas. Kamu akan sembuh, melihat anak kita lahir dan tumbuh." Dara beranjak dari duduknya. Ia tidak lagi bisa membendung buliran bening yang mendesak keluar dari pelupuk matanya.
Tapi, Dara tidak ingin menangis di depan Yudha. Ia tumpahkan semua kesedihannya di balik pintu kamar mandi kamarnya. Beberapa saat ia hanya berdiri menyandarkan punggungnya di sana dan berusaha memelankan isak tangisnya.
Dara menyusut air mata saat mendengar langkah kaki mendekat. Ditariknya napas dalam-dalam, kemudian melangkah menuju wastafel untuk membasuh mukanya.
"Dara?" panggil Yudha dari balik pintu.
"Iya, Mas. Sebentar," sahutnya seraya memeriksa pantulan wajahnya di cermin. Setelah memastikan sembab di matanya samar, ia pun keluar menemui Yudha.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Yudha seraya memiringkan kepala memeriksa wajah sang istri.
Dara hanya menggeleng. Ia pasrah saat Yudha menggandengnya menuju ranjang dan mendudukkannya di tepian.
"Hei, jagoan Daddy apa kabar?" Yudha mendekatkan wajahnya pada perut Dara yang bulat menggemaskan.
"Baik-baik di dalam, ya? Jangan bikin Mommy capek." Ia mengelusnya lembut, kemudian menciuminya. Dara pun tersenyum melihat pemandangan indah itu.
"Nanti kalau sudah besar, tolong jagain Mommy, ya?"
Dara memejamkan matanya. Apapun maksud ucapan Yudha, yang jelas hatinya begitu perih. "Sama Daddy. Jangan Mommynya bareng sama Daddy," tegasnya.
Yudha mengulas senyumnya. Ia tahu Dara sedang menyangkal ucapannya barusan. Saat ia hendak menimpali, terdengar suara pintu kamar mereka diketuk seseorang.
"Makan malam sudah siap, Pak," ucap seorang wanita berkulit hitam dengan bahasa perancisnya, salah satu asistent rumah tangga di sana dengan seragam asisten rumah tangga, saat Yudha membuka pintu.
"Terima kasih, Celeste." Yudha tersenyum pada wanita keturunan Afro-Prancis itu.
Diajaknya Dara turun menuju ruang makan. Di sana, Alisha, Fabian, Yudhi, Rere dan duo Marcello-Zia telah menunggu. Menu makan malam pun sudah tersaji di atas meja.
"Bagaimana kandunganmu, Dara?" tanya Fabian seraya menaruh sepotong keju di piringnya, sebagai makanan pembuka.
"Baik, Pa." Dara menjawab dengan seulas senyum.
"Biar aku ambilkan," ucap Rere, saat Dara hendak mengisi mangkuknya dengan soup.
Meskipun Dara menolak, Rere tetap membantunya mengisi mangkuknya. "Ibu hamil tidak boleh capek," selorohnya, membuat semua yang ada di ruangan itu tersenyum.
Kecuali Yudhi. Ia tidak bereaksi apa pun dengan gurauan Rere. Tangannya sibuk memotong keju, menyantapnya, lalu meneguk gelas red winenya.
"Padahal Zia belum sempat nengok ke rumah sakit, loh. Malah udah pulang," celetuk Zia dengan suara cemprengnya.
"Eh, Zia. Bukannya malah bagus. Artinya Mbak Dara tidak apa-apa. Kamu ini!" timpal Alisha seraya menggeleng.
Marcello memanyunkan bibirnya pada Zia, dan dibalas gadis itu dengan gerakan mulut yang sama. Sementara Dara tersenyum melihat tingkah kedua adik iparnya itu.
"Dokter bilang apa, Dara?" Giliran Alisha yang bertanya.
"Bukan hal serius, Ma. Hanya kontraksi palsu."
"Makanya, Yudha ... hati-hati, dong, sama istrinya. Lagi hamil besar, loh."
Dara hampir tersedak mendengar gurauan Rere. Yudha dengan cepat mengambilkan air minum untuk sang istri dan menepuk-nepuk punggungnya.
Yudha melirik kembarannya sekilas. Yudhi tetap tidak bereaksi. Kini ia sibuk menikmati makanan utama. Foie Gras, pasta hati angsa dan bebek.
Seperti biasa, makan malam keluarga Atharrayhan-Wallandou berlangsung hangat. Celotehan Zia, gurauan Rere, membuat suasana menjadi ceria. Meskipun, ada satu orang yang hanya tersenyum kecil menanggapinya.