Yudha Mulai Menjaga Jarak

1015 Kata
Dara mengamati beberapa helai rambut di lantai kamar mandi, saat ia hendak menunaikan kewajibannya pagi itu. Yang jelas itu bukan rambutnya karena pendek. Apa rambut Yudha sudah mulai rontok, sebagai efek samping dari kemoterapi yang dijalaninya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar dari kamar mandi. Dilihatnya Yudha masih tertidur pulas. Wajahnya terlihat pucat. Dara baru menyadari, setelah diperhatikan dengan seksama, tubuhnya terlihat lebih kurus. Sudah waktunya sarapan, dan Celeste pun sudah memanggil mereka untuk turun ke ruang makan, tapi, Dara tidak tega membangunkan Yudha. Ia pun turun sendirian dan berniat membawa sarapan untuk Yudha nanti. Di meja makan semua sudah berkumpul. Fabian yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya, begitu juga Alisha yang pagi itu sudah rapi, meskipun sepertinya ibu mertuanya itu tidak akan pergi ke mana-mana. Sementara Marcello masih memakai piyama dan Zia sudah memakai seragam rok kotak-kotak warna biru dan rompi yang dibalut jas dengan warna senada. Dan Yudhi, pria itu terlihat tampan dengan kemeja warna krem yang bagian lengannya ia guling hingga sebatas siku. "Loh, Yudha mana, Dara?" tanya Alisha, melihat Dara turun sendiri. "Masih tidur, Ma," jawab Dara seraya mengulas senyum. "Oh, ya, sudah. Nanti biar Celeste yang antar sarapannya ke kamar." Alisha mengerti kalau putranya itu akhir-akhir ini sering terlihat kelelahan. "Nanti biar Dara yang bawa sarapan buat Mas Yudha," ujar Dara. Sementara Marcello sibuk menggoda adiknya, Rere baru saja tiba di ruang makan dengan wajah mengantuk. Beberapa kali ia menguap sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangan. "Pagi semua," sapanya. "Pulang jam berapa semalam, Re?" tanya Fabian. Semalam Rere pamit pergi bertemu dengan teman-teman lamanya di SMA. Mereka menghabiskan di bar sambil minum-minum. "Jam dua pagi, Pa," kekeh Rere. "Tapi sudah izin sama Mas Arthur, kok. Dan dia tidak masalah," lanjutnya saat sang mama memicingkan matanya. "Yudha mana, Ra?" tanya Rere kemudian. "Masih tidur, Mbak." Rere mencebik. Ia mengisi piringnya dengan potongan kentang. Sementara Dara menikmati sarapan dalam diam sambil mendengarkan celotehan mereka. Sesekali ia melirik Yudhi yang seperti biasa, tidak terlalu bereaksi dengan obrolan keluarga itu. Teringat kejadian semalam, membuat Dara semakin merasa tidak enak dengan pria itu. Sarapan pun selesai dan semua orang sudah menjalankan aktifitas masing-masing. Dara meminta Celeste untuk menyiapkan sarapan untuk Yudha. Ia sendiri yang akan mengantarnya ke kamar. Di kamar, terlihat Yudha baru saja membuka mata. Waktunya pas sekali dengan Dara yang baru masuk membawa nampan berisi sepiring menu sarapan dan juga segelas s**u. "Sayang, aku bawain sarapan," ujar Dara seraya meletakkan nampan ke atas ranjang. Kemudian wanita itu merangkak naik. "Aku suapin, ya?" Tanpa menunggu persetujuan Yudha, Dara menyendok kentang dan brokoli serta suwiran daging dan menyuapi suaminya. "Aku bisa makan sendiri, Dara," kekeh Yudha. "Aku pingin nyuapin, apa tidak boleh?" sungut Dara. Yudha tersenyum. Teringat semalam saat Dara memancingnya dengan ciuman panas. Tapi, tubuhnya terlalu lemah untuk melakukan aktifitas suami-istri. Ia yakin Dara pasti kecewa. Tapi, biarlah. Biar Dara terbiasa tidak disentuh olehnya lagi. "Hari ini jadwal kemo kamu, kan, Mas. Nanti diantar sama Mbak Rere. Aku juga ikut," ucap Dara. "Iya. Tapi, kamu tidak usah ikut. Biar sama Mbak Rere saja." "Loh, aku pingin ikut mendampingi kamu." "Jangan. Suasana rumah sakit tidak baik untuk mood wanita hamil." Yudha beralasan. Sejujurnya ia hanya ingin Dara tidak terlalu terlibat dalam proses pengobatannya. Lag-lagi, dengan alasan yang sama. "Mas, kenapa, sih? Aku, kan, istrimu. Aku pingin mendampingi kamu di saat-saat sulit." Dara menghentikan suapannya pada Yudha. "Pokoknya aku bilang tidak usah, ya, tidak usah, Dara. Okay?" Dara menghela napasnya dalam-dalam. Hatinya diliputi rasa kecewa. Ia ingin mendampingi Yudha, memberi semangat padanya dalam menjalani kemoterapi yang pastinya sulit dan melelahkan. "Sudah cukup, Dara. Aku sudah kenyang," ucap Yudha saat Dara hendak kembali menyuapinya. Masih dengan wajah cemberut, Dara mengembalikan isi sendok ke dalam piring. Lalu menyodorkan segelas s**u pada Yudha. Setelah Yudha menghabiskan setengah gelasnya, Dara menaruh nampan di atas nakas. Ia mendekat pada Yudha yang tengah menyandarkan punggung ke kepala ranjang. "Pingin peluk," ucapnya manja. Yudha terkekeh. Hatinya terasa perih. Sejujurnya ia ingin sekali bersikap mesra pada Dara, tapi, ia sudah memutuskan untuk menjaga jarak dengannya. Menjaga jarak artinya, mungkin ia tidak akan semesra dulu. Dara merebahkan kepala di d**a Yudha. Lengannya melingkar di pinggang pria itu. "Mas ....," panggilnya seraya memejamkan mata. "Hmm?" sahut Yudha. Ia tidak membalas pelukan Dara, tapi tidak juga meminta istrinya itu melepaskan pelukannya. "Kamu tahu tidak, kalau aku sayang banget sama kamu," ucap Dara. "Karena ada benihku di dalam rahim kamu?" tanya Yudha. Dara mendecak sebal. "Kenapa, sih, ngomongnya seperti itu?" sungutnya. "Aku sayang kamu, ya, karena kamu, Mas." "Tapi, aku sudah merebut kamu dari Yudhi." Dara mengela napasnya pelan. "Bisa, kan, tidak usah membicarakan orang lain?" Yudha memaksakan senyumnya. Sehingga dari bibirnya terdengar kekehan hambar. "Yudhi bukan orang lain. Kamu dulu cinta, kan, sama dia?" "Dulu, ya, dulu ... hmmm ... tahu begini mendingan aku tidak usah menceritakannya padamu," sungut Dara. "Tidak apa-apa. Aku justru merasa lega dan tenang sekarang," ucap Yudha. Meskipun hati kecilnya terasa sakit. Ia sangat mencintai Dara, tapi, situasinya begitu rumit sekarang. Ia tidak mau membuat wanita yang ia cintai itu bersedih. "Mas, kamu cinta aku, nggak, sih, sebenarnya?" 'Sangat mencintaimu,' ucap Yudha dalam hati. Jika ia pria yang sehat, ia akan mempertahankan Dara dengan nyawanya. Bahkan jika yang dihadapinya adalah kembarannya sendiri. Tapi, situasinya lain. Ini yang membuat Yudha dilema. "Kenapa tidak menjawab?" "Aku ... ingin mencintai kamu, Dara. Tapi, situasinya begitu rumit." "Kamu yang membuat semuanya rumit. Kalau ini mengenai Yudhi, aku tegaskan, aku tidak ada perasaan apapun lagi dengannya. Kalau ini tentang penyakitmu, aku tidak akan menyerah mendampingi kamu dalam proses pengobatan sampai kapan pun," tegas Dara. "Sampai kamu sembuh. Karena kamu akan sembuh, Mas," lanjutnya. Yudha hendak mengelus kepala Dara, tapi hanya beberapa centi saja tangannya menempel pada rambut istrinya, ia segera mengurungkannya. Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu kamar mereka diketuk seseorang. Hal itu membuat Dara melepaskan pelukannya untuk membuka pintu. "Oh, Mbak Rere," sapa Dara. "Mau berangkat ke rumah sakit sekarang aja, kan? Aku sudah siap, nih," ujar wanita cantik itu seraya menunjukkan penampilannya. "Iya, Mbak. Aku bantu Mas Yudha siap-siap dulu." "Kamu ikut, kan, Dara?" tanya Rere. Yudha menyahut dari dalam kamar, "Dara tidak ikut, Mbak."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN