Yudha Menolak Second Opinion

1043 Kata
Yudhi mendekati Alisha yang sedang bersantai di taman belakang mansion. Duduk di kursi besi bercat putih seraya menikmati secangkir teh hangat. Ia mencium pipi mamanya lembut dari arah belakang, membuat wanita paruh baya itu terkejut. "Yudhi, bikin Mama kaget saja," gerutu Alisha sambil menyunggingkan senyum. "Baru pulang?" tanyanya kemudian. Yudhi mengambil tempat duduk di samping sang mama. "Iya, Ma," sahut Yudhi. Alisha memperhatikan wajah sang putra seraya mengerutkan keningnya. Pasalnya, Yudhi terlihat gelisah. "Kamu kenapa, Nak?" tanyanya. "Ma, Mama bisa tolong bicara sama Yudha?" tanya Yudhi. "Bicara apa, Sayang?" "Ada dokter spesialis penyakit dalam yang mumpuni di Berlin untuk Yudha. Aku sudah bicara dengan Yudha tentang hal ini tapi dia menolak. Mama bisa bujuk dia?" Alisha tersenyum. Ia tahu bagaimana perjuangan Yudhi untuk penyembuhan kembarannya itu. Bersama kakaknya Rere, mereka sudah melakukan yang terbaik untuk Yudha. Termasuk mencari pendonor hati ke mana-mana. Alisha juga tahu, bahwa Yudha begitu pesimis dengan penyakitnya. Ditambah lagi hubungan masa lalu Yudhi dengan Dara, yang membuat Yudha bertambah pesimis. Tidak dapat dipungkiri, Alisha juga merasa bersalah pada Yudhi, karena telah melamar Dara untuk Yudha. Kalau saja ia tahu Yudhi mencintai Dara, mungkin ia dan Fabian tidak akan melakukan itu. "Dan juga tentang masa laluku dengan Dara, aku ingin Mama juga bantu menjelaskan pada Yudha bahwa aku dan Dara sudah lama selesai." Alisha menepuk-nepuk punggung tangan sang putra. "Mama akan bujuk Yudha untuk mau bertemu dokter spesialis yang kamu sebutkan itu," ucapnya. "Tentang kamu dan Dara, Mama sudah jelaskan pada Yudha. Biar dia menyadari sendiri bahwa Dara sangat mencintainya." Yudhi mengangguk. Disandarkannya punggung ke sandaran kursi. "Aku khawatir, cerita masa laluku dengan Dara, membuat Yudha tidak bersemangat lagi melakukan pengobatan. Semalam dia mengatakan ingin menitipkan Dara padaku saat dia sudah tidak ada." Alisha merangkul bahu putranya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya tersayat mendengar ucapan Yudhi. Ia sangat menyayangi kedua putra kembarnya. Ia ingin keduanya bahagia. Sangat disayangkan, mereka mencintai wanita yang sama. "Yudhi, apa kamu masih menyimpan rasa pada Dara?" tanya Alisha. Yudhi sedikit gugup mendengar pertanyaan sang mama. Sejujurnya ia bingung bagaimana menjawabnya. Ia akui, ia dulu memang sedikit womanizer. Tapi, saat ia sudah jatuh cinta dengan seorang wanita, ia adalah orang yang tidak mudah berpindah ke lain hati. Selepas Dara, ia sudah beberapa kali mencoba untuk menjalin hubungan dengan wanita lain, tapi selalu gagal. Jadi, bisa ditebak, bagaimana perasaannya terhadap Dara. "Perasaanku terhadap Dara bukan hal penting, Ma. Yang terpenting adalah kesembuhan Yudha," jawab Yudhi diplomatis. Alisha tersenyum. Ia memahami ucapan Yudhi. Ia memahami perasaannya. Begitupun dengan Yudha, Alisha juga memahaminya. Namun, benar kata Yudhi, yang terpenting sekarang adalah kesembuhan Yudha. *** Yudha keluar dari kamar mandi dengan wajah lusuh. Ia mengusap wajahnya dengan handuk. Sementara Dara yang menunggunya di depan pintu terlihat begitu cemas. Beberapa saat lalu Yudha tidak mengizinkannya masuk kamar mandi untuk membantunya saat memuntahkan isi perutnya, akibat kemoterapi yang ia jalani hari ini. "Mas," panggil Dara. "Aku tidak apa-apa," sahut Yudha seraya mengulas senyum. Dara membantu Yudha berbaring di atas ranjang. Suaminya itu tampak lemas. Wajahnya semakin bertambah pucat. "Mau aku ambilkan minum?" tawar Dara. Yudha menggeleng. Ia hanya ingin berbaring, mengatur napasnya yang sedikit sesak. Gejolak dalam perutnya pun belum reda. Sungguh, proses pengobatan ini membuatnya begitu menderita. Rasanya ia ingin menyerah saja. Membiarkan penyakitnya terus menggerogoti tubuhnya hingga tiba saatnya ia dipanggil Yang Kuasa. Dara memijit pelan kaki Yudha. Biasanya suaminya ini akan mengeluh nyeri di badan setelah kemoterapi. Tapi, ia tidak pernah mau meminum obat pereda nyeri. Sepertinya ia memang sudah muak dengan obat-obatan. "Dara ...," panggil Yudha. "Iya, Mas?" "Kira-kira anak kita nanti mirip siapa, ya?" Dara tersenyum. "Ya, mirip kita berdua lah." "Berarti mirip Om-nya juga, dong," kekeh Yudha. Senyum Dara menghilang, berganti dengan helaan napas berat. Kenapa obrolan mereka selalu tidak jauh-jauh dari masalah itu. "Aku berharap anak kita nanti juga punya ikatan batin dengan Om-nya." "Mas." Dara menghentikan pijatan di kaki Yudha. "Bisa kita tidak membicarakan masalah itu?" "Loh, yang aku bicarakan benar, Dara. Aku dan Yudhi kembar. Kalau anakku mirip denganku, artinya mirip dengan Yudhi juga, kan?" Dara menggeleng pelan. "Aku tahu arah pembicaraan kamu, Mas." Yudha mendongakkan kepala memandangi langit-langit kamar. Dadanya kembali berkecamuk dengan pikiran-pikirannya sendiri. "Aku merasa menjadi penghalang di antara kalian." "Sudah, Mas. Aku tidak mau mendengar hal itu lagi. Berapa kali aku harus menjelaskan kalau aku sudah tidak ada perasaan apapun terhadap Yudhi." Yudha menatap sang istri seraya menyunggingkan senyum. "Tapi, bagaimana dengan Yudhi? Aku tahu seperti apa dia." "Apa maksudmu, Mas?" Yudha terdiam untuk sesaat untuk mengatur napasnya. "Yudhi memang sedikit playboy. Tapi, saat dia jatuh cinta, ia akan sulit berpaling." "Terus, kamu ngomong seperti itu maksudnya apa, Mas?" Dara sudah kehabisan akal untuk menanggapi ucapan-ucapan Yudha. "Harapan hidupku kecil, Dara. Pengobatan ini benar-benar melelahkan." Yudha memejamkan matanya. Ia mengelus dadanya yang terasa sesak. "Kamu terlalu terbelenggu dengan pikiran-pikiranmu sendiri, Mas. Banyak yang sayang sama kamu, aku, Mama, Papa, Mbak Rere, Yudhi, Marcel, dan Zia. Semua begitu berharap akan kesembuhan kamu. Tolong hargai usaha mereka. Jangan malah bersikap pesimis seperti ini," ucap Dara. Sepasang mata wanita itu menatap Yudha sendu. Seperti memohon pada Yudha agar ia bisa melihat ketulusan dalam hatinya. *** Di ruang keluarga, Alisha melihat Yudha yang sedang duduk di depan perapian sambil membaca buku. Yudha yang melihat kehadiran sang mama mengulas senyumnya, lalu menutup bukunya. "Gimana kemonya hari ini, Sayang?" tanya Alisha seraya menyentuh lembut lengan putranya. "Biasa, Ma. Bikin aku capek banget." Alisha mengelus lembut punggung putranya. "Harus semangat, ya, Sayang." Yudha tersenyum kecut. Bagaimana ia bisa semangat kalau pikirannya tentang Dara dan Yudhi masih saja membuatnya kacau. Sebanyak apapun Dara menjelaskan padanya tentang cerita masa lalu mereka, tetap saja ada keraguan dalam hatinya. Yudha bukan orang bodoh yang tidak bisa memahami bahasa tubuh mereka saat berpapasan, atau saat berada dalam satu ruangan. Terlebih Yudhi yang selalu terlihat menyembunyikan perasaannya. Mungkin ia merasa sakit saat melihat kebersamaan Yudha dan Dara. "Sayang, Yudhi bilang dia ada kenalan dokter spesialis dalam yang bagus di Berlin. Dan ingin mencoba berkonsultasi, tapi kamu menolak. Kenapa?" tanya Alisha membuyarkan lamunannya. "Untuk apa, Ma? Selama ini juga sudah banyak dokter spesialis yang kita datangi, dan belum ada hasil apapun yang signifikan." "Pengobatan yang sedang aku jalani sekarang saja rasanya belum memberi perubahan apapun." Alisha menatap putranya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya pedih melihat keadaan Yudha. Semakin hari rasanya ia semakin bertambah kurus saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN