***
Toko eletronik tempat Daisy Amora berbelanja menyediakan semuanya. Bahkan fasilitas untuk mengantar barang pun disediakan. Jadi, Daisy tidak perlu kerepotan memikirkan bagaimana cara mengambil pesanannya tersebut.
Setelah memesan barang yang mau diambil, dia menyertakan alamat apartemennya.
Sekarang yang harus Daisy pikirkan adalah pernikahannya. Wanita itu berniat ke kantor pengadilan agama hari ini. Awalnya, ia meminta bantuan kepada Fattah untuk mengantarnya.
Namun, setelah ia pikirkan kembali, Daisy mengurungkan niat itu. Dia tidak boleh melibatkan Fattah dalam urusan pernikahannya. Karena itulah Daisy berangkat sendirian ke pengadilan untuk mengajukan gugatan cerai.
"Aku akan pergi sendirian," ujar Daisy melalui panggilan telepon.
Suaranya agak lemah. Fattah bisa mengerti hal itu. Bagaimana pun juga, Daisy dan Anton menjalani hubungan rumah tangga beberapa tahun. Mereka saling mencintai, dan harus berakhir dengan kata perpisahan.
"Baiklah. Kalau itu yang kamu inginkan. Aku memakluminya. Aku berharap ini pilihan terbaik dalam hidupmu."
Tidak ada seorang pun yang mau dikhianati. Begitu pun dengan Daisy maupun Anton.
Sekarang kedua insan saling mencintai tersebut harus berpisah. utuh kembali. Luka di hati itu akan selalu ada.
"Ya. Aku juga berharap kamu menemukan pilihan terbaikmu, Fattah."
Daisy tahu betul bahwa kehidupan Fattah teramat sangat berat. Bayangkan saja, pria itu selalu dikucilkan. Bagi orang lain, Fattah tidak lebih hanyalah orang paling aneh di dunia. Sulit bagi Fattah untuk sekadar menemukan teman yang cocok diajak berbagi cerita.
"Ya. Aku akan mematikan panggilannya. Aku harus menyetel TV baru hadiah darimu."
Daisy membelikan TV untuk Fattah. Mereknya memang bukan merek terbaik. Namun itu lebih baik dari pada tidak ada sama sekali. Daisy benar-benar wanita bertanggung jawab. Padahal malam itu, kerusakan TV bukanlah akibat kesalahan wanita itu.
"Oke. Aku akan senang bila kau menonton menggunakan TV pemberianku. Dah."
Ada senyum tercetak di wajah Fattah saat mendengar suara Daisy. Dia merasa begitu senang ketika Daisy berbicara padanya. Daisy mengagumkan, dan jujur saja bahwa Fattah memiliki rasa pada wanita itu.
Hanya saja, ia sadar diri. Apakah lelaki pengangguran dan dikucilkan sepertinya bisa mendapatkan perempuan cantik lagi populer seperti Daisy.
"Hei, Kak Fattah! Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Imran. Pria muda itu menepuk pundak kakaknya sampai sang kakak benar-benar terjingkrak. Kaget betul sepertinya.
"Hanya bermimpi jadi kaya?" Fattah membalas malas.
Imran tertawa kecil atas jawaban kakaknya. Beberapa detik berikutnya ia memberikan list untuk kakaknya.
List belanja bulanan mereka. Sebelah alis Fattah terangkat ke atas seakan bertanya mengenai apa yang dimaksud adiknya dengan memberikan kertas.
"Tolong kakak beli bahan makanan untuk bulan ini ya." Imran memberikan pandangan memelas.
Fattah ingin menolak. Namun, ia kembali tersadar bahwa ia tidak menghasilkan uang. Imran bekerja paruh waktu untuk biaya kuliah dan juga kehidupan mereka berdua. Fattah menyesal karena adiknya harus bekerja keras. Sementara ia hanyalah beban.
"Baiklah."
Fattah meraih kertas pemberian adiknya. Lalu beranjak dari tempatnya duduk. Dia masuk kamar mengambil jaket kulit berwarna coklat dan meluncur ke supermarket. Selama perjalanan, Fattah memikirkan tentang kehidupan dirinya dan adiknya.
Kapan Fattah bisa berguna untuk adiknya? Mengayomi adiknya?
Iklan pulau terkutuk terbayang di kepalanya. Mungkin jika ia berpartisipasi ke dalam acara itu. Dia pasti akan mendapatkan lebih banyak uang. Meskipun nyawa menjadi taruhannya.
Fattah mengunjungi tempat pendaftaran pulau terkutuk. Perusahaan pengelola program itu merupakan perusahaan besar. Akan tetapi, saat Fattah datang ke sana. Hanya ada hitungan orang yang masuk dan mengantri di tempat itu.
Seorang gadis bule, satu lelaki yang mirip seperti orang Korea Selatan, dan satu lagi pria bule. Tiga pendaftar dari 1000 orang yang direncanakan program itu. Padahal deadline pendaftaran terakhir tiga hari lagi. Apakah kuota bisa terpenuhi dalam waktu singkat? Sepertinya semua pendaftar memiliki jaminan lolos.
"Apa yang aku lakukan di sini? Apa aku berniat membunuh diriku sendiri? Mengapa aku datang ke tempat ini?"
Fattah menggeleng atas apa yang baru saja ia lakukan. Apa motivasi terbesarnya datang ke Starshine Fiction. Ltd. Sebuah perusahaan yang berbasis di luar negeri dengan kemajuan teknologi yang canggih.
Cepat-cepat Fattah keluar dari gedung itu. Dia tidak melihat dengan baik, sampai tak sengaja menabrak seorang ilmuwan dengan jas berwarna putih. Hampir mirip seperti jubah seorang vampir.
"Maaf!"
Fattah memunguti berkas yang berserakan di lantai. Berkas itu seperti data dari peserta yang akan dikirim ke "pulau terkutuk", tanpa sengaja Fattah melihat satu gambar dengan tulisan 'Monster' di atasnya. Fattah tertarik pada gambar itu karena gambarnya agak mengingatkan Fattah pada dirinya sendiri.
"Oh. Tidak apa-ap..."
Ilmuwan yang memakai jas putih itu mengernyitkan alis. Dia mengambil kaca matanya untuk memastikan apa yang ia lihat. Ada seorang lelaki dengan sebelah matanya berwarna biru dan sebelahnya lagi berwarna hitam.
Itu seperti...
Rancangan monster yang ia buat enam tahun lalu. Monster yang akan dikirim ke 'Pulau Terkutuk'. Monster yang gagal. Sebab dahulu, mereka belum menyuntikkan zat pelengkap kepada pria muda yang akan dijadikan monster tersebut. Pria muda itu lari dari masa percobaannya.
"Kau!"
"Maaf. Aku harus pergi."
Fattah berlari sebelum ilmuwan yang melihatnya memakai kaca matanya. Entah bagaimana Fattah merasa ada sesuatu yang salah. Sebelah matanya yang berwarna biru itu seakan sebuah boomerang untuknya. Dia lari sebelum ilmuwan tersebut melihatnya secara jelas.
"Aku tidak akan pernah mendaftarkan diriku ke tempat ini!" tegas Fattah.
Dia tidak akan pernah mau mengorbankan nyawanya hanya untuk sebuah permainan berbahaya. Kini ia sadar bahwa matanya merupakan pembawa sial. Jika ia menutupi warna matanya maka tentu hidupnya akan terasa lebih tenteram.
Jadi, setelah berbelanja bahan makanan, Fattah mampir ke dokter mata. Dia mengambil satu pasang softlens berwarna hitam untuk menyembunyikan kekurangannya. Jika kedua bola matanya berwarna hitam maka orang-orang tidak akan mengucilkannya. Orang tidak akan takut kepadanya.
Benar saja! Kehidupan Fattah tampaknya beringsut membaik. Orang-orang yang baru ditemuinya banyak memuji ketampanannya.
Ini akan menjadi awal yang baru untuk Fattah. Ini akan menjadi awal yang membahagiakan dirinya secara pribadi.
Jika saja dahulu ia menyadari bahwa dirinya bisa menyembunyikan kekurangan itu. Mungkin, Fattah tidak akan ditolak bekerja di perusahaan mana pun. Dia memiliki riwayat pendidikan yang bagus. Karirnya akan sangat cemerlang jika ia menyadari itu lebih awal.
"Tenang saja, Imran. Sebentar lagi. Aku akan mendapatkan pekerjaan. Aku akan memastikan ini akan segera terwujud."
Sisa uang belanja bulanan, disisihkan Fattah untuk membeli perlengkapan untuk mencari kerja seperti amplop coklat dan map. Setelah itu, Fattah meluncur ke rumah. Ini akan menjadi kejutan untuk Imran. Adik Fattah itu pasti akan sangat terkejut melihat perubahan kakaknya.