***
Perubahan seseorang tentu membuat yang lainnya pangling. Terlebih jika itu merupakan perubahan fisik. Fattah begitu menonjol dengan matanya yang sebelah biru dan sebelah hitam. Itu sudah menjadi ciri khas Fattah. Meskipun fisik itu tidak dibawa lahir. Sesuatu terjadi saat Fattah masih remaja. Fattah menyebutnya sebagai revolusi dalam hidupnya.
Hari ini. Ciri khas Fattah itu seakan sudah hilang dalam sekejap. Memang sudah hilang. Sebab penampilan Fattah sudah berubah total. Wajahnya terlihat lebih bersinar saat Imran melihatnya. Pria itu tampak lebih ceria.
"Wow!"
Imran masih membuka mulutnya ketika Fattah masuk ke dalam dapur. Dia sudah tahu ini akan terjadi. Imran akan takjub melihat perubahan mata kakaknya. Mengapa baru sekarang Fattah menggunakan lensa mata? Mengapa baru terpikirkan sekarang? Seharusnya itu terjadi sejak lama.
"Kak Fattah memakai lensa mata?" tanya Imran yang mengikuti langkah kaki kakaknya. Sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Hanya ingin menginformasi saja.
"Ya," sahut Fattah santai.
Fattah berhenti melangkah. Dia menoleh ke arah adiknya dan berujar, "Maaf ya. Aku pakai sisa uangmu. Lain kali akan aku ganti."
Tadinya Fattah hanya diminta belanja bahan makanan bulanan. Namun nyatanya sisa uang tersebut digunakan untuk memasang lensa mata.
"Tak apa."
Ada senyuman tercetak di wajah Imran. Ya, Imran mengetahui betul bagaimana perjuangan kakaknya setelah perubahan matanya dahulu. Dia disebut aneh, dan akhirnya Fattah berhasil tampil lebih baik. Mungkin sudah saatnya membuat Fattah hidup damai. Imran senang bisa menjadi bagian dari usaha kakaknya.
"Aku akan mengusahakan agar mendapatkan pekerjaan baru."
Fattah terlihat serius saat mengatakan itu. Ada beban berat yang dipikul oleh lelaki itu. Dia adalah putra sulung sehingga ia bertanggung jawab untuk adiknya.
"Jangan terlalu terbebani, Kak," bisik Imran sambil tersenyum jail.
"Aku harus bekerja karena bagiku kau adalah beban."
Fattah meninju lengan adiknya sebagai bentuk candaan. Imran hanya cekikikan. Fattah sedang merasa senang hati ini. Jadi, ia membuat makan siang untuk adiknya. Sebenarnya ia tidak pernah menganggap adiknya beban. Ini hanya masalah tanggung jawab.
"Kak Fattah yakin tidak mau join program 'pulau terkutuk'? Kemarin, mereka memasang iklan di masing kampus. Mana tahu kak Fattah mau mengorbankan diri untuk membiayaiku?" Imran hanya main-main. Program itu memasang iklan di mana-mana. Peserta diiming-imingi uang agar bergabung di sana dengan sukarela.
"Mohon maaf. Jika masih ada pekerjaan lain. Aku akan mencari pekerjaan lain itu."
Siapa yang mau mengorbankan nyawanya untuk sebuah permainan? Fattah sudah bertekad tidak akan bergabung.
"Aku hanya bercanda, Kak. Ya ampun, sensi banget. Lagipula, jika pun kakak Fattah mau bergabung maka aku akan menentang keinginan kakak. Aku belum siap kehilangan kak Fattah." Fattah memutar bola matanya.
"Ya, sudah. Kamu tunggu di ruang tengah. Akan kubuatkan makan siang spesial untukmu."
"Semangat, Kak. Buatkan aku makanan enak."
Imran menepuk bahu kakaknya sekilas sebelum akhirnya keluar dari dalam dapur. Fattah fokus memasak untuk adiknya. Dia merasa bahagia hari ini. Akhirnya ia bisa lepas dari kesialan matanya.
***
Fattah masih sibuk memasak di dapur setelah menyadari suara bising di ruang tengah. Fattah menghentikan kegiatannya. Saat masuk ke ruang tengah, ia mendapati suami Daisy mengamuk di sana. Anton Pramoedya terlihat begitu gusar. Dia berteriak mencari keberadaan Daisy.
"Ada apa ini?"
Fattah ikut tersulut emosi karena Anton mengempaskan peralatan-peralatam di ruang tengah.
Vas bunga diempaskan di lantai, bantalan sofa. Sedikit saja, Fattah terlambat maka Anton pun akan menjatuhkan TV pemberian Daisy.
"Di mana Daisy berada? Di mana kau sembunyikan, Daisy!" bentak Anton.
"Daisy tidak ada di sini."
Fattah memandang malas ke arah Anton. Lelaki itu benar-benar tampak tak bersalah. Setelah mengkhianati istrinya. Dia merasa sama sekali tidak bersalah? Dia masih mencari Daisy seolah Daisy adalah pelaku perselingkuhan.
"Bohong!"
"Untuk apa aku bohong?"
Fattah sudah bicara jujur dan lelaki ini masih saja tak percaya. Fattah seorang lelaki. Dia sangat membenci drama rumah tangga seperti ini.
"Begini saja. Kau pergi dari sini sekarang atau bertengkar denganku secara jantan?"
Intonasi suara Fattah memang tinggi. Angin terlihat tenang perlahan-lahan. Sepertinya takut akan ajakan duel dari Fattah. Lelaki itu mundur selangkah seperti seorang pecundang.
"Ingat saja ini. Daisy adalah milikku! Jika aku tidak bisa memilikinya maka orang lain tidak akan bisa mendapatkan Daisy! Ingat itu! Akan kupastikan Daisy menderita tanpa diriku!" Anton Pramoedya tampak geram. Sepertinya dia adalah tipe lelaki yang tidak bisa menerima kenyataan.
"Jika kamu pastikan seperti itu maka aku pun akan memastikan untuk tetap menjaga Daisy dari semua kejahatan yang kamu rencanakan!"
Balasan Fattah membungkam mulut Anton. Tangan lelaki itu hanya mampu mengepal. Dia mengerang karena kesal, lalu meninggalkan kediaman Fattah.
"Laki-laki itu tidak waras!" seru Imran.
Imran sedari tadi berusaha meredam amarah suami Daisy. Namun laki-laki gilaa tetaplah laki-laki gila. Sulit meredam amarah orang seperti itu jika sedang marah.
"Dia memang tidak waras."
Fattah membenarkan seruan adiknya. Faktanya memang begitu, Anton yang berselingkuh, tetapi dia yang mengamuk. Benar-benar menggemaskan. Seandainya saja menggeprak kepala seseorang dibenarkan maka Fattah ingin sekali menggeprak kepala lelaki itu.
"Beruntung Daisy jika ia memilih pisah dari lelaki itu. Lelaki itu seharusnya masuk rumah sakit jiwa."
Imran tidak bisa berhenti berceloteh tentang suami Daisy yang tidak waras.
"Kak Fattah masuk saja ke dapur. Lanjutkan kegiatan memasak. Aku akan merapikan ruang tengah."
Banyak barang berserakan di ruang tengah. Oleh karena itu, Imran berinisiatif membersihkannya. Kasihan, Fattah. Dia baru saja mengusir Anton Pramoedya. Paling tidak, Fattah beristirahat sejenak.
"Ya."
Fattah masuk ke dalam dapur. Kedatangan Anton benar-benar menguras emosinya. Dia tidak tahu kapan terakhir ia marah. Fattah adalah laki-laki baik hati sejak dulu. Lalu, suami Daisy berhasil membuat amarahnya keluar. Beruntung ia tidak menonjok pria itu.
Fattah menyusun makanan yang sudah ia buat. Ada nasi, ikan goreng, dan juga sayuran hijau. Semua sudah lengkap. Meskipun tidak ada orang tua. Fattah akan menyajikan makanan sehat untuk adiknya.
Sayang sekali bahwa Fattah tidak bisa mengingat secara penuh ingatan masa kecilnya. Ada yang salah di dalam kepalanya dan Fattah tidak tahu apa itu.
Kepingan demi kepingan kenangan masa kecilnya bagaikan sebuah puzzle yang harus disatukan. Tidak banyak kenangan manis yang bisa diingat di kepala Fattah. Hanya ada kenangan-kenangan buruk SMA. Saat orang-orang menjauhi Fattah. Saat orang-orang mengolok-olok dirinya.
Seolah ada kutukan dengan mata Fattah! Kutukan itu sudah ia tutupi dengan lensa mata. Inilah kehidupan baru Fattah. Di masa depan, mungkin tidak ada lagi orang yang menggunjingnya.