Makan Siang

934 Kata
Gia tak percaya pada dirinya sendiri sekarang, namun dia harus mempercayai kalau keadaan sekarang bukanlah sekedar mimpi. Entah apa yang dia pikirkan hingga saat jam istirahat tiba, dia langsung ke parkiran mencari keberadaan Jeffan. Lebih mengejutkannya adalah, Jeffan sudah menunggunya. Kenapa juga pria itu yakin sekali Gia mau pergi bersamanya? Padahal Gia tak memberikan jawaban tadi. Namun, itu semua sudah tak penting. Karena sekarang Gia dan Jeffan sudah duduk di sebuah restoran Italia yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kerja Gia. Dan lagi, mereka hanya berdua saja. Oke, keadaan sekarang memang seperti disengaja oleh mereka sendiri. Tidak seperti kemarin saat berada di pantai. "Jadi, sejak kapan kamu bekerja di perusahaan Raga?" Jeffan bertanya setelah selesai memesan. Dia menyimpan buku menu di atas meja, lalu menatap Gia yang duduk di hadapannya. "Sejak empat tahun yang lalu, Kak." Gia menjawab. Oke, awalnya dia bingung harus memanggil Jeffan dengan sebutan apa. Namun mengingat pria itu adalah sahabat kakak iparnya, mungkin tak salah jika dia memanggil Jeffan dengan sebutan 'kakak'. "Wah, sudah lumayan lama juga ternyata. Dan kita baru bertemu tadi di sana. Padahal aku juga sering datang ke sana," balas Jeffan. Alis Gia bertaut, agak bingung mendengarnya. Sesering itukah? "Iya. Sebuah kebetulan yang tak terduga," ujar Gia. Jeffan tersenyum mendengar itu. "Aku lihat tadi kamu seperti kurang nyaman. Apa ada yang membuatmu merasa terganggu?" Jeffan bertanya lagi. Gia terdiam sesaat, mengingat setiap detail kejadian di depan ruangan Raga tadi. Ah, apakah rasa tidak nyaman yang dia rasakan bisa sejelas itu terlihatnya? "Sekretaris Pak Raga. Aku tidak tahu apa memang dia biasa bersikap seperti itu atau tidak. Sejak awal aku datang, dia seperti tidak menyukaiku dan terus saja berkata ketus padaku. Padahal tadi Pak Raga yang memanggilku ke ruangannya. Bukan aku yang sengaja datang." Akhirnya, Gia pun menyuarakan isi hatinya yang agak kesal karena sikap sekretaris Raga. "Kebanyakan orang memang agak menyebalkan, Gia. Mungkin dia takut tersaingi olehmu." Jeffan berkata. Gia menatap Jeffan dengan bingung. "Tersaingi apanya? Dari segi jabatan pun lebih tinggi jabatan dia." "Raga mengaku dia memperlakukan kamu secara berbeda dari karyawan lain karena kamu adalah adik Revan. Terlepas dari itu, Raga berhutang budi pada Revan, hingga dia berusaha membuatmu nyaman bekerja di perusahaannya. Pasti, sekretaris Raga menyadari sikap Raga yang berbeda padamu. Entah mungkin dia menyukai Raga, jadinya dia merasa tersaingi olehmu." Jeffan menjelaskan dari sudut pandangnya. Gia melongo sesaat, baru kepikiran. Kemudian dia terkekeh pelan, merasa geli. "Wah, karena itu ya? Ehm, sepertinya bisa jadi." Gia berucap dengan geli. "Eh, ngomong-ngomong, Kak Jeffan mengenal Pak Raga juga kah? Dari cerita Kak Jeffan barusan, sepertinya kalian berdua lumayan akrab." Kini Gia terlihat penasaran. Dan rasa penasarannya terlihat jelas oleh Jeffan dari sorot matanya. "Ya, kita memang akrab. Karena aku dan Raga itu sepupu. Dia sepupu jauh aku dari pihak ayah." Jeffan memberikan jawaban. Mata Gia melebar saat mendengar itu. "Wah, dunia terasa sempit ya. Bisa kebetulan sekali," ujar Gia. Dia dan Jeffan tertawa bersamaan, karena memang tak menyangka akan semua kebetulan ini. Mulai dari Jeffan dan Meira yang bersahabat, dan Meira merupakan kakak ipar Gia. Lalu Jeffan dan Raga yang sepupu jauh, dan Raga ternyata juga merupakan teman Revan. "Kak Revan menceritakan masalahku pada Pak Raga. Jadinya Pak Raga bilang kalau aku harus ambil cuti. Apa aku terlihat sekacau itu karena sakit hati?" Gia bercerita seraya melontarkan sebuah pertanyaan. Dia menghela nafas pelan, merasa tak menyangka kalau kekacauan hatinya ternyata terlihat juga dari luar. "Itu karena Revan khawatir padamu, Gia. Selain itu, bisa saja kamu jadi kurang fokus terhadap pekerjaan. Raga mungkin ingin mengantisipasi saja. Memang ada baiknya kamu ambil cuti dulu dan menenangkan diri. Memang tidak mungkin melupakan semuanya secara langsung. Namun, minimalnya sampai kondisi hatimu lebih baik dan kamu bisa fokus lagi." Gia terdiam, mendengarkan perkataan Jeffan barusan dengan seksama. Lalu dia mengangguk beberapa kali, membenarkan ucapan Jeffan barusan. "Sepertinya benar. Baiklah, aku ambil cuti beberapa hari. Dan mungkin aku akan memikirkan tempat yang tepat untuk liburan," ujar Gia. Jeffan tersenyum dan mengacungkan ibu jarinya. Gia yang melihat itu langsung tertawa pelan. Obrolan mereka terhenti saat pelayan datang membawa pesanan mereka. Karena memang sudah lapar, Gia dan Jeffan pun langsung menyantap makanan yang sudah terhidang. *** Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam, dan sekarang Gia sedang berkumpul bersama keluarganya di ruang keluarga. "Jadi kamu menerima saran Raga untuk ambil cuti?" Revan bertanya. Gia yang duduk di sofa single langsung mengangguk. "Aku sudah minta izin untuk cuti selama seminggu. Dan Pak Raga sudah memberikan izin," jawab Gia. Tio dan Gina saling bertatapan, dan sorot mata mereka memperlihatkan rasa lega. "Jadi, apa kamu mau liburan?" Gina, ibunya bertanya degan senyuman yang tersungging di bibirnya. "Iya. Aku memutuskan untuk liburan ke Bali. Aku sudah memesan tiketnya secara online dan besok agak siang berangkatnya," jawab Gia lagi. Seluruh anggota keluarganya terlihat kaget mendengar itu. Namun, merasa lega juga. Akhirnya Gia mau mengambil keputusan untuk berusaha mengobati hatinya yang sedang terluka. "Sendiri saja? Gak sama teman?" Meira bertanya. Gia mengangguk sebagai jawaban. "Iya. Yang lain kan tetap kerja. Dan lagi, aku gak punya teman yang benar-benar dekat. Satu lagi, kalian gak perlu khawatir. Aku pasti baik-baik saja. Aku janji, saat pulang liburan nanti aku akan lebih baik dari sekarang," ucap Gia berusaha meyakinkan keluarganya. Mereka semua saling bertatapan, merasa sedikit ragu. Tapi, mereka juga tidak mau menghalangi niat Gia. "Baiklah, Gia. Papa senang kamu mau mengambil keputusan seperti ini. Sebenarnya Papa agak khawatir membiarkan kamu pergi ke Bali sendirian. Tapi Papa percaya padamu. Asal jangan lupa mengabari kami saja," ujar Tio. Gia tersenyum dan mengangguk. "Baiklah. Aku ke kamar duluan. Mau mempersiapkan baju untuk besok." Setelah mengatakan itu, Gia pun bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan ruang keluarga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN