Gia kini sudah berada di bandara, karena sebentar lagi jadwal penerbangannya. Dia diantarkan oleh kedua orangtuanya sampai ke bandara. Dan tentu saja, dia masuk ke ruang tunggu sendirian.
Gia tak tahu keputusannya ini benar atau salah. Gia hanya berharap dia selalu baik-baik saja dan tak ada masalah apapun karena dia tak jujur pada keluarganya.
Ya, karena sebenarnya Gia tak pernah memikirkan untuk pergi liburan ke Bali. Awalnya dia membuat rencana untuk liburan di rumah saja. Atau mungkin pergi ke pantai yang dekat saja. Tapi, ada seseorang yang menyarankannya untuk liburan ke Bali.
Siapa orang itu? Dia adalah Jeffan. Tentu saja karena mereka kemarin makan siang bersama hingga mereka berbicara banyak hal bersama. Jeffan lah yang menyarankan Bali untuk tempat liburan Gia. Kebetulan, pria itu juga akan ke sana untuk urusan bisnis selama kurang lebih lima hari.
Jadi intinya, sekarang Gia berangkat ke Bali bersama dengan Jeffan. Dia tidak sendirian. Bahkan, Jeffan lah yang membelikannya tiket. Dan entah kenapa, Gia mau-mau saja menerima semua tawaran dari Jeffan.
"Jadi, orangtuamu tahunya kamu ke Bali sendirian?" Jeffan bertanya dengan senyuman geli. Gia mengangguk, merasa aneh pada dirinya sendiri.
"Iya. Aku tidak tahu mereka akan bereaksi seperti apa jika tahu aku ke sana bersama denganmu, Kak." Gia menjawab dengan sedikit bergumam. Jeffan yang mendengar itu hanya tersenyum kecil. Ini bukan disengaja. Dia memang ada urusan di Bali. Nah, kebetulan kemarin Gia berbicara tentang cuti dan liburan. Jadi, Jeffan mengajak Gia ke Bali bersamanya. Dan Jeffan juga terkejut saat Gia menerima tawarannya.
"Tak masalah. Aku jadi ada teman ngobrol di pesawat nanti." Jeffan berkata. Gia tersenyum kecil mendengar itu. Dia sekarang sedang di ruang tunggu bersama dengan Jeffan. Dan Gia sedang membayangkan apa saja yang akan dia lakukan di sana nanti.
Gia tak punya kenangan apapun dengan Aksa di Bali. Jadi, rasanya itu tak akan menjadi masalah karena dia tak akan mengingat apapun tentang pria itu. Ya, semoga saja liburannya berjalan dengan lancar.
***
Hari sudah mulai sore, dan sekarang Gia sedang berada di pantai. Oh tentu saja dia tak sendirian, karena ada Jeffan yang menemani. Kebetulan, sore ini waktu pria itu sedang bebas. Karena katanya, pertemuan bisnisnya sudah dilakukan tadi saat jam makan siang. Gia tak tahu itu, karena setelah sampai di hotel dia langsung tidur.
"Kamu punya kenangan di sini dengan seseorang?" Jeffan bertanya. Mereka duduk di atas batu, seraya menikmati pemandangan laut yang membentang di depan mereka.
"Tidak. Dulu saat kuliah pernah ada rencana liburan ke sini. Tapi gak kesampaian. Sekarang malah sudah jadi mantan," jawab Gia. Jeffan tersenyum mendengar itu. Mendingan lah jika begitu ceritanya.
"Kalau Kak Jeffan? Ada kenangan di sini?" tanya Gia balik seraya menengok pada pria itu yang duduk di sebelahnya.
"Iya, ada. Enam bulan yang lalu kami liburan ke sini. Dia bilang, jika suatu hari nanti kami menikah, dia ingin mengadakan resepsi di pantai ini. Namun ternyata dua hal tersebut tidak terjadi sama sekali. Kami tidak menikah, dan pernikahan dia pun tidak dilakukan di sini." Jeffan menghela nafas pelan setelah menceritakan hal yang lumayan menyakitkan baginya. Gia menatapnya dengan lekat, memperhatikan mimik wajah Jeffan sekarang. Apa mungkin seperti itu juga dia di mata keluarganya hingga mereka terus merasa khawatir? Apa seperti ini juga perasaan keluarganya melihat dia patah hati? Karena selain merasa kasihan pada Jeffan, Gia juga merasakan sesak di dadanya. Seolah dia bisa mengerti bagaimana rasa sakit Jeffan.
"Sulit pasti melupakan semuanya. Kenangannya pasti akan selalu teringat setiap datang ke sini," ujar Gia. Jeffan mengangguk, membenarkan perkataan Gia barusan.
"Saat dia menikah, apa Kak Jeffan hadir ke pernikahannya?" Gia bertanya karena penasaran.
"Tentu aku hadir. Aku memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengucapkan selamat tinggal padanya. Walau sampai sekarang perasaanku untuknya belum sepenuhnya hilang, aku tetap berharap kami tidak akan pernah bertemu lagi. Jika pun suatu hari nanti aku bertemu lagi dengannya, aku harap seluruh perasaanku padanya sudah hilang. Aku tidak mau dikasihani olehnya hanya karena tidak bisa melupakannya." Jeffan menjawab dengan tegas. Gia tersenyum mendengar itu. Entah kenapa dia merasa lega saat tahu kalau Jeffan bertekad kuat untuk melupakan mantannya. Lebih tepatnya, menghapus perasaan cintanya terhadap sang mantan yang kini sudah menjadi milik pria lain.
"Beberapa hari ke belakang, aku selalu terpuruk. Menangisi hubungan aku dan dia yang sudah berjalan selama tujuh tahun, namun kandas begitu saja. Rasanya semakin sakit saat sadar kalau ternyata dia tak sedih sepertiku. Bahkan mungkin, sekarang dia sedang bahagia mempersiapkan pernikahannya yang akan dilangsungkan minggu depan. Aku tidak menyangka kalau semuanya akan sesakit ini." Gia bercerita, tanpa Jeffan minta. Namun, Jeffan mendengarkan dengan seksama. Dia bahkan menatap Gia dengan lekat, memperhatikan setiap ekspresi wanita tersebut.
"Aku selalu meyakinkan diriku sendiri kalau aku dan dia memang bukan jodoh. Tapi, tetap saja rasanya sakit. Apalagi dia tak merasa bersalah sedikit pun. Maaf yang dia katakan padaku tidak tulus," lanjut Gia. Tanpa sadar, matanya mulai berkaca-kaca. Rasa sakit dan sesak kembali memenuhi dadanya. Gia kembali berpikir, kenapa Aksa setega ini padanya. Meninggalkannya sendirian dan memilih wanita lain dengan alasan yang sangat menyakitkan.
Jeffan melihatnya. Dia melihat mata Gia yang sudah berkaca-kaca. Jeffan tidak akan menyalahkan, karena awalnya dia pun memiliki respon yang sama seperti Gia. Perbedaannya adalah, dia bisa menyembunyikan air matanya untuk dirinya sendiri agar orang lain tidak melihatnya.
Tanpa bertanya lebih dulu, Jeffan langsung meraih tangan Gia dan menggenggamnya dengan erat. Saat Gia menoleh, Jeffan memberikan senyuman yang menenangkan.
"Tujuanmu ke sini adalah untuk menenangkan diri. Bukan untuk mengingatnya," ujar Jeffan. Kemudian dia berdiri, dan mengajak Gia untuk berjalan menyusuri bibir pantai. Suara deburan ombak dengan kaki telanjang yang menyentuh pasir terasa cukup menyenangkan bagi Gia sekarang. Tangannya pun masih berada dalam genggaman Jeffan. Dan sepertinya pria itu tak memiliki niat untuk segera melepaskannya.
"Jadi, Gia. Kamu memiliki rencana apa saja untuk dilakukan di sini selama liburan?" Jeffan bertanya.
"Entahlah, Kak. Aku belum memikirkannya. Tapi mungkin, menghabiskan waktu setiap sore seperti ini tidak ada salahnya. Sekalian bisa melihat pemandangan matahari terbenam," jawab Gia. Dia tersenyum sekarang, dan ekspresi sedihnya sudah hilang entah kemana.
"Ya, itu ide yang bagus. Boleh aku menemanimu di setiap sore tersebut?" Jeffan melontarkan pertanyaan. Gia menatapnya sekilas dan tersenyum. Kemudian kepalanya bergerak mengangguk kecil.
"Tentu saja. Aku jadi tak akan kesepian." Gia tersenyum lebar setelah mengatakan itu. Dia dan Jeffan pun terus berjalan, membiarkan ombak menyentuh kaki mereka. Mereka kembali berbagi cerita. Namun memutuskan untuk tak menceritakan tentang para mantan yang sudah menyakiti mereka.