Bertemu Lagi

997 Kata
Anggia Maharani. Berusia 26 tahun dan bekerja sebagai staff di bagian administrasi. Dia bekerja di perusahaan yang di pimpin oleh kenalan Revan. Lebih tepatnya, atasan Gia adalah teman semasa kuliah Revan. Ya, itu jelas. Revan anak seorang pengusaha, yang sekarang menjadi penerus usaha ayahnya. Gia sebenarnya sudah ditawari posisi sekretaris CEO. Namun Gia menolak bekerja di perusahaan yang dirintis oleh ayahnya. Dia memilih bekerja di perusahaan orang lain saja. Karena kehidupan Gia yang lumayan tertutup, hampir semua rekan kerja Gia tak tahu kalau Gia adalah anak dari pemilik TN Company. Selain karena nama belakangnya tak mengikuti nama ayahnya, Gia juga jarang bercerita tentang keluarga pada rekan-rekan kerjanya. Ada banyak alasan mengapa Gia tertutup masalah keluarga. Pertama, dia tak mau dianggap spesial oleh atasannya, yang mungkin nantinya mengundang rasa iri dari rekan kerja. Kedua, Gia menghindari memiliki teman yang mata duitan. Jika tahu kalau Gia anak pengusaha dan kakaknya juga seorang CEO, Gia yakin sekali akan jadi tempat peminjaman uang. Gayanya selama ini juga selalu sederhana, tak pernah mencolok atau berlebihan. Bukannya pelit, tapi ya uang itu tidak mengenal sodara. Pernah sekali Gia meminjamkan uang beserta tas branded-nya pada orang yang dia anggap teman dekat. Dan buktinya, uangnya sampai sekarang tak pernah diganti. Bahkan tasnya ikut dibawa kabur. Makanya, sekarang Gia tak memiliki teman yang benar-benar dekat yang biasa disebut sahabat. Karena Gia juga memiliki trust issue tentang teman makan teman atau sahabat pengkhianat. Selama ini, orang yang paling tahu seluk-beluk dirinya adalah Aksa. Ada juga atasannya yang merupakan teman Revan. Dan baiknya adalah mereka bisa diajak bekerja sama agar tidak membongkar rahasia keluarga Gia. Kembali pada masalah pekerjaan, jujur saja sekarang Gia agak kacau. Dia selalu berusaha fokus dan konsentrasi pada pekerjaannya sendiri. Dia berusaha profesional agar tidak membawa masalah pribadi ke tempat kerja. Nyatanya, itu sulit dia lakukan. Apalagi tatapan kasihan dari para rekan kerjanya membuat konsentrasi Gia semakin sulit dikumpulkan. Sebuah informasi, hampir semua rekan setim Gia tahu tentang hubungannya dan Aksa yang kandas. Karena ya, Gia sudah selama itu menjalin hubungan dengan Aksa. Saat sedang berusaha mengumpulkan fokusnya, seseorang berjalan mendekati meja kerja Gia. Gia pun mendongak, menatap rekannya yang kini berdiri di depannya. "Pak Raga minta kamu ke ruangannya sekarang." Gia terdiam mendengar itu, namun langsung mengangguk. Raga Wishnutama, adalah CEO perusahaan tempatnya bekerja, yang merupakan teman Revan. Entah ada urusan apa hingga dia dipanggil langsung oleh pemimpin perusahaan. Tanpa banyak bertanya, Gia pun segera pergi dari lantai tempatnya bekerja. Masuk ke dalam lift, lalu menekan tombol menuju lantai tempat ruangan CEO berada. Tak lama, akhirnya Gia sampai di lantai 23. Dia berjalan dengan santai mendekati meja sekretaris. "Permisi, Bu. Apa benar Pak Raga memanggil saya?" tanya Gia. Sekretaris Raga yang seorang wanita tersebut mengangguk singkat. Terlihat enggan merespon keberadaan Gia. Ayolah. Dia datang ke sana bukan untuk menarik perhatian sang atasan. "Masuk saja. Tapi ingat, jangan lama-lama. Pak Raga sibuk dan sebentar lagi akan ada tamu penting," ucap sekretaris tersebut dengan nada ketus. Gia berusaha mengabaikan respon wanita tersebut yang membuatnya agak terganggu dan tersinggung. Namun Gia tak mau membuang waktu. Akhirnya dia segera masuk ke dalam ruangan Raga. "Selamat siang, Pak." Gia menyapa, membuat perhatian Raga langsung beralih padanya. "Siang juga, Gia. Duduklah." Raga berkata dengan ramah. Gia mengangguk dan duduk di hadapan Raga. "Saya dengar kamu sedang ada masalah. Apa itu benar?" Raga bertanya. Gia menghela nafas pelan mendengar itu. Tahu dari mana Raga kalau dia sedang ada masalah sekarang? Apa mungkin teman-teman kerjanya? Atau ... "Revan bilang katanya kamu sedang ada masalah yang cukup serius. Revan meminta saya untuk memberimu cuti. Katanya, kamu butuh liburan dan menenangkan diri." Raga melanjutkan. Dan perkataannya barusan menjawab pertanyaan dalam benak Gia. "Saya memang sedang ada masalah, Pak. Tapi saya janji akan tetap bekerja dengan profesional. Saya tidak butuh cuti," balas Gia, berusaha meyakinkan. Sekarang dia merasa kesal pada Revan karena sudah bersikap berlebihan sampai mendatangi Raga segala. "Revan khawatir terhadapmu. Jangan salahkan dia yang bersikap berlebihan. Jadi, saya sarankan kamu ambil cuti saja. Terserah mau berapa lama, kamu bisa memutuskannya sendiri," ucap Raga lagi. Gia termenung mendengar itu. Apa iya dirinya butuh liburan untuk melupakan masalahnya? "Baiklah, Pak. Saya akan memikirkannya," ucap Gia pada akhirnya. Raga pun mengangguk pelan. Karena urusannya sudah selesai, Gia pun bangkit untuk segera pergi dari sana. Dia jadi ingat peringatan ketus sekretaris Raga tadi agar dia tak berlama-lama di ruangan Raga karena Raga akan kedatangan tamu penting. Gia berjalan mendekati pintu ruangan Raga dan segera keluar dari sana. Pikirannya yang kurang fokus membuatnya tak menyadari kalau ada orang di depannya. Akhirnya, secara tak sengaja Gia menabrak orang tersebut. Dia sangat kaget, dan secara spontan langsung mengucapkan permintaan maaf. "Gia? Sedang apa kamu di sini?" Gia yang semula menunduk kini langsung mendongak. Matanya melebar untuk sesaat, merasa terkejut karena orang yang dia tabrak ternyata Jeffan. "A-aku bekerja di sini," jawab Gia sedikit gagap. Jeffan mengangguk kecil mendengar itu. Dia lalu tersenyum, melihat Gia yang seperti kebingungan. "Kebetulan sekali kita bertemu lagi," ucap Jeffan. Belum juga Gia membalas ucapan Jeffan, sekretaris Raga terlebih dulu bersuara. "Pak Jeffan, silahkan masuk. Pak Raga sudah menunggu kedatangan Anda," ucapnya. Jeffan menatapnya, lalu mengangguk kecil. "Hei, mau makan siang bersama?" Sebuah pertanyaan dari Jeffan, yang terdengar seperti ajakan. Gia sedikit kaget mendengar hal itu. Dia menatap Jeffan dengan lekat, memastikan kalau dia tidak salah dengar. Dan Jeffan tersenyum geli melihat ekspresi wajah Gia. "Nanti aku tunggu di parkiran. Semoga saja pertemuanku dengan Raga tidak memakan waktu yang lama," lanjut Jeffan. Dia tidak bertanya apakah Gia mau atau tidak. Namun perkataannya barusan seolah sangat yakin kalau Gia tidak akan menolak. "Aku masuk dulu. Kita bertemu lagi nanti." Jeffan berkata diakhiri dengan senyuman. Kemudian dia masuk ke dalam ruangan Raga dan menghilang di balik pintu tersebut. Gia mengerjap pelan, masih tak percaya kalau dia akan bertemu dengan Jeffan di tempat kerjanya. "Ehem. Kenapa masih diam di sini?" Suara sekretaris Raga terdengar, membuat Gia tersadar dari lamunan. Tanpa mau bicara lagi, Gia pun segera pergi dari sana. Dia tak mau berurusan dengan wanita ketus itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN