Tami memilih ke kantor sendirian, ia sengaja berjalan kaki menuju kantor, dan ia turun dari mobil Evano cukup jauh, Tami tidak mau ketahuan oleh karyawan lain. Karena jika ketahuan, ia hanya akan mendapatkan komentar buruk.
Sesaat kemudian, suara klakson terdengar, sebuah mobil Rolls-Royce Sweptail yang di banderol Rp200 miliar.
Tami menoleh dan melihat Leonel sedang tersenyum menatapnya, Leonel tampan sekali mengenakan kacamata hitam, ketampanannya menjadi lebih bersinar. Apalagi mobilnya mewah dan salah satu mobil termahal di dunia.
Siapa yang tidak menginginkan Leonel? Setiap hari yang terlihat Leonel kaya raya dan berasal dari keluarga konglomerat, dan orang terkaya nomor sekian di Indonesia.
Ia memperlihatkan ketampanan dan kekayaannya setiap hari, membuat Tami semakin muak dengannya.
“Masuklah, kantor masih jauh,” kata Leonel.
Tami menoleh kanan kiri dan menggelengkan kepala. Tami mendesah napas halus dan memberi kode kepada Leonel untuk pergi dari sini dan jangan menyapanya. Jangan sampai ada orang kantor yang melihatnya dan menjadikan gosip. Itu akan membuat Tami tidak nyaman.
“Masuk atau aku akan tetap membunyikan klakson,” paksa Leonel.
“Pergi lah aku mohon,” rengek Tami.
Alih-alih pergi dari sini, Leonel malah terus membunyikan klakson, ia tak menyerah jika Tami tak masuk ke mobilnya.
Tami tak punya pilihan lain dan langsung masuk ke mobil Leonel, sungguh hal yang menjengkelkan, namun Tami tidak punya pilihan lain selain menerima tawaran Leonel. Leonel memang suka sekali memaksanya.
“Apa maumu?” tanya Tami.
Leonel tersenyum dengan senyuman maut yang dapat membunuh wanita yang menatapnya, namun Tami tidak tertarik sama sekali.
Leonel lalu mengecup pipi Tami membuat Tami membulatkan mata karena merasa kesal.
“Turunkan aku di sini,” kata Tami.
“Tidak mau,” jawab Leonel.
“Aku akan melompat,” ancam Tami.
“Coba saja,” kekeh Leonel membuat Tami semakin kesal.
“LEON!” teriak Tami.
“Yes, Baby?”
“Kamu kenapa sih? Kenapa terus menggangguku?”
Leonel lalu parkir di parkir khusus untuknya, dan mobil Evano ada disamping parkiran khusus Leonel. Karena baru menyadari jika mereka tiba, Tami langsung membungkukkan badannya agar tidak terlihat oleh siapa pun.
“Ada apa denganmu?” tanya Leonel.
“Aku tidak boleh ketahuan,” kata Tami.
“Ketahuan Evan?”
“No. Ketahuan kalau aku dekat dengan salah satu putra pemilik perusahaan ini,” jawab Tami masih membungkukkan badannya.
“Sudah tidak ada orang,” kata Leonel.
“Jangan menggodaku. Kamu pasti bohong.”
“Ya sudah kalau kamu tidak percaya,” jawab Leonel lalu keluar dari mobilnya, sementara Tami masih di dalam mobil.
Tami segera turun dari mobil Leonel dengan mengendap-ngendap, karena tak mau ketahuan siapapun, Tami akhirnya berhasil menjauh dari mobil milik Leonel, Tami mengelus dadanya karena merasa lebih baik setelah keluar dari mobil tersebut.
“Aneh sekali,” geleng Leonel.
“Morning, Tuan Muda Leon.”
“Morning,” jawab Leonel.
“Morning, Tuan Muda Leon,” ucap satunya.
Semuanya mencari muka dan berusaha memperbaiki penampilan mereka, ada yang mengenakan lipstik dengan cepat agar bibirnya semakin merah. Tami yang melihat itu hanya menggelengkan kepala. Ya namanya wanita, siapa yang tidak akan tergoda kepada Leonel? Pria paling tampan di perusahaan ini.
“Tuan Muda Leon selalu saja tampan.”
“Oh benarkah? Thank you,” jawab Leonel.
“Ramah dan genit pada semua perempuan,” gumam Tami.
“Apa kamu cemburu?” bisik Leonel tepat di telinga Tami.
Tami sontak terkejut ketika suara Leonel sangat dekat ditelinganya. Tami tersenyum pada semua orang yang kini menatapnya heran. Tami tertawa terbahak-bahak untuk mengelabui semua orang.
Tangan nakal Leonel menyentuh perut Tami. Tami bergidik dan lagi-lagi ia tidak bisa menyembunyikan tanggapannya.
Tami berusaha menghentikan sentuhan Leonel yang meraba perutnya, Tami terus melakukannya. Sampai akhirnya pintu lift terbuka. Semua orang keluar dan tak lupa mencari perhatian pada Leonel yang masih berdiri dibelakang tubuh Tami.
“Kenapa kamu tak keluar?” tanya Tami.
“Aku akan keluar,” jawab Leonel lalu menepuk p****t Tami sebelum keluar.
“Leon, awas kamu ya,” bisik Tami.
Tami lalu ke ruang HRD, seseorang menunjukkan jalannya kepadanya, Tami menghadap didepan kepala personalia perusahaan. Tami menunduk sesaat, sudah lama ia tidak berkantor, jadi banyak hal yang ia lupakan.
“Aku satu lift dengan Tuan Muda Leon.”
“Benarkah?”
“Yes. Jantungku hampir copot,” serunya.
“Andai aku tahu kalian bisa satu lift, aku rela menunggu di loby.”
“Ini memang menjadi rejekiku.”
Semuanya tertawa kecil dan menggelengkan kepala. Semuanya tersenyum simpul dan kembali pada pekerjaannya ketika atasan mereka berdeham.
“Kamu akan ditugaskan menjadi staf direktur,” kata Tami.
“Baik,” jawab Tami.
“Kamu pergi lah, nanti ikuti saja jalan dari sini, pas ujung kamu akan ketemu tempat direktur.”
“Baik, Bu.”
“Berangkat sudah.”
Tami menganggukkan kepala. Lalu melangkah pergi menuju direktur yang dimaksud, setahunya suaminya adalah CEO di perusahaan ini, syukurlah jika ia tidak bekerja menjadi staf CEO. Ia bersyukur sekali agar tidak terlalu dekat dengan Evano yang akan membuat semua orang heran dan bingung.
“Kamu staf baru?”
“Iya.”
“Kamu duduk di sana dan kerjakan semuanya yang ada di atas meja kamu.”
“Tapi bagaimana caranya?”
“Sudah ada petunjuk tinggal di kerjakan.”
Tami bingung. Tami duduk di tempat yang sudah ditunjukkan, tempat duduknya tepat didepan dinding kaca kantor seorang direktur, Tami mendesah napas halus dan mulai melihat apa yang bisa ia kerjakan. Ia sudah punya pengalaman kerja, jadi mungkin pekerjaan di sini akan sama dengan pekerjaan yang lainnya.
Tami mengelus leher belakangnya. Ia paham sekarang, ia lalu mengerjakan apa yang sudah disuruhkan dan ia mengikuti sesuai petunjuk yang ada.
Tami membuka setiap lembar dokumen itu dan melihat selisih.
Sementara seseorang menatapnya dari dalam sana melalui dinding kaca, Tami tak tahu jika yang melihatnya itu adalah Leonel dan ia juga tidak tahu kalau dia menjadi staf Leonel. Entah bagaimana ekspresi Tami jika tahu bahwa bossnya adalah Leonel. Sementara pria itu lah yang paling ia hindari selain suaminya di kantor ini.
Tami memisahkan yang sudah ia periksa. Lalu lanjut pada lembar selanjutnya. Tami menghela napas halus dan menggelengkan kepala, Tami berusaha tenang, ia tidak boleh buntu, ia harus tetap kerjakan ini.