Didedikasikan untuk semua Sahabat Ukhuwah Sunnah.
***********************************
Ammar mengayun langkah-langkah menenangkan senyuman tipis. Insiden tabrakan tadi menyisakan atmosfer ceria di kematian. Raut kesal gadis yang barusan tadi benar-benar mirip dengan Shaqila.
Meskipun penampilan mereka berbeda jauh. Sempat menuding dalam hati, dan kini Ammar merapal istighfar saat tidak sadar telah membandingkan. Anak-anak tidak boleh memutuskan syariat, bukan hanya karena kesalahannya sendiri. Tapi ada beberapa yang mendukung, seperti yang didikan dan perhatian yang bisa, atau bisa jadi di rumah dan sekolah yang sudah selesai, tetapi lingkungan dengan pergaulannya yang salah.
Tiba-tiba Ammar diterima gemas dengan gadis tadi. Andai saja dia punya banyak waktu. Pasti akan memberi sedikit pencerahan pada gadis itu tentang harus ditutup aurat. Tapi memangnya siapa Ammar. Dia bahkan tidak kenal. Lalu, bagaimana mungkin gadis itu bukan seorang Muslim bagaimana?
Meninggalkan angan tentang si gadis, dan Ammar kembali fokus pada tujuan. Memasuki restoran netra, Ammar akan mencari setiap sudut, mencari sosok yang akan ia temui. Namun nihil, sudah lebih dari sepuluh menit berdiri di sana, Ammar tidak menemukan orang tersebut. Ammar memilih duduk sambil menunggu klient yang akan membicarakan kerja sama mengobrol.
"Assalamualaikum, Pak Ammar, maaf sudah membuatmu menunggu." sapaan salam tepat di sebelah Ammar. Lelaki belah baya dengan setelan jas berwarna hitam itu tersenyum sambil mengulurkan tangan. Ammar menyambut gembira.
"Wa'alaikumussalam, tidak apa-apa, Pak Hanif, silakan duduk, saya juga baru sampai," sahut Ammar, sambil tersenyum dan mempersilakan duduk.
Pak Hanif adalah salah satu investor yang tertarik untuk menanam modal di perusahaan yang sedang Ammar rintis. Bisnis di properti dan sedang menggalang pengadaan kredit berbasis syariah.
Pembiayaan kredit rumah berbasis syariah semakin dilirik orang Indonesia. Berlandaskan syariat Islam, ritual syariah KPR lebih memberikan kenyamanan karena tidak mengandung riba.Tak seperti KPR konvensional, pembiayaan kredit rumah berbasis syariah tidak menggunakan bunga dalam cicilannya.
Sudah cita-cita Ammar sejak dulu, dia ingin memiliki usaha bukan hanya menguntungkan diri sendiri, tetapi bisa membawa keuntungan pada orang lain.
"Macet ya, Pak Hanif?" Ammar berbasa-basi sebelum memulai obrolan masalah serius kerja sama.
Lelaki yang dibuka Pak Hanif itu menggeleng pelan. Ammar bisa menayangkan raut wajah di wajah yang terhiasi sedikit keriput itu.
"Tadi Aku kesini dengan anak, tetapi dia pergi duluan, makanya tadi Aku pergi ke buat mencari dia, tapi ternyata tidak ketemu, makanya Aku putuskan kembali hanya kesini, dan benar Pak Ammar sudah menunggu di sini."
Tanpa membahas, Pak Hanif menceritakan tentang, mengapa dia bisa sampai tiba terlambat.
"Memang nak kemana, Pak?" tanya Ammar sedikit penasaran.
"Anak Saya itu sangat susah sekali diatur, Pak. Umurnya baru selama dua belas tahun, tapi selalu hanya membuat masalah. Semua memang salah Saya, sejak dia kecil hanya melimpahkan perhatian melalui materi, sampai dia sekarang besar, Saya baru tahu bagaimana pakaiannya. Dia tumbuh menjadi pribadi yang sulit digerakkan, sangat manja dan mendapat dorongan besar tentang keinginannya. "
Ammar menyimak dengan takzim saat Pak Hanif bertutur. Sebenarnya ini agak aneh. Urusan pekerjaan jadi tercampur dengan masalah pribadi. Tapi Ammar tidak bisa melarang Pak Hanif. Kesannya sangat tidak sopan jika sampai Ammar memotong ceritanya.
"Sabar, Pak, mungkin sedang dalam masa pubertas," sahut Ammar mencoba netral.
"Eh, maaf Pak Ammar, kenapa aku malah jadi membahas masalah pribadi." Pak Hanif mengusap wajah kasar, kemudian membetulkan letak kacamatanya. "Baik Pak Ammar, kita mulai saja akad kerja samanya," sambungnya pada Ammar.
***
Ammar melaju mobil menuju rumah Buya Zaid - kakek Ammar dari Abi Ghaly. Karena kecil Ammar lumayan dekat dengan Buya Zaid. Bolak-balik dari kantor ke rumah kakeknya atau ke pesantren sudah menjadi rutinitas Ammar.
Ammar agak cemas, sebab kakeknya yang sekarang sering sakit-sakitan. Tadi Ammar baru dapat telepon dari Budhe Ganiyah - kakak perempuan Abi Ghaly. Budhe Ganiyah dinilai jika Buya Zaid tadi pagi jatuh di kamar mandi, untuk itu lepas dari pertemuan dengan Pak Hanif, Ammar langsung pindah menuju kesana.
Sekalian nanti Ammar akan membicarakan rencana Azra yang akan melamar Shaqi pada keluarga besar Abinya, sebagian besar Buya Zaid.
Mobil honda CRV yang Ammar kemudian terparkir di depan bangunan besar. Rumah besar dengan desain khas timur tengah itu kediaman Buya Zaid dan Ummah Salamah. Kakek-Nenek Ammar dan Azra.
Usai memarkir mobil, Ammar cepat turun dan melesat ke dalam. Tak lupa mengucapkan salam saat langkahnya di depan ruang tamu.
"Assalamualaikum," ucapnya sembari melenggang masuk.
"Wa'alaikumsalam, sudah ditunggu sama Abbah, Ammar langsung saja ke kamar Abbah, ya." Budhe Ganiyah menyambut Ammar dan menitahkan Ammar segera ke kamar Buya Zaid.
" Nggeh Budhe, nuwun sewu," ucap Ammar dalam bahasa Jawa halus yang berarti permisi.
Budhe Ganiyah putri menerima Abbah Zaid, yang menikah dengan putra seorang Kyai dari Solo. Baru dua minggu yang lalu Budhe Ganiyah memutuskan sementara kembali ke Gresik dan menemani Ummah Salamah merawat Abbah Zaid.
Memasuki kamar Abbah Zaid, hal pertama yang ada di benak Ammar akan disampaikan tentang kisah Azra dan Shaqi.
"Assalamualaikum Buya." Ammar langsung mendekat pada Abbah Zaid yang terbaring di ranjang. Lelaki sepuh yang mengulas senyum, meski raut dulu sudah penuh keriput dan terkadang ada kernyitan, seperti menahan rasa sakit.
"Abdullah, masuk ke sini, Nak. Buya mau ngobrol sama kamu, Le," titah Abbah Zaid dengan suara agak tersendat.
Karena Ammar kecil, Abbah lebih suka dipanggilnya dengan sebutan Abdullah.
Abdullah selain nama dari Almarhum ayah Abbah Zaid, atau kakek buyut Ammar dan Azra, juga alasan lain adalah karena nama Abdullah merupakan salah satu dari dua nama yang paling dicintai oleh Allah.
Nama Abdullah dan Abdurrahman berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Kitab Shahihnya dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu' alaihi wa sallam , beliau bersabda,
إِنَّ أَحَبَّ أَسمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَبدُاللَّهِ وَ عَبدُ الرَّحْمَنِ
"Nama Sesungguhnya yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman." (HR. Muslim no. 2132)
"Buya, istirahat saja yang banyak, jangan banyak pikiran." berondong Ammar. Dia sebenarnya tidak tega melihat keadaan Abbah Zaid. Sehari-hari Abbah Zaid sudah tidak bisa berjalan normal, kemana-mana bisa pakai kursi roda. Namun satu hal yang membuat Ammar sangat mengagumi kakeknya tersebut. Bagaimana keadaan Abbah Zaid, tetapi ia tidak pernah absen meninggalkan salat lima waktu, dalam keadaan sakit pun tetap menjalankan kewajiban.
"Buya gimana keadaanya, apanya yang sakit?"
"Buya tidak apa-apa. Orang tua sakitnya memang seperti ini, Le, tinggal menunggu waktu saja."
"Buya jangan bicara seperti itu, Ammar nggak suka. Katanya Buya mau lihat Ammar nikah, terus mau gendong anak-anak Ammar."
"Kapan Abdullah? Buya sudah memintamu membawa calon istri dari tahun-tahun lalu, tapi jawabanmu selalu sama, belum siap dan belum ketemu sama yang sreg."
" Ngapunten Buya, Ammar memang belum dipertemukan jodoh sama Allah. Tapi Buya Ampun susah, Azra sampun kepanggih jodoh, Di Syaa Allah, lagi-lagi Azra yang bakal nikah duluan, Buya. Makanya Buya yang sehat ya, biar bisa jadi sudah dilihat di nikahan Azra . "
* Ngapunten = Maaf
* Mpun Susah = Jangan
kecewa * Sampun kepanggih jodoh = Sudah ketemu jodoh
* Le '= mengaktifkan untuk anak laki-laki di Jawa timur.
******** Tahajjud Cinta ********
"Lho, Azra wes ndisiki, kan kamu kapan saja Le?"
* Wes ndisiki = Sudah lebih dulu
" Di Sya Allah, pandunganipun mawon Buya."
* Pandunganipun mawon = Mohon Doanya saja.
"Doaku selalu menyertai kalian cucu-cucu kesayangan Buya. * Golek sempurnaning urip lahir batin lan kusumpurnaning pati"
* mencari kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat, kita memiliki tanggung jawab atas kehidupan sendiri, baik dunia dan akhirat
"Aamiin. Matur nuwun Buya,"
* Matur nuwun = Terima kasih
" Sopo calone Azra, kok nggak pernah diajak ke sini?"
"Buya kenal kok, tapi Buya jangan kaget ya, mau tahu siapa calon bicara Azra."
" Sopo Le?"
"Dek Shaqila, Buya."
Ammar agak ragu saat lupa nama Shaqila. Cemas dengan reaksi Abbah Zaid, tetapi ia hanya mengangguk pelan.
Ammar lega, itu artinya Abbah Zaid sudah paham dan merestui.
"Suruh cepat-cepat dilamar saja, biar Buya bisa ikut menyaksikan akad nya nanti."
Ammar mengangguk. Meskipun masih tersisa setitik perih saat mengingat Azra yang akan mengucap akad atas Shaqila, tapi Ammar menepis rasa itu. Menyambut senyum bukti bahwa Ammar ikut berbahagia.
******
Turun dari taksi online dengan tas kertas penuh tangan, gadis yang ditabrak Ammar tadi langsung mengayun langkah cepat menuju bangunan besar di diperbaru.
Agak kerepotan saat dia memencet bel di pagar depan.
Seorang satpam berlari dengan tergopoh, langsung membuka pintu gerbang.
"Siang Non," ucapnya sopan. Tapi tak ada yang sah dari si gadis. Dia malah mengambil acuh dan melampaui langkah.
"Aisyah, tidak lagi ya!"
"Tidak Mama! Tidak Aisyah, tapi Ayudia!"
Gadis yang berbicara Aisyah itu memberengut kesal, saat rungunya mendengar panggilan sang mama. Gadis itu langsung melengang dan mendarat di sofa rumah tengah.
Sedang perempuan menerima baya yang tadi membukakan pintu dengan mata membeliak, kini tersedia tepat di samping sofa. Ekor mantanya memperhatikan sang putri yang malah sibuk dengan ponsel di tangan.
"Aisyah, kamu ini sudah berumur belas tahun, mau sampai kapan kamu kayak begini, Nak?"
"Lagian Mama sama Papa itu jahat, kenapa Ayudia malah didepak dari rumah, trus disuruh tinggal di Pesantren. Kan kuno, Ma!"
"Jangan membantah lagi Aisyah! Keputusan Mama dan Papa sudah bulat, kami begini karena sudah sama Aisyah."
Aisyah Ayudia Prameswari. Delapan belas tahun. Baru kuliah semester dua, tetapi karena satu hal Aisyah di DO dari kampusnya. Pak Hanif dan Bu Aliyah-kedua orangtuanya sudah sangat putus-asa akan polah Aisyah.
"Papa sudah memutuskan kalau untuk sementara Aisyah akan dititipkan di pesantren. Asiyah harus nurut, untuk kali ini tidak ada bantahan! Atau Mama dan Papa kirim Aisyah keluar negeri saja, biar Aisyah tinggal sama Oma-Opa saja di Belanda."
"Mamaaaa ... Ayudia nggak mau tinggal sama Oma, tapi juga nggak mau tinggal di pesantren."
Tidak ada jawaban dari sang mama. Itu berarti keputusan harus bulat dan tidak bisa diganggu gugat.
Aisyah memberengut. Gadis itu berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Kantong kertas yang tadi dia bawa ditinggal begitu saja berserakan di karpet ruang tengah.
*****
Bakda magrib, Ammar sudah kembali ke rumah. Rencananya dia akan membawa Azra bertemu Shaqi. Tadinya mau langsung membahas tentang Azra pada Abi dan Ummi, tapi Azra bilang kalau dia ingin bertemu Shaqila dulu, dengan Ammar sebagai pendamping.
Bertemu di salah satu restuaran cepat saji. Ammar dan Azra menghampiri Shaqila. Gadis itu tidak sendiri. Ada Farhan - adik Shaqi yang hanya terpaut usia satu tahun. Saat Shaqi mulai tujuh bulan, Biya Fazha tidak tahu kalau ternyata sudah hamil lagi dan menerima Farhan. Mereka seperti kembar pengantin. Mungkin karena terpaut umur sangat dekat.
Ammar memberi isyarat pada Farhan agar duduk di kursi yang diambil dari tempat Shaqi dan Azra duduk. Sengaja agar mereka tidak malu memulai obrolan. Lagipula tempat ini ramai pengunjung, pasti Azra dan Shaqi bisa dipercaya.
Cukup kama Azra dan Shaqi dalam gening masing-masing. Menghasilkan sama-sama gugup dan malu harus memulai dari mana.
Shaqila lebih banyak menunduk. Rautnya membias merah dan beberapa kali ekor mata Azra meminta tangan Shaqi sedang memainkan ujung jilbabnya sendiri.
"Dek Shaqi, Mas kaget sekali waktu Bang Ammar cerita semua tentang Adek." Azra akhirnya memulai duluan.
"I-iya, Mas. Maafin Shaqi kalau lancang, maaf karena diam-diam menyimpan perasaan sama Mas Azra. Shaqila tau kalau ini tidak benar. Shaqi mau mau jujur sama Mas Azra." Shaqi memejamkan mata rapat-rapat usai mengucap keputusan pengadilan pada Azra.
"Mas Azra juga sama dengan Shaqi. Mas Azra memang bukan laki-laki yang romantis. Mas Azra mau langsung ke titik saja sama kamu. Apa Dek Shaqi mau mendampingi Mas dalam situasi apa pun?"
Shaqila cuma bisa menunduk. Kedua pipi manisnya membias merah. Malu dan salah tingkah.
"Tapi, Dek. Sebelum Dek Shaqi jadi istri Mas nanti, dan sebelum Mas mengucap akad atas nama Dek Shaqi, Mas mau bilang kalau Dek Shaqi harus siap menjadi yang pertama."
Kata-kata Azra tak ubahnya paku tajam yang menacap di hati Shaqi. Apa-apaan lelaki itu. Baru saja menyelesaikan melambung tinggi, dan sekarang belum meminta apa yang sudah diminta untuk menjadi yang baru. Wajah Shaqila semakin memerah, kali ini bukan lagi karena malu-malu, tetapi karena ingin menangis.
"Dek Shaqi jangan salah sangka dulu. Maksud Mas menjadi yang keempat, karena cinta pertama, kedua dan ketiga telah lebih dulu mengisi hati Mas." Azra melanjutkan kata-katanya.
Ammar yang duduk tepat membelakangi kursi Azra bisa mendengar dengan jelas. Reflek yang berhasil membentuk kepalan kuat sebagai ancang-ancang jika Azra akan membantu yang menghilangkan Shaqi.
"Sebelum menyimpan rasa yang sama Dek Shaqi, hati Mas telah lebih dulu tertawan pada cinta pertama, dan itu adalah cinta Mas pada Allah yang Maha segalanya. Lalu yang kedua, cinta Mas telah terpatri pada kekasih Allah, Rasul kita Muhammad. Dan cinta Mas, dia adalah perempuan cantik dan terkasihnya Mas, dia adalah Ummi. Dan sekarang, apa Dek Shaqi mau menjadi yang buat keempat?
Helaan napas lega dari Shaqila, pun dengan Ammar, usai mendengar kata-kata Azra. Shaqila terperanjat. Bibirnya mengatup rapat. Tidak menyangka kalau ketiga cinta itu disetujui Azra adalah sesuatu di luar dugaannya.
********* Tahajjud Cinta ********