3. Tidak Seperti Cinta Ali dan Fatimah

1398 Kata
*********** Tahajjud Cinta ********** Ammar paham jika cinta dalam diamnya sangat jauh dari refleksi cinta dalam diam versi sempurna antara Syayidina Ali dan Syayidatina Fatimah Az-Zahra. Dia memang diam-diam menerima sosok sepupu kecilnya yang bernama Shaqila. Sampai usia tiga puluh satu, Ammar masih belum punya rencana yang serius dengan perempuan, niatnya memang menunggu Shaqi sampai cukup umur. Tapi semua setuju, Shaqila pun menerima Azra adik kembarnya. "Bang, lo jangan ngomong jangan ngada-ngada ya!" cetus Azra kemarin malam saat mendengarkan penjelasan Ammar. "Siapa yang mengada-ada Zra, Shaqi beneran jatuh cinta sama lo, dia mau jadi istri lo. Mending segera aja bawa Abi-Ummi ke rumah Ammi Ilham buat melamar dia." tambah Ammar. Dilihatnya Azra masih bergeming. "Tapi kan, gue belum mau nikah Bang!" "Lo nggak suka sama Shaqi? Ayolah Zra, rasa cinta itu bisa dibangun setelah pernikahan. Yang penting sah dulu, halal dulu baru tumbuhkan cinta." Agak bergetar saat Ammar resolusi pada Azra. Ammar berusaha agar tidak sampai Shaqila sedekah air mata karena terasa pada Azra bertepuk sebelah tangan. "Lo salah Bang, sebaliknya gue ... Gue juga udah lama suka sama Shaqila. Tapi karena dia sepupu, makanya gue cuma bisa diem aja selama ini." Ungkapan jujur Azra menciptakan cengung seklaigus lega di hati Ammar. Meskipun sedikit ada perih, tapi dia lega karena ternyata cinta Shaqila bersambut. Ammar disetujui, dia sendiri yang akan menjadi saksi di pernikahan Azra dan Shaqi nanti. "Yaudah, tunggu apa lagi, bawa Abi-Ummi ke rumah Ammi Ilham Ciptanya." **** Percakapan dengan Azra semalam kembali terpasung dalam memori Ammar. Periksalah mobil dengan kecepatan sedang, Ammar akan bertemu rapat siang ini. Ammar memarkir mobil di depan sebuah mal. Rencananya siang ini akan dihadiri rapat di salah satu restauran yang telah direservasi oleh klientnya. Masih siang tapi langit telah berselimut mendung. Mungkin jika diibaratkan sama dengan suasana hati Ammar sekarang. Redup dan kurang semangat. Melepas orang yang diam-diam dicintai dan disebut dalam setiap doanya, itu adalah segampang yang dibayangkan. Jika Ali bin Abi Thalib saja dapat merasakan kekecewaan saat tahu cinta dalam diamnya pada Fatimah Az-Zahra tidak akan terealisasi. Namun kisah Ammar sangat berbeda jauh dengan kisah cinta paling suci milik Ali dan Fatimah. Jika Ali dan Fatimah dipersatukan sama Allah, tetapi tidak dengan Ammar dan Shaqila. Mereka tidak ditakdirkan menjadi jodoh. Angan Ammar berarak pada kisah cinta suci antara Syayidina Ali dan Syayidatina Fatimah Az-Zahra. Dikisahkan bahwa sejak Ali ikut tinggal bersama Rasul dan bertugas, otomatis Ali tinggal bersama Fatimah. Mereka berdua tinggal dan melewati hari-hari bersama sejak kecil. Tidak berbeda jauh dengan Ammar, Azra dan Shaqila. Meskipun tempat tinggal, tetapi mereka telah akrab sejak kecil. Hingga mengundang remaja, tumbuhlah rasa cinta Ali untuk Fatimah. Hatinya mendesak untuk selalu berada di sebelah Fatimah. Tapi Ali tidak bodoh. Ia adalah pemuda yang beriman. Selamat mencoba. Itu pendam rasa cinta itu bertambah-tahun. Ia menyimpan rasa jauh di lubuk damai bahkan Fatimah pun tidak pernah tahu bahwa Ali menyimpan lama rasa cinta yang luar biasa untuknya. Hingga kompilasi Ali telah meluas dan siap untuk menikah, maka Ali puni berniat menghadap Rasul dengan tujuan ingin melamar putri Rasul yang tak lain adalah Fatimah, perempuan yang sudah lama Ali kagumi. Tapi sayang, niat Ali telah didahului oleh Abu Bakar yang sudah duluan melamar Fatimah. Ali pun harus ikhlas karena cintanya selama ini berakhir pupus. Apalagi Abu Bakar adalah sahabat setia Rasul yang sangat shalih dan sayang kepada Rasul, dan rasul pun menyayanginya. Sementara Ali senang dia hanyalah seorang pemuda yang miskin. Sungguh jauh jika dibandingkan dengan Abu Bakar, pikirnya. Rencana Allah memang sulit ditebak oleh manusia, ternyata Rasulullah hanya diam saja Abu Bakar melamar putri dia. Maksudnya, Rasul menentang lamaran Abu Bakar. Ali pun senang. Karena masih memiliki kesempatan melamar Fatimah. Maka Ali pun ingin segera melamar Fatimah sebelum didahului lagi. Namun sungguh sayang sekali, lagi-lagi Ali didahului oleh Umar. Lagi-lagi, hati Ali tersayat. Ali sangat bersedih. Sama seperti dengan Abu Bakar, Ali tidak menerima harapan lagi. Lagipula, apakah cukup dengan cinta ia akan melamar Fatimah? Karena ia hanyalah seorang pemuda biasa yang mengharapkan seorang putri yang luar biasa. Berbeda jika dibandingkan dengan Umar yang membantah bangsawan yang gagah dan berkharisma. Dan, Ali yakin Fatimah pasti akan bahagia bersama Umar. Maka Ali pun hanya bisa bertawakal kepada Allah, semoga dikuatkan dengan derita cinta yang sedang dialaminya. Kali ini, Ali harus benar-benar ikhlas dan tegar menghadapi kenyataan itu. Namun Ali adalah pemuda yang shalih. Ia pun yakin bahwa Allah MahaAdil. Pasti Allah sudah menyiapkan pendamping hidup siap. Derita cinta memang menyakitkan. “Aku mengutamakan kebahagiaan Fatimah di atas cintaku,” bisik Ali dalam hati. Disaat Ali merasakan derita cintanya, tak disangka-sangka, datanglah Abu Bakar dengan senyum indahnya. Dan jawab Ali untuk segera bertemu dengan Rasulullah karena ada yang ingin beliau sampaikan. Pikir Ali, pasti ini tentang pernikahan Umar dengan Fatimah. Mohon bantuan Ali untuk membantu menyiapkan pernikahan mereka. Maka Ali pun menyemangati dirinya sendiri agar kuat dan tegar. Sungguh, sangat terih-iris. Selain harus membantu mempersiapkan dan menyaksikan pujaan damai menikah dengan orang lain. Sungguh rencana Allah memang yang paling indah. Setelah Ali bertemu Rasulullah, tak disangka, lamaran Umar bernasib sama dengan lamaran Abu Bakar. Sebagai Rasul menerima Ali untuk menjadi suami Fatimah. Karena Rasul sudah lama tahu bahwa Ali telah lama memendam rasa cinta untuk putrinya. Ali pun sangat bahagia dan bersyukur. Ia pun langsung melamar Fatimah melalui Rasul. Tapi, Ali malu kepada Rasul karena ia memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar. Selain itu selama ini dihidupi oleh Rasul sejak kecil. Nmun, sungguh mulia akhlak Rasul. Dia tidak membebankan Ali. Rasul berkata bahwa nikahilah Fatimah Hanya bisa bermahar cincin besi. Akhirnya, Ali menyerahkan baju perangnya untuk melamar Fatimah. Rasulullah menerima lamaran itu. Fatimah pun setuju menerima serta siap menikah dengan Ali. Akhirnya Ali pun menikah dengan Fatimah, perempuan yang sudah lama ia cintai. Itu adalah seklumit kisah cinta nanti indah yang pernah Ammar dengar dan ikut terkesima oleh kisahnya. Kembali lagi, jika cinta dalam diam Abdullah Ammar Zaid tidak seindah kisah mereka. Menggadai benaknya, dan sekarang Ammar sedang mengayun langkah menyusuri lobby ke tempat tujuan. Entah terlalu banyak pikiran atau memang Ammar kurang fokus. Ini malam minggu, tapi siang hari mal sudah penuh dengan pengunjung. Ammar Berjalan Tergesa. Kakinya melangkah, tetapi mengalihkan fokus pada ponsel di pindah.  Ammar agak terhuyung saat merasai pundaknya terantuk sesuatu. Dia tidak sengaja bertabrakan dengan orang yang juga melangkah dari arah pengambilan. "Aduh ...!" rintihan terdengar dari gadis yang jatuh terduduk di sebelah Ammar. Sekilas ekor mata Ammar melirik gadis tersebut. Rapalan istighfar segera teralun. Gadis itu merintis memegang lututnya yang sempat mencium lantai. Tampilannya yang membuat Ammar terus beristighfar. Gaun mini berkerah sabrina, menampakkan bahu putih sang gadis yang langsung terekspos mata siapa saja yang memindainya. Tambahkan rambut dan bau parfum yang menyengat. Ammar menghela napas. Ingin tak acuh, tapi tetap bertanggung jawab dengan keadaan si gadis. "Bantuin dong, ini sakit lho kaki gue!" cetus si gadis. "Kamu bisa berdiri sendiri, kan?" ucap Ammar enggak memandang. "Lo itu ya! Udah nabrak dan bikin jatuh jatuh, trus mau lepas tangan gitu aja?" "Bukan begitu, tapi aku sedang buru-buru sekali. Atau begini, aku tinggal di kartu nama, dan silakan hubungi nanti, aku pasti bertanggung jawab, kalau ada yang sakit atau terluka." Ammar mengangsurkan kartu nama yang diambil dari dompetnya. Beberapa menit terulur dan gadis itu menerima enggan. Dilihatnya si gadis membuka dan memunguti kantong kertas yang berserakan di lantai. "Tolong, Saya sedang ada pertemuan penting, dan sepertinya kamu tidak apa-apa!" Gadis itu menyambar kartu nama dari tangan Ammar, kemudian melengang pergi dengan wajah tertekuk. Bibirnya mengerucut dan tampak tajam menatap Ammar tajam. Ammar malah tanpa sadar mengulas senyum. Gadis itu, perangainya terus Shaqi jika sedang ngambek. Mungkin dilihat dari wajah, tampak dia juga sepantaran dengan Shaqi berumurnya. Hanya penampilan mereka yang berbeda jauh. Shaqila sejak kecil sudah dibiasakan membungkus rapat auratnya dengan hijab dan gamis panjang. Sedang gadis yang barusan itu ... Ammar enggan pindah menilainya. Dia benar-benar terkejut pada wanita yang kerap mengaku takut dinggagu, tapi malah mengirimi penemuan dengan penampilannya. Sementara perintah ditutup aurat sudah jelas ditulis dalam Al Quran. Salah satunya, dalam Al Qur'an surat Al a'raf ayat 26 Allah berfirman: "Hai Anak Adam, sungguh Kami telah menurunkan pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian yang indah untuk perhiasan. Dan pakaian yang takwa merupakan yang terbaik. Yang demikian itu adalah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah. Hah! Ammar menghela napas berat. Lintasan tentang kisah Shaqila dan Azra, lalu Ali dan Fatimah, kemudian insiden kecil dengan gadis yang barusan, lumayan menyita waktu diperlukan. Segera Ammar kembali dan fokus ke tujuan awal. ************** **************
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN