Bakda isya usai pulang dari pertemuan dengan Shaqila, Ammar langsung mengumpulkan seisi rumah. Abi Ghaly dan ummi Illyana berhasil membuat penasaran dengan maksud putranya tersebut.
Ammar menghela napas. Memang tidak akan gampang. Ibarat meneguk secangkir kopi panas, pecah, tetapi masih menyisakan rasa yang melekat. Seperti itu juga perasaan Ammar kini. Berusaha semampunya untuk tidak mempertahankan perasaan yang kadung tumbuh mengakar dalam hati.
"Ada apa, Bang, kok tumben Abi sama Ummi dikumpulin?" Abi Ghaly menodong Ammar dengan pertanyaan. Ketiganya menikmati sofa di ruang tengah yang digunakan untuk menonton televisi atau bersantai.
"Nanti ya, Bi, nunggu Azra dulu, baru Ammar jelaskan."
"Ada apa sih, Bang, Ummi jadi kepo." ummi Illyana ikut hiperbolis. "Oh, jangan-jangan Ammar mau minta dilamarin, Bi. Makanya kita semua dikumpulin begini, siapa Bang? Anak mana? Kok nggak pernah diajak silaturahmi ke sini? Ummi jadi penasaran, siapa tahu Bang, cantik, nggak?" sambung ummi dengan rentetan pertanyaan.
Ammar menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Bingung harus menjawab tanya bertubi dari sang ummi. Tidak sepenuhnya salah. Memang benar Ammar akan meminta dilamarkan gadis, tetapi bukan untuk dirinya sendiri, dan untuk Azra saudara kembarnya.
"Ummi, satu-satu ya kalau nanya, lihat tuh, Ammar bingung mau jawabnya." Abi Ghaly menginterupsi.
"Bener kok, Bi, apa yang Ummi tebak. Ammar memang mau meminta dilamarkan gadis."
"Nah, kan, bener tebakan Ummi. Alhamdulillah, ayok Bang, kapan mau silaturahmi ke rumah calon kamu."
"Lebih cepat, lebih baik, Ummi. Tapi dia bukan calonnya Ammar."
Ummi Illyana mengkerut bingung dengan definisi Ammar.
"Maksudnya Abang Ammar gimana? Mau minta dilamarin, tapi bukan calon kamu?"
"Iya Ummi, Abi, memang bukan calonnya Ammar, tapi ngelamar buat Azra!" cetus Ammar.
"Assalamualaikum Abi, Ummi, Bang Ammar." Azra yang baru keluar dari kamar usai salat isya, langsung menyongsong ke ruang tengah.
"Wa'alaikumussalam, duduk Zra, jelasin sama Abi dan Ummi," titah Ammar.
Azra mengambil tempat di sebelah Ammar. Ummi Illyana menatap gantian pada kedua putranya, seolah ingin menebar pertanyaan tapi masih tertahan.
"Jelaskan Azra, benarkah itu dibilang sama Ammar, apakah kamu mau mempertitbah seseorang?" Abi Ghaly akhirnya yang dikeluarkan kata-kata.
Azra mengangguk sebagai jawaban. Selama ini dia dikenal dengan pribadi yang agak tertutup untuk urusan hati. Berbeda dengan Ammar yang mengutamakan perasaan semua orang, tetapi Ammar lebih ekspresif.
"Siapa Zra, kok kamu kamu, nggak cerita duluan sama Ummi."
"Maaf Ummi Sayang, Azra juga masih nggak nyangka kalau mau melamar dia."
"Padahal Ummi itu maunya kalian berdua nikahnya barengan gitu. Lahiran barengan, nikahnya juga harus barengan."
"Ummi Sayang, jangan yang nggak-nggak ya. Jodoh mana ada yang tahu."
"Kalau gitu yang iya-iya aja, ya, Abang Ustazd!"
"Kalau mau yang 'iya-iya' nanti malam saja, sekarang kita fokus dulu ke anak-anak."
"Ish! Abang ini, emang mau ngapain? m***m aja pikirannya."
"Lho, yang m***m siapa? Nanti malam yang Abang maksud itu, kan, Qiyamul lail bersama, Illyana Sayang."
"Stop! Abi, Ummi ini mau dengerin kita apa mau gombal-gomabalan sendiri sih! Ingat umur Bi, Ummi."
"Umur boleh menua, tapi jiwa dan semangat tetap harus muda, ya kan Ummi?"
"Iya dong Bi."
"Abi sama Ummi jangan kaget ya kalau denger nama yang mau Azra lamar."
Azra kali ini yang angkat bicara. Wajah kalemnya menyiratkan keseriusan saat bertutur.
"Memangnya siapa, Zra? Apa Abi dan Umi sudah kenal," sahut Ummi Illyana.
Azra mengangguk. Menggaruk tengkuknya yang tidak takut karena grogi akan memanggil nama Shaqila di depan Abi-Umminya.
"Abi sama, Ummi, kenal sangat dekat, kok, sama-sama tahu, Azra." Ammar ikut menimpali.
"Ayo Zra ngomong, siapa dia? Jangan bikin Ummi penasaran!"
"Dek Sha-Shaqila, Ummi, Abi."
Azra menunduk usai mengucap nama Shaqi. Sedang Abi Ghaly dan Ummi Illyana saling bersitatap. Terperangkap terperanjat. Mungkin agak kaget saat tahu siapa yang akan dilamar oleh Azra.
"Azra bercanda ya?" tukas Ummi.
"Demi Allah, Azra serius Ummi. Abi, apa salah jika Azra ingin menikahi Dek Shaqi, kan kami bukan mahram, halal untuk menikah."
"Astagfirullah, Ummi kira yang suka sama Shaqi itu Ammar. Soalnya Ummi menerima Shaqi lebih dekat sama Ammar, eh nggak tahunya bukannya sama Azra."
Ammar mencelos. Tebakan sang ummi tidak sepenuhnya salah. Awalnya dia menghabiskan perasaan lebih pada Shaqi. Namun kini saat tahu Shaqi lebih memilih Azra, Ammar pun akan membuang jauh-jauh rasa itu.
Jodoh. Memang kadang aneh. Terkadang malah tak terduga. Jodoh tidak bisa ditebak, jodoh juga bukan perkara yang utama-utama. Pilihanya hanya dua, sendiri, atau bersama pasangan halal. Menyimpan rasa pada yang belum halal, itu hanya kesia-siaan, sama saja jagain jodohnya orang. Sakit pastinya.
Dan Ammar berulangkali merapal istighfar. Merasa salah karena telah memendam perasaan padahal sekiranya itu tidak pantas untuk dilakukan.
"Azra serius?"
"Di Shaa Allah, Abi, Ummi. Kalau Abi sama Ummi meridhoi Azra buat khawatiritbah Dek Shaqi."
"Masih nggak nyangkah aja, apakah Azra sama Shaqila, kalian diam-diam saling suka. Gimana ini Bi?"
Ummi Illyana bertanya seraya menatap pandang Abi Ghaly.
"Yasudah Mi, sebut jodoh siapa yang tau. Secepatnya ke rumah Bang Ilham buatkan niatan Azra."
"Nanti kalau Bang Ilham syok trus jantungan gimana Bi."
"Ummi, terima itu doa lho, yang baik aja bilangnya."
"Becanda Bi, biar nyebelin tapi Illyana 'kan sayang sama Bang Ilham. Yabuset Bi, apa jadinya nanti ya, kalai Azra beneran nikah sama Shaqi, jadinya; Besasanya mungkin abangku. bisa gitu ya Bi. "
"Ummi ini, ada-ada aja."
Azra menggigit bibirnya sendiri mendengar kelakar menyanyikan Ummi. Sedang Ammar mengulas senyum tipis. Senyum yang ia minta tolong untuk sedikit puas yang merayapi kemenangan.
"Trus Mi, Bi, kapan mau ke rumah Ammi Ilham?" cetus Azra antusias. Mimik gunakan menyuguhkan semangat tinggi, padahal biasanya Azra itu datar dan rata orangnya.
"Ealah, Azra udah nggak sabar tuh Bi!"
"Lebih cepat lebih baik, besok bakda isya, piye Zra?" tawar Abi Ghaly.
"Tapi belum belanja Bi, harus bawa apa aja Ummi?"
"Nggak berhasil membawa apa-apa yang dulu Zra, cukup niat sama cincin buat mengikat Shaqila."
"Oo, gitu ya Bi. Ukuran jari Shaqi ukuran ya, Azra kan nggak tahu, Bi."
"Ammar pasti tahu tuh, coba minta tolong sama Ammar aja buat nyariin cincinnya. Bisakah, kan, Bang Ammar?"
Ammar terkesiap saat Ummi Illyana malah memyuruhnya untuk mencari cincin Shaqila yang akan dibawa Azra untuk melamar gadis itu. Sedikit banyak, Ammar memang paham ukuran jari Shaqila karena selama ini mereka lumayan dekat. Tersenyum sekilas pada Ummi Illyana yang menatap lekat ke arahnya, kemudian Ammar mengangguk sebagai jawaban.
"Oke Ummi. Tenang aja Zra, biar gue yang beresin urusan satu itu," ucap Ammar. "Tapi Ummi, Abi, besok Ammar mohon ijin, nggak bisa ikut ke rumah Ammi Ilham." sambungnya lagi.
"Lho, kenapa Bang? Masa Abang nggak ikut."
"Ammar sudah berjanji sama Buya mau menemani ke ponpes."
Ammar mengucap hamdalah. Mengapa ini bukan alibi untuk menghindari acara lamaran besok, tetapi memang benar, jika Abbah Zaid meminta ditemani. Meski tidak ikut hadir, tapi doa Ammar ikut mengiringi niat baik Azra.
****
Ammar mengambil mengambil wudhu sebelum beranjak tidur, tetapi mengambil tertunda karena ketukan pintu dari luar kamar.
Gema suara Ummi Illyana meminta ijin untuk masuk. Ammar Membuka pintu dan mempersilakan sang ummi masuk.
"Udah mau tidur, Bang?"
"Belum Mi, kenapa Ummi tumben malem-malem ke kamar Ammar?"
"Sini Bang, duduk deket Ummi."
Ammar menurut. Ummi Illyana yang telah duluan mendaratkan tubuh di sofa meminta Ammar mendekat.
Saat Ammar sudah ada di sebelahnya, ummi Illyana langsung menghambur dan memeluk Ammar dengan erat. Setetes bening muncul dari lelehan mata Ummi.
"Um-ummi kenapa." Ammar langsung menyeka pipi ummi yang basah.
"Ummi sedih lihat kamu, kenapa nggak jujur aja kalau Ammar juga mau hati sama Shaqi?"
Ammar terperanjat. Bagaimana Ummi Illyana bisa tahu dan paham akan perasaannya selama ini.
"Ummi tahu dari mana?"
"Abang lupakan satu hal, Ummi ini seorang ibu, apa pun yang diterima anak-anak Ummi, Ummi tahu dan paham, Bang." jelas ummi Illyana. "Sudah dari tadi Ummi rasanya mau nangis ngelihat ketegaran kamu. Kamu masih bisa tersenyum, padahal hatimu sedang sakit. Ummi bisa merasakannya, Ammar. Ummi tidak akan membahas bagaimana kamu bisa sama Shaqila. Perhatiannya kamu ke dia, Ummi tahu Ammar."
Ammar menggeleng pelan.
"Ummi, sudah ya. Ammar ikhlas Mi, demi Allah, tidak apa, lagi pula Dek Shaqi sendiri yang dinilai sama Ammar kalau dia juga suka sama Azra."
"Shaqila bilang begitu sama Ammar?" Ummi Illyana menatap Ammar, kaget dengan ucapan putranya tersebut.
Ammar mengangguk, kemudian pindah kembali terulur kembali ke air di kedua pipi ummi Illyana.
"Umminya Ammar yang paling cantik, jangan nangis, nanti cantiknya ilang. Sudah ya, Mi, yang penting Ummi selalu doakan Ammar saja, semoga bisa cepat ketemu sama jodoh yang terbaik."
"Selalu Nak, doa Ummi buat kalian berdua, anak-anak Ummi."
"Ummi seneng 'kan, akhirnya Allah mengijabah harapan Ummi. Dulu Ummi tidak pernah meminta Shaqi sama Ammi Ilham, buat Ummi rawat, dan sekarang Shaqi bakalan dulu, Ummi, Ammar, terima kasih sama-sama dengan rencana Azra, jadi Ummi, tolong jangan harapin Ammar."
"Ma Syaa Allah, Ammar, sikap kamu kayak gen benar-benar mirip sama Abimu. Tapi Abimu lebih nyebelin dikit sih."
"Kalau Ammar, Mi?"
"Kalau Ammar nyebelinnya banyak."
"Yaah, kok ..."
"Tapi Ummi sayang Ammar."
Mengacak rambut Ammar, Ummi Illyana kemudian kembali memeluk Ammar.
Putra kesayangan yang dulu sangat dekat. Azra juga dekat, tapi tidak sedekat Ammar.
Jika Azra mulai agak jauh setelah beranjak dewasa, tetapi Ammar tetap dekat dan manja jika bersama Ummi Illyana.
*****
Seperti yang telah direncakan, bakda ini Azra bersama Abi-Ummi akan silaturahmi ke rumah Ammi Ilham dengan maksud khawatiritbah Shaqila.
Ammar sudah sejak bakda magrib tadi. Dia benar-benar absen untuk ikut mengantar Azra.
Sudah mengabari sebelumnya pada Ammi Ilham jika mereka akan mengunjungi malam ini.
Hening dan senyap, saat Abi Ghaly usai menuturkan perihal menyambut mereka malam ini.
Ammi Ilham bertanya dengan kerutan bingung, tidak paham dengan maksud Abi Ghaly.
"Maksudnya gimana ini? Menyambung kekeluargaan yang mana, kita kan emang keluarga, Ly."
Ammi Ilham melempar tanya. Masih belum terbaca di dalam otaknya tentang maksud perkataan abi Ghaly yang mengatakan bahwa tujuan mereka ke sana untuk menyambung tali kekeluargaan. Jelas saja bingung, bukankah mereka memang keluarga, apanya yang mau disambung.
"Begini Bang Ilham, sama Fazha. Datang kami ke sini selain silaturahmi juga ada maksud tertentu."
"Niat, apaan?"
"Abang Ilham ini, biar dijelasin dulu sama Bang Ghaly, jangan main potong dong." interupsi Illyana.
Abi Ghaly kembali dibuka suara. Sejak tadi malah Azra masih tetap pada gemingnya. Sambil memandang sambil melihat pada Shaqila yang duduk berseberangan mendengarkan. Pun Shaqi sama, dia lebih banyak diam dan juga menunduk. Gadis itu sudah tahu pasti datang keluarga Azra, tapi dia belum cerita apa-apa pada kedua orangtuanya.
"Maksud kami kesini, mau melamar Shaqila untuk Azra, Bang Ilham." tembak Abi Ghaly langsung.
Hening kembali. Ammi Ilham langsung diizinkan, "Dagelan kalian ini, ojo guyon, Ghaly, Liliput!" tuturnya dengan wajah tegas.
"Nggak guyon Bang, serius ini, mau melamar Shaqi buat Azra. Iya kan, Zra?"
"Iya, Ammi, sebelumnya meminta maaf buat Ammi dan Bisa Fazha, jika menerima kami mendadak dan Azra baru datang saat ini. Azra sudah dewasa, sama juga sama Dek Shaqi, kami tidak bisa meminta saat ini terpelosok pada rasa kagum masing-masing. Azra sudah lama memendam perasaan sama Dek Shaqi, tapi Azra nggak berani ngungkapin. Sekarang, dan baru saat ini di depan Ammi langsung, Azra menerima perasaan pada Dek Shaqi. , untuk melamar Dek Shaqi menjadi istri Azra ... "
"Nggak boleh!" tegas Ammi Ilham dengan rahang mengeras.
Semua mata menoleh pada Ammi Ilham. Shaqila yang dari tadi hanya menunduk juga ikut serta tidak percaya pada Ayahnya.
"Ayah," rengek Shaqi sudah hampir menangis.
"Shaqila masih kecil, masih fokus kuliah, pokoknya Ayah nggak merestui kalau Azra mau melamar Shaqi sekarang."
"Bang Ilham kok gitu sih!" Illyana mencak-mencak, hampir keluar amarah, tetapi ditolak oleh Abi Ghaly.
"Ly, Shaqila itu masih kecil, sebagai disetujui aku masih belum puas menjaganya, manjain dia, jadi teman mainnya. Trus tiba-tiba mau diambil sama Azra, nggak segampang itu ya!"
"Ayah, jangan begitu," Fazha ikut menimpali. Dia paham kalau sudah bicara dengan nada tegas begini, Ammi Ilham tidak bisa dibantah lagi.
"Ayah, tapi Shaqi mau nikah sama Mas Azra."
"Shaqila, jika Ayah bilang enggak, ya Enggak!"
"Ayah jahat! Shaqi kecewa sama Ayah."
Shaqila berlari dengan langkah cepat setelah berucap pada pembicaraan. Azra bisa melihat gadis itu melelehkan udara di kedua pipinya.
Azra menghela napas. Tidak kaget. Dia paham, sebagai ayah, mungkin Ammi Ilham memiliki alasan sendiri mengapa belum menyiapkan Shaqila. Tadinya berpikir semua akan berjalan mulus, nyatanya masih ada batu sandungan. Memang seperti itu yang disebut jodoh, ibarat pohon yang bercabang, tetapi tetap memiliki satu akar. Jodoh itu bosa datang dari segala arah, tapi tetap satu patokannya, yaitu Takdir Allah.
**