Rasanya pengen nyungsepin wajah ke dalam sumur. Sumpah deh, ini mah udah melewati batas. Frustasi aku frustasi. Bulan yang cantik merana saat ini.
"Heh... Kepala lo kenapa? Rusak otak tuh loe jedot-jedotin ke atas meja."
Tuh kan suara si Rina temen satu fakultas yang tiba-tiba muncul dan tidak di harapkan kadang membuatku kesal. Ini salah satu sahabatku selain Meita. Tapi bedanya kita satu fakultas dan sama-sama berada di kelas statistik.
"Berisik ah." Aku malas untuk keluar dari kelas. Padahal kelasnya Bu Ratih udah kelar dari 15 menit yang lalu. Tapi takut ketemu sama si kutub es itu. Huhuhu papa anakmu malu.
Mengingat kejadian kemarin, dengan percaya dirinya aku meminta Irgi jadi pacarku. Reaksinya sungguh membuat aku rela mengunyah es satu kulkas penuh. Dia hanya mengangkat alis, lalu hanya menggeleng. Dan pergi begitu aja meninggalkanku. Coba itu gimana coba?
Untung saja saat pagi tadi masuk kelas Bahasa Inggris juga Irginya gak nongol. Tapi nanti kalau ketemu di lorong, di kantin atau di taman? Aku gak bisa menjaga wajahku ini. Malu sungguh malu. Aku hampir gila kalau begini.
"Ke kantin aja yuk Bul." Tuh kan si Rina juga gak tahu apa temennya lagi tersiksa kayak gini. Aku mengangkat wajah dan menggeleng dengan lesu. Rina mengangkat alisnya, tak mengerti apa maksudku.
"Lagi males ke kantin. Pengen pulang di kos aja." Dan matanya langsung membelalak. Lalu menyentuh keningnya dan mengernyit lagi.
"Gak demam gini, ngapain pulang awal di kos. Lagian lo juga masih ada kelas kan?"
Aku hanya mengangguk lesu dan kembali menyandarkan kepalaku di atas meja. Pokoknya aku lagi males berada di kampus.
"Loe lagi dapet ya?" Rina mengerjap ke arahku. Dan aku kembali menggeleng.
"Gue ngantuk." Aku langsung bergegas beranjak dari kursi. Males deh dapat interogasi dari Rina.
"Ye si Bul Bul ngambek deh. Beli es teh yuk, gue traktir deh es batunya yang banyak."
Rina berjalan mensejajariku. Tapi dia tiba-tiba langsung menarik tanganku untuk menghentikan langkahku.
"Astaga! Gue bisa jatuh ini." Tapi kemudian Rina menunjuk pintu kelas. Dan aku langsung memekik. Di sana, sudah ada Irgi yang berdiri dengan menatapku penuh intimidasi.
Tuh dia mau apa coba? Aku langsung merasakan tengkukku begidik. Dia mengangkat tangan dan menyuruhku mendekat.
"Lo kenal sama si Irgi." Bisikan Rina membuatku menoleh kepadanya. Dan Rina tampak berbinar matanya. Jangan bilang kalau ini salah satu fansnya Irgi.
"Gue..." Tapi aku memekik lagi saat merasakan ada yang menarik tanganku dan membuatku mengalihkan pandangan lagi. Dan ternyata Irgi sudah menarik tangan kananku.
"Kamu ikut sama aku." Aku hanya mengangkat alis. Tak percaya apa yang baru saja kudengar. Di tambah lagi sorakan teman-teman yang masih ada beberapa di kelas membuatku makin malu. Ini apaan sih?
Irgi menatapku dengan tatapan menilai. Lengkap dengan wajah datarnya dan songong itu.
"Memangnya...mau kemana?" Ucapanku tersendat karena senggolan tangan Rina yang sudah menyeringai itu.
"Kencan." aku membelalakkan mata mendengar ucapan Irgi. Keras dan lugas. Tentu saja semua orang yang sedang menatap kami langsung bergumam.
"Kencan?" aku seperti beo yang ikut saja ucapannya. Dan dia sepertinya tak sabar. Dia langsung menarikku, sampai di ambang pintu.
"Nabilaaaa...." Duh itu suara si Iwan yang kemarin malam aku janjiin makan siang bareng karena selama ini aku tak pernah menyambut traktirannya. Daripada membuatnya terus mengejarku aku putuskan untuk menerima ajakannya. Lagipula kemarin kan aku dalam kondisi putus asa karena di tolak Irgi.
Iwan menatapku dan Irgi bergantian. Dia sudah sampai di depan kami. Dan kurasakan Irgi makin mengeratkan genggaman tangannya.
"Katanya mau makan sama gue... Yuk udah gue pesenenin tempat di cafe sebelah."
Tapi sebelum aku menjawab, Irgi sudah menarikku untuk melangkah. Tapi sedetik kemudian berdiri di depan Iwan yang nampak bingung itu.
"Dia pacarku." Hanya mengatakan itu dan terus menarikku sampai melangkah meninggalkan Iwan yang masih tak mengerti apa yang terjadi. Duh maafkan aku ya Wan.
"Ini mau kemana sih?" Aku mencoba menggerutu dan menarik tanganku. Dan pandangan tiap mahasiswa yang lewat atau kami lewati tampak penasaran. Sungguh pemandangan ini membuat semua orang pasti langsung bergosip.
Selama perjalanan dari koridor sampai tempat parkir Irgi tak menoleh sedikitpun ke arahku. Tapi genggaman tangannya makin terasa semakin erat. Membuatku terseret-seret di belakangnya.
"Masuk!" Dia melepaskan tanganku dan menyuruhku masuk ke dalam mobilnya yang berbeda lagi dari yang kemarin dia bawa.
"Ih apaan sih. Gue mau pulang." Tapi Irgi menahan tanganku lagi dan menatapku dengan kesal.
"Sudah aku bilang kita mau kencan." Dia mengatakan itu masih dengan kesongongannya. Dan aku malah makin kesal.
"Siapa yang pacaran?" Aku menantangnya tapi kemudian melihat dia mengangkat alis lagi. Sumpah, itu alis terlalu sering di angkat deh.
"Kemarin kamu mengatakan ingin jadi pacarku."
Wajahku langsung memerah dan merasa malu. Dia mengingatkanku kembali kepada harga diriku ini.
"Itu kan kemarin. Lagipula Lo pergi gitu aja." Aku menunjuk dadanya dengan telunjukku. Tapi Irgi lagi-lagi menangkap jemariku.
"Aku tak suka di lamar." Dia tampak gelisah. Tapi kemudian menatapku lekat. Duh kenapa jantungku berdegup begini kencang ya. Aroma musknya menguar membuatku tak fokus. Irgi berdiri di depanku dan kini masih tampak mengintimidasi.
"Sekarang aku yang ingin melamarmu. Be my girl!"