Bab 2. Pencuri

1099 Kata
"Mencuri?" Nova seketika mengerutkan kening. "Siapa yang mencuri? Aku gak ngerasa mencuri apapun dari Anda! Lebih baik Anda pergi dari sini, Tuan William. Aku gak nerima tamu dua kali, apalagi sampe dateng ke rumah." "Jahat kamu!" decak Willi seraya tersenyum menyeringai. Nova hendak menutup pintu karena merasa terganggu, tapi Willi segera menahan pintu tersebut menggunakan kakinya sendiri. Hal tersebut tentu saja membuat Nova semakin merasa kesal. "Sebenarnya mau Anda apa sih, Tuan?" tanya Nova sinis. "Lebih baik Anda segera pergi dari sini sebelum saya teriakin maling!" "Yang maling itu kamu, kenapa saya yang diteriakin maling?" "Aku gak ngerasa mencuri dari Anda, Tuan. Sebenarnya Anda kehilangan apa sih? Mungkin barang Anda yang hilang itu jatoh waktu Anda pulang!" "Tidak, saya kehilangan hati saya setelah kamu pulang dari hotel, Nova," rengek William seraya mengerucutkan bibirnya sedemikan rupa. "Apa?" Nova seketika membulatkan bola matanya merasa kesal. "Maksud Anda apa sih? Aku gak ngerti!" William tiba-tiba saja meletakan telapak tangannya di dadanya sendiri dengan ekspresi wajah sedih. "Hati saya udah dicuri sama kamu, Nova. Kamu harus tanggung jawab. Kalau nggak, saya gak bakalan pergi dari rumah ini." "Hah?" Kedua mata Nova kembali membulat, beberapa saat kemudian wanita itu menutup kedua matanya seraya mengusap wajahnya kasar. "Jangan bercanda, Tuan. Mendingan Anda pergi dari sini, oke?" Nova kembali hendak menutup pintu, tapi lagi dan lagi pintu kayu berkat coklat itu kembali ditahan menggunakan telapak tangan William. "Saya mohon jangan usir saya dari sini, Nova. Saya cuma pengen ngobrol sebentar sama kamu," ujarnya seraya menatap sayu wajah sang kupu-kupu malam. "Tidak! Apa Anda gak denger apa yang aku bilang semalam? Aku cuma bekerja melayani pelanggan di atas ranjang, bukan nemenin ngopi atau ngobrol santai. Kalau Anda mau ditemani ngobrol, kenapa Anda gak ngobrol sama istri Anda aja sih? Anda punya istri, 'kan?" tegas Nova penuh penekanan, kesabarannya benar-benar setipis tisu. "Saya memang punya istri, Nova, tapi hubungan kami tidak--" "Cukup, aku gak mau dengerin curhatan Anda," sela Nova bahkan sebelum Willi menyelesaikan apa yang hendak ia sampaikan. "Anda sudah menganggu waktu istirahat saya. Jadi, lebih baik Anda pergi dari sini, oke?" "Saya akan membayar kamu, full seperti semalam asal kamu mau nemenin saya ngobrol, gimana?" "Nggak!" "Hmm! Gimana kalau lima juta persatu jam?" Nova terdiam sejenak seraya memutar bola matanya ke kiri dan ke kanan. Lima juta perjam hanya untuk menemani ngobrol? Ia mulai memikirkan penawaran yang baru saja dilayangkan oleh pria bertubuh tinggi itu. Jika hari ini ia mendapat pemasukan uang yang cukup, maka dirinya tidak perlu keluar malam. Bukankan itu lebih menguntungkan dibandingkan dengan melayani tamu di atas ranjang? Batin Nova mulai tertarik dengan tawaran sang Presdir. "Gimana? Kamu pasti mau dong terima tawaran saya?" tanya Willi seraya tersenyum lebar. "Lima juga perjam lho. Kalau kita ngobrol dua jam aja, kamu udah dapet 10 juta. Lumayan, 'kan. Kamu jadi gak perlu cape kerja malam nanti." "Lima juta sejam, ya," ujar Nova datar. "Iya, lima juta sejam. Kamu pikir saya bohong? Apa perlu saya transfer uang mukanya dulu?" Willi merogoh saku jas hitam yang ia kenakan lalu meraih ponsel canggih miliknya dari dalam sana. Tanpa menunggu persetujuan, pria itu pun mentransfer uang sejumlah lima juta ke rekening Nova lalu memperlihatkan bukti transfernya kepada wanita itu. "Liat, udah saya transfer lima juta," ujarnya, tanpa menunggu dipersilahkan Willi masuk begitu saja ke dalam rumah yang terbilang sederhana itu. Ya, rumah tersebut bisa dikatakan terlalu sederhana untuk wanita berpenghasilan jutaan dalam semalam. Tarif boking Nova sekali kencan terbilang cukup mahal yaitu, lima sampai delapan juta sekali melayani. Wanita itu bisa saja menghuni rumah yang lebih besar dari ini. Batin William mulai bertanya-tanya. Mengapa Nova hidup sesederhana ini padahal uang yang dihasilkan cukup besar? "Ko Anda gitu sih, main masuk-masuk aja ke rumah orang? Dasar gak sopan," decak Nova memutar bola matanya kesal seraya menutup pintu. "Ish, kamu ini. Saya 'kan udah transfer uang muka buat kamu. Ya ... suka-suka saya dong," jawab Willi seraya menatap sekeliling ruang tamu di mana sofa yang sudah agak usang bertengger di sana. "Ngomong-ngomong, kamu tinggal sendiri di sini?" "Iya, aku ngontrak sendiri di sini," jawab Nova datar. "Ngontrak? Saya pikir rumah ini punya kamu sendiri." Willi semakin merasa penasaran dengan kehidupan wanita yang sudah mencuri hatinya itu. "Duduk dulu, Tuan William. Aku ambilkan minum dulu buat Anda," pinta Nova tanpa menimpali pertanyaan Willi. "Sofa kamu udah jelek, nanti b****g saya sakit kalau duduk di situ," tolak Willi hanya menatap sofa berwarna hitam tersebut. "Apa Anda mau saya mengembalikan uang yang udah Anda transfer tadi?" "Hah? Ja-jangan dong, masa dikembaliin?" decak Willi akhirnya bersedia duduk dengan perasaan canggung dan tidak nyaman. Nova tersenyum ringan lalu berjalan ke arah belakang untuk mengambilkan minum. Wanita itu benar-benar merasa tidak habis pikir, bagaimana bisa William tahu di mana ia tinggal? Apa jangan-jangan, pria itu menyuruh orang untuk mengikutinya semalam? Batin Nova kembali bertanya-tanya. Bukannya membuatkan minuman untuk sang pelanggan, yang dilakukan oleh Novariyanti adalah memasuki kamar mandi. Kedatangan Willi yang secara tiba-tiba membuatnya tidak memiliki kesempatan untuk sekedar cuci muka dan gosok gigi. Ia segera melakukan hal itu karena tidak ingin William merasa tidak nyaman dengan bau mulutnya usai terlelap semalaman. "Heran deh, dari mana dia tau rumah gue di sini? Dasar horang kaya," decak Nova seraya menyikat gigi. Setelah memastikan napasnya benar-benar segar dan mencuci wajahnya di kamar mandi, barulah Nova menyiapkan minuman untuk William. Dua gelas teh hangat pun ia bawa menggunakan nampan dan kembali ke ruang tamu dengan wajah yang sudah lebih segar. "Maaf ya, Tuan. Aku gak punya minuman lain selain teh ini," sahut Nova seraya meletakan apa yang dia bawa di atas meja. "Gak apa, Nova. Meskipun cuma teh hangat, tapi kalau kamu yang bikin, pasti rasanya kayak anggur merah yang manis." sejurus rayuan gombal pun mulai dilayangkan oleh William. "BTW, kamu lebih cantik tanpa make up, Nov. Terlihat natural, cantiknya itu alami gitu lho." Wajah Nova seketika memerah tersipu malu. Ia memang sudah terbiasa mendengar pujian dari laki-laki, tapi pujian tersebut tidak benar-benar tulus karena statusnya sebagai kupu-kupu malam tetap saja dipandang rendah karena memang seperti itulah kenyataannya. Namun, rasanya benar-benar berbeda ketika pujian yang sama dilontarkan oleh pria berusia 39 tahun itu. Terdengar tulus tanpa dibuat-buat. Nova duduk di kursi yang berbeda dengan wajah merah merona. "O iya, dari pada kamu kerja jadi kupu-kupu malam, gimana kalau kamu kerja sama saya aja?" pinta William. "Maaf, Tuan. Aku gak ngerti maksud Anda? Emangnya ada pekerjaan yang pantas buat wanita kotor kayak aku?" "Sekarang kamu lagi kerja sama saya." "Hah?" "Pekerjaan kamu cukup temenin saya ngobrol. Bayarannya sama, lima juta sejam, tapi dengan syarat kamu gak boleh nerima tamu lagi selamanya. Kamu cukup terima saya aja sebagai tamu kamu, gimana?" Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN