Setelah dua bulan latihan bertarung dan tujuh bulan berlatih sihir Agras merasakan kekuatannya bertambah berkali-kali lipat, ia tak menyangka bahwa dirinya bisa memiliki kekuatan seperti itu. Ia bisa memecahkan batu dalam sekali ledak, ia bisa memancarkan air dan membuatnya seolah hujan, semua itu ia lakukan dalam waktu singkat yang tak hampir satu tahun.
Semua orang mengatakan bahwa ia memiliki kemampuan di atas rata-rata anak seusianya, bagaiamana tidak ia memang bukan anak-anak meskipun tubuh dan kehidupan barunya memaksa ia menjadi seorang anak-anak yang dianggap kecil oleh semua orang, itu memang tak masalah baginya, dengan begitu mereka tak akan mempermasalahkan apa yang ia lakukan.
Kini setiap pagi hingga menjelang siang ia berlatih perdang dengan Prata, seorang laki-laki yang berasal dari Loth dan ternyata teman dari Luis, ayahnya di dunia ini. sore hari ia harus berlatih sihir dengan Laika, ia menikmati semua itu meskipun kadang ia sedikitr lelah dan ingin beristirahat tapi tak pernah bisa.
Ia harusnya tak boleh mengeluh karena semua itu yang ia inginkan selama ini, ia ingin tak hidup dalam kebosanan terus menerus dan memiliki kekuatan layaknya seorang Main Character disebuah film yang bisa melakukan apapun hingga Over Power, sayangnya ia bukan tokoh karakter yang seperti itu, ia bukan tokoh utama dari sebuah cerita ia hanya seolah pendamping bahkan pemain yang disetting untuk melengkapi ceritra.
Setiap malam setelah selesai berlatih ia lebih memilih untuk tidak dan tidak melakukan apapun yang menguras tenaga, karena tenaganya akan ia pakai lagi nanti esok harinya. Berlatih pedang dengan Prata ia harus kuat jika tidak maka Prata akan dengan mudah meleparkan tubuhnya kesana-kemari seolah ia bola yang dilempar di dalam sebuah ruangan dan akan berhenti ketika gayanya habis.
Prata tak peduli bahwa dirinya meskipun anak-anak, karena menurut Prata ia melakukan semua itu bukan mengajarinya tapi untuk menjadi guru dari seorang reinkarnasi pahlawan yang akan menyelamatkan dunia. Menurutnya dunia sedang tidak baik-baik saja, iblis dan para penyihir hitam sedang berkeliaran serta mencari cara bagaimana bisa mengeluarkan Raja Iblis dari sana, jika Raja iblis keluar dari segelnya maka dunia akan hancur dan tak menyisakan apapun.
Agras tak ingin mati sia-sia dan malah menjadi seorang yang tak berguna padahal ia sudah pindah dunia, ia menerima semua itu dan tak lagi mengeluh karena ia sadar mengeluh seperti apapun itu tak mengubah bahwa dirinya tak akan bisa lagi kembali kedunia miliknya bersama kekasih dan juga ibunya. Maka dari itu ia menerima semuanya dengan lapang d**a.
Saat Agras memikirkan hal itu, seseorang mengetuk pintunya. Agras berjalan membukakan pintu, awalnya ia berpikir kemungkinan Laika yang membawakan cemilan malam tapi ternyata yang ada di depannya kini Destron. Malas sekali rasanya ia bertemu dengan laki-laki tua itu meskipun sebenarnya sudah cukup lama ia tak terlihat pembicaraan dengannya setelah beberapa bulan saat ia menanyakan tentang siapa sebenarnya dirinya.
Agras mempersilahkan Destron masuk dan kemudian keduanya terlibat pembicaraan tentang perkembangan Agras selama ini yang menurut Destron cukup baik.
“Kau memiliki perkembangan yang cukup cepat sebagai seorang anak sebelas tahun,” kata Destron. “Pantas kau menjadi cucu dari Zaheer.”
“Kenapa tak ada satu orang pun yang mengatakan padaku bahwa aku ini memiliki kakek?” tanya Agras sedikit ragu sendiri jika seandainya dulu Agras mengetahui hal itu.
“Kehidupan keluarga Zaheer cukup rumit dulu, maka kalian tak saling bertemu,” ujar Destron. “Tapi aku datang kesini bukan untuk membahas itu. Aku masih penasaran dengan siapa aku kini berbicara, kau bukan Agras, bukan?”
Agras menghebuskan napasnya, ternyata Destron masih menanyakan tentang itu, Destron masih penasaran tentang siapa sebenarnya dirinya, kemungkinan memang roh penjaga yang mereka maksud itu telah mengatakan semuanya yang terjadi. Si dewa sebenarnya tak melarang dirinya untuk bercerita tapi ia tetap saja ragu untuk membuka mulut.
“Kenapa kakek selalu bertanya tentang diriku, seolah aku ini bukan Agras,” ujar Agras masih berusaha mencari cara agar ia tak terlihat pembicaraan berlebihan pada Destron.
Jujur saja ia sebenarnya ingin mengatakan tentang dirinya, tapi entah mengapa ia masih ragu untuk menjelaskan, ada banyak sekali pikiran yang menganggunya yang tak membiarkannya berbicara sepatah kata pun. Bukan si dewa, jelas sekali entitas menyebalkan itu tak melarangnya untuk berbicara apapun, hanya saja ia sendiri yang masih ragu untuk berucap.
Agras belum yakin jika setelah mengatakan ini semua akan baik-baik saja karena mungkin saja Destron tak percaya bahwa dirinya bukan manusia dari dunia yang kini ia tinggali.
“Karena aku tahu ada yang kau sembunyikan, aku sudah mendengar banyak hal dari roh penjaga alam semesta, sebelum semuanya terlambat bicaralah.” Destron masih terus memaksa Agras untuk berbicara meskipun Agras sendiri bingung harus berbicara apa. Apa lagi kini Destron seolah mengancamnya, jika ia tak mengatakan siapa dirinya akan ada hal buruk yang terjadi, apa itu tentang dirinya atau tentang orangtua?
Jika benar maka tak ada pilihan lain selain ia mengatakan semuanya, sebab Luis dan Vina adalah orangtua terbaik yang pernah ia miliki selama ini, mereka adalah pasangan yang tak memiliki celah sedikit pun, ia bahkan kini merindukannya.
“Kau bukan anak kecil, hanya tubuhmu saja yang seperti anak-anak. dari cara bicaramu, penguasaan sihir dan bertarungmu, serta bagaimana kau belajar dan bertingkah itu jelas sekali,” sambung Destron.
Sial. Agras mengumpat, ia baru sadar ternyata selama ini ada orang yang memperhatikan gerak-geriknya, dan mereka mengerti ada yang tidak beres dengannya, mengapa ia tak berusaha menyembunyikannya dan berusaha menjadi anak kecil saja. Namun, sampai saat ini nyatanya ia tak pernah bisa.
Sepertinya kini saatnya ia mengatakan siapa dirinya sebenarnya, Agras yakin itu tak masalah sama sekali karena ia tahu bahwa Destron bisa dipercaya, meskipun kakek tua itu begitu menyebalkan tapi tetap saja ia seorang pemimpin penyihir di kota itu.
“Apa aku akan mendapat jaminan perlindungan jika aku mengatakan siapa aku sebenarnya?” tanya Agras, ia berusaha meminta tawaran pada Destron. Lelaki tua itu mengangguk. “Aku memang bukan berasal dari dunia yang kini kau tinggali, aku berada di dunia lain entah itu semesta lain atau bagaimana, aku tak bisa menyebutnya.”
“Di luar dua Earthonius yang ada?” tanya Destron kini pada Agras.
“Bukan.” Agras menjawab singkat. “Dalam tubuh Agras ini ada jiwa seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, aku tak sadarkan diri setelah terjatuhi besi baja, benda itu belum ada di duniamu. Setelah aku pingsan dewa mengatakan padaku untuk membuatku hidup kembali, yakni di dunia ini.”
Agras kemudian menceritakan semua yang terjadi pada Destron hingga tiga tahun lamanya ia berada di sini. Destron yang awalnya begitu penasaran kini malah seolah bingung sendiri, ia seakan berpikir tengah dibohongi seorang anak kecil, itu terlihat dari air mukanya yang berubah.
“Kakek pasti berpikir aku bohong, bukan? Aku bicara jujur, aku menempati tubuh Agras seorang diri jiwa milik anak ini sudah tidak ada lagi setelah tersambar petir tiga tahun lalu,” sambung Agras.
“Jadi dalam tubuhmu ini jiwa pahlawan atau bukan?” tanya Destron lagi.
“Aku tak tahu, jika benar ada jiwa pahlawan seharusnya aku berdua di sini tapi nyatanya aku sendirian.”
Sejak lama setelah si dewa mengatakan bahwa seharusnya ada jiwa lain di dalam tubuh kecil itu, Agras mulai berpikir kapan jiwa itu akan datang padanya dan menemuinya, karena sampai detik ini ia tak menemukan siapapun, ia tetap saja sendirian bahkan ia merasa memiliki tubuh ini, seperti jiwa dan raga Richard bukan sesosok hantu yang merasuki tubuh manusia.
“Jika kau reinkarnasi yang dipilih para roh harusnya ada jiwa pahlawan dalam tubuhmu,” kata Destron.
“Jika tidak ada, apa aku boleh kembali pulang?” tanya Agras, ia sedang mencari celah.
“Tidak bisa, roh penjaga alam semesta tak mungkin salah memilih, kau kini hanya tinggal menunggu,” ujar Destron pada Agras. “Aku yakin cepat atau lambat jiwa sang pahlawan pasti akan datang menemuimu dan mengatakan semuanya.”
“Kau sudah tahu aku siapa sebenarnya, kini aku yang ingin tahu siapa Raja iblis yang kalian maksud itu, kenapa aku harus melawannya dan apa yang akan terjadi jika kau tidak melawannya?” tanya Agras lebih banyak dari pertanyaan Destron tadi.
“Raja iblis adalah musuh abadi bagi sang pahlawan, setelah ia mencoba menghancurkan dunia manusia dan kini tersegel ia berusaha lepas dengan bantuin bala tentaranya, satu-satunya yang bisa menolong dunia ini hanya sang pahlawan,” papar Agras.
“Kenapa tidak kakek saja, kekuatan sihir kakek kan luar biasa, digabung dengan Pak Prata yang hebat bertarung,” kata Agras.
“Tidak akan sebanding, kekuatan Raja iblis dan bala tentaranya memiliki kekuatan yang tak terukur, hanya pahlawan yang bisa mengalahkannya,” ujar Destron.
Bagaimana pun tak ada cara lain selain menerima semua itu, karena kehadiran pahlawan seolah sudah seperti sebuah doktrin yang dipercaya di dunia ini bahwa ada seorang yang bisa menyelamatkan dunia dari marabahaya yang akan di lakukan oleh sang raja iblis. Ini lebih tepatnya kebaikan melawan kejahatan begitu juga sebaliknya, kepercayaan yang ada terus.
Agras dan Destron terus membahas hal itu sampai kedunya mendapatkan kesepakatan bersama, bagaimana pun Agras harus menerima kenyataan bahwa ia sesuatu yang dipilih oleh orang-orang itu, meskipun ia tak yakin akan apa yang terjadi nanti padanya, sedangkan Destron mengatakan bahwa dirinya yakin bahwa suatu saat akan ada hal baik setelah semua ini berakhir dan dunia aman.