“Aku sudah menguasai sihir sampai tingkat empat, mengapa aku harus belajar bertarung?” tanya Agras di sela-sela mereka beristirahat setelah berlatih pedang.
Sudah satu bulan lamanya Prata mengajari bagaimana caranya menggunakan pedang untuk menyerang pada Agras, agar anak itu bisa bertarung meskipun tanpa menggunakan sihir. Dalam satu bulan belajar banyak sekali peningkatan yang begitu cepat dari Agras, bahkan Prata cukup kagum dengan apa yang terjadi, padahal dulu saat seusia Agras ia begitu lemah.
Destron mengatakan padanya pada suatu waktu bahwa menurutnya Agras memiliki kemampuan di atas rata-rata anak seusianya, Prata pikir itu hal yang biasa karena di dalam dirinya ada jiwa seorang pahlawan, tapi ternyata pikirannya berbeda, ia harusnya berekspektasi lebih tinggi karena Agras memang bukan anak kecil biasa. Dalam satu bulan banyak sekali jurus yang ia kuasai, ia bisa menggunakan sihir dan ilmu berpedang secara bersamaan tanpa ada yang kurang dan salah sedikit pun.
“Sewaktu-waktu sihir bisa habis ketika kau melawan musuh yang memiliki sihir lebih tinggi, tapi bertarung tak akan ada habisnya,” ujar Prata menjawab pertanyaan Agras. “Sihir itu ibarat air dalam botol akan habis jika kau minum dan terkenal matahari, sedangkan bertarung itu botolnya kau bisa mengambil kembali air atau menggunakan botol itu untuk menyerap panas matahari.”
Agras mengangguk-angguk seolah paham dengan apa yang dikatakan Prata, meskipun ia masih mencoba menangkap apa makna dari kata kiasan itu. Prata berbicara padanya seolah dirinya bukan anak kecil tapi laki-laki yang sudah beranjak dewasa. Apa Prata tahu tentang dirinya? Agras sedikit berpikir, meskipun kemudian pikirannya sendiri yang menjawab dengan kata tidak mungkin, karena Destron saja masih terus bertanya tentang siapa sebenarnya ia maka dari itu tak mungkin Prata bisa tahu.
“Kau tingkatan penyihir berapa, Paman?” tanya Agras penasaran. Prata memiliki kekuatan dan tubuh yang berbeda dari manusia lainnya, Agras berpikir kemungkinan Prata menjadi penyihir tingkat tujuh atau delapan, setidaknya di bawah Destron yang menurut Laika memiliki tingkat paling tinggi dari semua penyihir yang ada, yakni sembilan.
“Tingkatan penyihir? Mungkin nol,” jawab Prata. Agras berpikir bahwa itu hanya sebuah candaan. Mana mungkin Prata memiliki tingkatan nol atau sama sekali tak memiliki sihir. “Pasti kau pikir aku bercanda, bukan? Tapi nyatanya tidak. Aku ini manusia biasa, keturunan manusia bukan penyihir, aku tak memiliki sihir bahkan aku tak bisa menguasai mantra, berbedanya aku memiliki tubuh yang sangat kuat layaknya raksasa.”
“Jelas sekali jika itu, tapi aku pikir sihir bisa diasah dan dikembangkan,” kata Agras.
“Apa Laika tak mengatakan padamu, bahwa penyihir itu ada yang keturunan dan tidak. Jika mereka memiliki keturunan maka itu ia terlahir menjadi seorang penyihir, tapi jika mereka bukan keturunan maka sihir itu ia dapatkan dari perpecahan anugrah Tuhan, seperti bakat alami. Aku tidak memiliki keduanya,” papar Prata.
Agras kini mengerti, tapi aku pikir itu tidak masalah bagi Prata, buktinya meskipun ia tak memiliki kekuatan sihir kekuatan jauh lebih hebat, ia bukan manusia biasa, bahkan Agras sendiri berpikir awalnya Prata memang bukan manusia melainkan raksasa atau monster, semua orang akan mengatakan seperti itu jika pertama kali melihatnya.
“Apa kau memiliki keluarga penyihir?” sambung Prata sambil bertanya.
“Aku tidak yakin, karena selama ini aku lihat Ibuku hanya seorang petani dan ayahku seorang pandai besi, tapi beberapa bulan lalu Laika mengatakan padaku jika kakekku dan kakek buyutku seorang penyihir,” ujar Agras mengatakan pada Prata apa yang Laika katakan, meskipun ia sendiri tak yakin karena selama ini tak ingat bagaimana wajah dan bentuk sang kekek itu.
“Siapa nama kakekmu? Aku kenal banyak penyihir,” kata Prata.
“Laika bilang namanya, Zaheer. Aku tak ingat kapan terakhir kali bertemu dengannya,” kata Agras.
Mendengar namanya Zaheer, air muka Prata langsung berubah seketika. Ia terkejut mengetahui bahwa Agras adalah cucu dari seorang pemilik tingkatan sihir yang secaraan bersamaan dipuncak dengan Destron, selain itu Zaheer yang ia tahu bahwa mertua dari seorang laki-laki yang hampir mengalahkannya, yang tak lain Luis.
“Kau anak dari Luis?” tanya Prata lagi penasaran. Agras mengangguk. Kemudian Prata mengeluarkan sebilah pisau kecil punggungnya. “Kau lihat pisau perak ini.”
Agras melihat pisau itu, memperhatikan setiap detailnya, ia pernah melihat benda dengan gagang seperti itu berulang kali di rumah, jelas sekali bahwa pisau itu buatan Luis, ayahnya.
“Bukankah itu pisau buatan, Ayahku?” ujar Agras sambil bertanya.
“Benar ternyata kau anak dari Luis, pantas saja kekuatanmu begitu hebat meskipun kau masih anak-anak,” kata Prata.
“Kau mengenalnya? Aku baru ingat jika ia pandai besi yang cukup terkenal.”
“Bukan sekedar kenal, tapi aku tahu siapa dirinya dan aku hampir mati karenanya.”
Prata kemudian bercerita. Sekitar lima belas tahun lalu, beberapa tahun sebelum Luis dan Vina menikah. Ia pernah bertemu dengan Luis disuatu turnamen pedang, saat itu Prata menutupi identitas dirinya sebagai seorang ahli bertarung, ia ingin mendapatkan uang dari turnamen itu dengan mengalahkan musuh-musuhnya.
Singkatnya ia mengalahkan semua musuhnya, tersisalah satu lawan yakni Luis. Tubuh mereka berbeda jauh, Prata pikir akan menang, tapi ternyata ia salah besar. Luis bisa mengimbanginya dan bahkan begitu hebat, berulang kali ia terpojok. Pertandingan yang harusnya berjalan tiga puluh menit itu sampai memakan waktu dua hari. Tubuh keduanya sama-sama kuat bahkan saking kuatnya arena bertarung sampai retak dan ditinggalkan para penonton.
Keduanya sama-sama kalah dengan tubuh yang banyak memiliki luka, di saat itu Prata hampir sekarat dan menyadari bahwa ia tak seorang diri di dunia ini yang memiliki kekuatan layaknya raksasa. Ia dan Luis adalah dua manusia yang bukan berasal dari keturunan penyihir.
“Ayahku bisa mengalahkanmu?” Agras bertanya dengan sedikit penasaran. Prata mengangguk. “Padahal kalau dilihat tubuh kalian berbeda. Kau harusnya bisa menang.”
“Besar-kecilnya tubuh tak mempengaruhi sebuah kekuatan dan kemenangan, kau bahkan bisa mengalahkanku jika kau memiliki kekuatan yang cukup,” ujar Prata. “Tapi kau tahu sejak saat itu kami menjadi seorang teman dan Luis memberikanku pisau perak ini, sayangnya kami kemudian berpisah saat kami menikah masing-masing, kau ingin mendengar cerita tentang pernikahan Ayahmu.”
Agras mengangguk, kemudian Prata kembali menceritakan tentang pernikahan Luis dan Vina. Awalnya Luis dianggap sebagai seorang penculik karena membawa Vina kabur secara diam-diam, Zaheer hampir saja membunuhnya dan menghancurkan seisi desa yang ia tinggali, karena setelah menjalin hubungan di Kasota mereka pergi ke desa di pinggiran Trona.
Namun, Zaheer mengurukan niat itu karena Vina mengatakan bahwa ia mencintai Luis dan siap hidup dengannya. Sejak saat itu Vina dan Zaheer tak lagi bertemu. Tapi setengah tahun lalu, Luis mengatakan di suratnya bahwa ia pergi ke Kasota karena ada masalah yang terjadi. Prata pikir dia sedang mencari perlindungan Zaheer dan itu ada kaitannya dengan Agras.
“Denganku?” tanya Agras memotong pembicaraan itu.
“Zaheer dan Vina tahu bahwa kau menjadi seorang reinkarnasi yang itu berarti bahwa akan banyak sekali orang-orang jahat dan iblis yang mencarimu, mereka juga mengincar keluargamu agar kau datang dan mereka bisa menangkapmu. Jika mereka membunuhmu maka reinkarnasi akan terhenti sesaat, menunggu waktu reinkarnasi selanjutnya tidaklah sebentar,” ujar Prata.
Agras tahu itu Laika pernah mengatakan padanya, tapi ia tak sampai berpikir bahwa orangtuanya kini juga dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Ia telah membawa orangtuanya masuk kedalam masalah yang cukup besar yang ia sendiri tak bisa menolongnya. Menjadi seorang reinkarnasi ternyata membawa dampak buruk bagi orang-orang di sekitarnya. Bahkan kemudian Prata mengatakan bahwa ketika dalam perjalanan menuju Lumiren ia diserang para iblis yang ingin menghabisinya.
Ia terpikir bahwa p*********n itu sama seperti dirinya saat juga pergi ke Lumiren, begitu sampai di kota ini seolah ia tak bisa melihat dunia luar, karena menurut Laika Lumiren sudah diisi dengan sihir dan mantra untuk menangkal segala hal jahat baik penyihir hitam maupun iblis.
Setelah pembicaraan panjang itu mereka pun kembali berlatih. Kini tekad Agras untuk bisa bertarung dan belajar sihir begitu menggebu, karena dirinya sudah tahu alasan mengapa ia harus memperjuangkan dirinya bukan sekedar sebagai penyelamat dunia tapi juga menyelamatkan keluarganya, karena ia tak ingin melihat orang-orang baik itu mati sia-sia.
Meskipun yang ia ingat hanya masa sekitar tiga tahun saja setelah ia masuk dari dunia yang lain, tapi Luis dan Vina adalah orang paling baik yang pernah ia kenal selama ini.Vina sudah menggantikan sosok ibunya sedangkan Luis adalah satu-satunya ayah yang ia miliki. Ia tak rela jika terjadi hal buruk pada kedua orangtua barunya, karena kini hanya mereka yang ia miliki. Bagaimana pun ia tak mungkin bisa kembali kedunianya, maka dari itu ia harus mengurus dan menjaganya. Prata mengatakan bahwa Luis dan Vina saat ini di tempat yang cukup aman, sama seperti halnya ia yang kini berada di kota Lumiren.
Pada suatu malam setelah Prata dan Agras berlatih, Prata bertemu dengan Destron untuk membicarakan apa yang terjadi pada anak itu.
“Kau tak mengatakan bahwa ia keturunan dari Zaheer padaku,” kata Prata pada Destron.
“Aku tak ada alasan mengatakan Agras keturunan siapa, karena tugasmu hanya mengajarinya cara menggunakan pedang dan bertarung.” Destron menjawab sedikit angkuh atas pertanyaan Prata.
Mendengar hal itu Prata langsung jengkel dan kemudia ia mencengkram kerah Destron hingga laki-laki tua itu sedikit terangkat.
“Kau bisa mengatakan itu saat kau tahu bahwa nyawa mereka sedang terancam,” ujar Prata kesal.
“Lalu apa yang kau bisa lakukan untuk mereka? Menolong mereka? Tidak bukan. Jika kau tak mengajarinya cara menggunakan pedang secepatnya makan akan lebih banyak nyawa yang teracam,” kata Destron.
Prata mengendurkan cengkramannya dan membuat Destron turun. Meskipun ia tahu apa yang akan terjadi tapi ia tak bisa melakukan apapun, ia hanya bisa diam dan menunggu sampai waktu itu benar-benar terjadi, seolah ia hanya akan menjadi seorang penonton saja.
Setelah semua ini mungkin lawannya akan jauh lebih tangguh lagi, perjuangannya menjadi seorang petarung hebat selama lebih dari 25 tahun mungkin tak akan berguna.
Ia akan melihat banyak kematian setelah ia bertemu dengan Agras sang reinkarnasi pahlawan, kemudian ia teringat anak dan istrinya. Mungkin mereka kini juga dalam bahaya jika saja para penyihir hitam dan para iblis tahu bahwa mereka keluarganya.
“Sampai kapan aku akan melatihnya?” tanya Prata kemudian.
“Sampai ia benar-benar siap dan lagi pula saat ini para pengikutnya belum datang,” kata Destron. “Kau mengkhawatirkan anak dan istrimu? Tenang saja aku sudah mengirim banyak penyihir di Loth untuk menjaga mereka, lagi pula Lilian itu penyihir hebat dia bisa menjaga dirinya sendiri.”
“Aku mengkhawatirkannya sebagai seorang suami pada istrinya dan juga ayah pada anaknya, kau tak memiliki mereka jadi kau tak akan tahu rasanya.” Setelah itu Prata keluar dari ruangan Destron sambil membanting pintu cukup kencang yang membuat daun pintu itu miring sedikit karena satu engselnya terlepas.
Seharusnya ada sedikit rasa lega dalam dirinya karena Destron menjamin keselamatan anak dan istrinya, tapi tetap saja ia merasakan khawatir yang cukup mendalam pada keluarganya kecilnya saat ini. Masuk kedalam lingkup penyihir sejak dulu sebenarnya tak membuatnya suka, maka dari itu ia melarang Lilian menggunakan sihri dalam bentuk apapun lagi setelah mereka menikah. Dan kini ia malah terlibat masalah cukup besar di dunia para penyihir yang cukup mengerikan.