10. Asking II

1011 Kata
"Bagus." ungkap Saki merasa senang akan kedua kawannya. "Sekarang, menurut kalian kita harus mencari tahu mulai dari mana?" lanjut Saki bertanya. Sanka dan Randra menggeleng. Mereka tidak tahu, apakah ada robot lain yang bisa ditanyai atau tidak. Hidung Saki mengkerut. Dia sedang menjelajahi MEnya untuk mencari memori, apakah ada robot yang bisa ditanyai selain Prof. Jula. Saki bergumam, matanya menerawang ke atas. "Bagaimana, ada?" tanya Sanka. "Ayah." ucap Saki dengan serius. "Ayahmu?" tanya Randra memastikan. Saki mengangguk beberapa kali, sebelum menjawab "Ya." Randra lantas melihat Sanka, mereka berdua berpandangan beberapa detik sebelum Sanka pun mengangguk. "Kapan kita akan menanyai Ayahmu?" tanya Sanka. "Biar aku saja, kalian tunggu. Nanti jika Ayah benar-benar tahu jawabannya, akan ku segera beritahu kalian berdua." ucap Saki mengintruksi. Sanka melirik Randra, lalu ia mengangguk sekali dan berbalik menepuk pundak Randra, setelah itu Sanka mulai melangkah pulang menuju rumahnya. "Ingat Saki, kalau Ayahmu tidak tahu jawabannya samasekali, cepat beritahu kami. Ooh! Aku juga akan mengingat, apakah ada robot yang sudah berpengetahuan luas atau tidak." terang Randra lalu berlari kecil untuk menyusul Sanka. Saki mengangguk. Entah kenapa, dia merasa bahwa sang ayah tahu, walau sedikit mengenai buku ini usang menyebalkan ini. Saki bergegas melangkah menuju gerbang rumahnya, gerbang itu terbuka kala Saki menekan tombol yang berada di bagian kanan gerbang. Saki melangkah masuk, dengan otomatis gerbang tadi menutup sendiri. "Ayah!" teriak Saki ketika sudah memasuki ruang tamu rumahnya. "Ayah." teriaknya lagi. Di jam seperti ini, biasanya sang ayah ada di ruang tamu. Tentu sedang menikmati brown oil kesukaannya. "Ayah, please. Ayah berada di mana?" teriak Saki bertanya. Saki mengingat sesuatu, dia yakin jika ayahnya berada di taman belakang sekarang. Saki pun berlari menuju taman belakang rumahnya yang sudah tandus. "Ayah!" teriak Saki lagi ketika sudah berada di taman. "Ya Nak. Ada apa?" suara sang ayah membuat Saki merotasikan matanya jengah. "Saki sudah panggil berkali-kali, tapi Ayah tidak menyahut samasekali." terang Saki kesal. "Haha, maaf Nak. Ayahmu ini, sebentar lagi juga akan mati." ucap ayah Saki yang membuat tubuh Saki terlonjak kaget. Saki bergegas menuju sang ayah berada. Dia samasekali tidak menyukai pernyataan ayahnya itu. Saki menggeleng, "Tidak Ayah. Kau tidak akan mati, biarpun mati, aku akan berusaha untuk menghidupkan mu kembali." ungkap Saki di hadapan sang ayah. Ayah Saki terlihat tersenyum tipis. Dia merasa bangga pada anaknya. "Tidak apa Nak. Tidak perlu." ucap sang ayah yang menimbulkan kerutan di dahi Saki dan raut wajah marahnya. Ayah Saki yang melihat itu justru tersenyum kembali. Kali ini, bukan hanya senyuman tipis, melainkan senyum lebar yang membuat Saki terlihat lebih marah lagi. "Itu bekerja." ungkap ayah Saki tiba-tiba. Saki mengerjap, dia merasa aneh dengan dirinya sendiri tadi. Sesuatu yang membuat dirinya seakan ingin menghancurkan semua yang ada di sekitarnya. "Apa itu tadi?" tanya Saki penasaran. "Kita bahas nanti. Sekarang, bukankah kau ingin bertanya mengenai suatu hal, dan apa itu?" ayah Saki balik bertanya. "Sebelumnya, Ayah harus berjanji dulu, jika Ayah akan menjelaskan apa itu tadi. Ok?" Ayah Saki tersenyum sembari mengangguk, "Oke." jawab ayah Saki. "So, kamu mau bertanya apa?" lanjut ayah Saki menyeruput brown oil nya. Saki mengeluarkan buku usang yang ia simpan di dalam bajunya. Lalu ia serahkan pada sang ayah, berharap sang ayah tahu mengenai buku usang menyebalkan itu. Ayah Saki terlihat melakukan hal yang sama dengan Profesor Jula tadi, membolak-balik halaman buku itu. "Dari mana kau dapatkan buku ini?" pertanyaannya pun, sama dengan pertanyaan yang dilontarkan Profesor Jula tadi. "Rumah yang terbakar kemarin. Buku itu terlempar dari lantai dua, dari jendelanya." jelas Saki. "Hmm." ayah Saki bergumam. "Kau sudah bertanya pada tetangga baru kita?" lanjut ayah Saki bertanya. "Ya, sudah." jawab Saki. "Dan dia tidak memberikan jawabannya. Benar?" tanya ayah Saki lagi. Saki mengangguk beberapa kali, "Ya, dia tidak memberikan jawaban apapun. Itu sebabnya, Saki bertanya pada Ayah." ucap Saki menjelaskan. Ayah Saki terdengar bergumam kembali. "Ayah tidak tahu mengenai buku apa itu." ungkap ayah Saki yang membaut kedua mata Saki melebar. "Ayah jangan berbohong." "Ayah tidak. Kau coba saja bertanya lagi ke tetangga baru, Ayah yakin dia tahu jawabannya." terang sang ayah. Saki berdecak, baru tadi dia bertanya pada tetangga barunya itu, baru tadi pula ia tidak mendapat jawaban apapun dari tetangganya. "Ayaah." geram Saki malas. "Apa, Ayah yakin dia tahu sesuatu mengenai buku usang itu." ucap sang ayah. "Tadi Saki sudah bertanya pada tetangga baru, tapi dia samasekali tidak memberikan jawaban." terang Saki. "Lalu, kau coba saja bertanya lagi." ujar sang ayah. Saki merotasikan kedua matanya, dia merasa jengkel kepada tetangga barunya itu. "Nanti Saki coba bertanya kembali." ucap Saki. "Ya, terserah kau. Tapi, lebih baik kau bertanya saja lagi sekarang. Bilang, Ayah yang menyuruh." ujar ayahnya memberi saran. "Memang apa bedanya jika Saki bilang kalau Ayah yang menyuruh Saki untuk bertanya? Lagipula, Saki masih jengkel dengan tetangga baru itu. Nanti saja." ucap Saki dengan nada kesal. "Yah, terserah kau sajalah." *** Saki sekarang sedang berada di dalam kamarnya. Dia masih berpikir mengenai buku usang menyebalkan itu. Saki berpikir, mengapa harus dirinya yang menemukan buku itu, mengapa dirinya harus mempunyai rasa penasaran yang menjengkelkan ini. Saki terus-terusan menggerutu dengan kesal. "Buku, kenapa kau harus sobek begini. Seharusnya, kau berusaha untuk menjaga seluruh bagian mu, supaya jika ada robot yang menemukanmu, mereka akan langsung tahu kau itu buku tentang apa!!" seru Saki kepada buku usang yang sedang dia pegang di tangan kirinya. "Saki, Ayah kan sudah menyuruhmu untuk bertanya kembali. Sana, tanya ke Profesor Jula!" ucap ayahnya tiba-tiba berada di dalam kamarnya. "Tapi Yah, nanti sajalah. Saki 'kan sudah bilang, Saki masih kesal." "Kesal karena kau tidak diberi jawab 'kan?" "Ya." jawab Saki dengan nada malas. "Itu karena kau tidak menyertakan nama Ayah. Sekarang, jika kau bertanya dan menyebut Ayah yang menyuruhmu, Ayah yakin kalau Profesor Jula pasti akan memberi tahu mu segalanya." ucap sang ayah panjang. "Baiklah, Ayah." jawab Saki dengan kata yang penuh tekanan. "Haha, santai Nak. Ayah hanya memberi saran kepadamu." Saki merotasikan matanya begitu mendengar tawaan ayahnya yang seperti mengejek. Saki melihat sang ayah dengan mata menyipit. "Apa? Haha, Ayah samasekali tidak bermaksud untuk membuatmu kesal Nak." ucap sang ayah sembari menepuk bahu Saki beberapa kali. Saki sekali lagi, merotasikan kedua matanya kesal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN