Sampai istirahat tiba Rain sama sekali tak bicara, saat Syifa bertanya sesuatu pun hanya ia tanggapi dengan anggukan kepala atau gedikkan bahu saja, hari ini Rain sedang tidak ingin banyak bicara. Tidak hanya karena mood-nya sedang turun drastis, kondisi fisiknya pun sedang tak baik-baik saja. Tubuhnya terasa lemas, ditambah sejak semalam ada saja yang membuatnya marah, jadilah seperti ini di pagi harinya.
"Kamu enggak ke kantin, Rain?" tanya Syifa.
Rain hanya menggeleng, selera makannya tidak bagus hari ini, bahkan sejak tadi yang ada di pikirannya adalah bagaimana ia bisa segera pulang, rasanya ingin segera merebahkan tubuh dan tidur seharian untuk mengembalikan mood baik.
"Kalau aku beliin makanan gimana, Rain? Makan di sini?" tanya Syifa lagi.
Lagi-lagi Rain menggelengkan kepala, ia benar-benar tak berubah pikiran.
"Aku ke kantin, ya, Rain, aku lapar ...," ucap Syifa.
Kali ini Rain menganggukkan kepala, sebenarnya ia tak tega membiarkan Syifa sendirian ke kantin, tapi Rain masih menjadi Rain yang dulu--tak terlalu peduli dengan perasaan orang lain. Untungnya ia memiliki teman seperti Syifa di SMA, yang kebal dengan perlakuan cuek Rain.
Saat kelas sepi, tiba-tiba Reza masuk dan memberikan Rain milk box, Rain yang sebelumnya sedang menumpukan kepala di meja langsung mendongak karena tangannya terkena milk box yang masih dingin itu. Alis tebalnya bertaut, bingung dengan apa yang Reza lakukan. Sedingin-dinginnya Reza di mata orang lain, tapi Reza tetaplah manusia yang punya rasa kasihan, sayangnya Rain bukan tipe orang yang suka dikasihani.
Tiba-tiba Rain bangun, ia mencengkram kerah baju Reza kuat-kuat, matanya memerah, seketika satu-dua orang yang ada di dalam kelas dan orang yang sedang berlalu-lalang di sekitar jendela menoleh ke arah mereka.
"Gua enggak suka dikasihanin, atas embel-embel apapun!" ucap Rain pelan tapi penuh penekanan. Ia langsung keluar dari kelas.
Reza merapihkan kerah bajunya lalu mengambil kembali milk box yang tadi ia berikan, ia buang milk box itu ke tong sampah dengan keras sampai isinya tumpah ke luar. Ia merasa direndahkan, padahal niatnya baik, anak itu akhlaknya sangat krisis.
Rain jalan dengan wajah memerah ke toilet yang sedang ramai, banyak orang yang menatap Rain, rumor kalau Rain orang yang sombong sudah tersebar ke mana-mana, dari sekian tatapan orang di sekolah ini, belum ada yang sehangat tatapan Syifa.
Rain menangis di dalam kamar mandi, wajahnya tak menampakkan kalau ia sedang menangis, hanya airmata saja yang terus turun membasahi pipi. Tangannya mengepal keras, entah kenapa ia selalu merasa sesak saat ditatap dengan pandangan kasihan, mungkin jika kondisi fisik dan batinnya sedang baik-baik saja ia tidak akan sampai menangis, tapi sejak semalam, entah mengapa ia sangat mudah menitihkan airmata.
Lumayan lama ia pergi ke kamar mandi, tepat saat bel masuk berbunyi Rain baru keluar. Sebelum ke kelas ia basuh wajah dengan air, wajahnya terlihat sembab dan memerah, ia tak peduli, saat orang bertanya pun tak akan ia jawab, biarlah mereka lelah sendiri mencari tahu kehidupannya.
"Rain kamu kok sembab banget, kamu habis dari mana?" tanya Syifa, orang yang tadi melihat Rain mencengram kerah Reza langsung berbisik, Rain bisa melihatnya, emosi Rain sedang tak terkontrol hari ini, tanpa sadar tiba-tiba ia menggebrak meja dengan keras. Tangannya sampai mengeluarkan darah karena terlalu keras.
Seketika ruangan kelas langsung sepi, bahkan Syifa yang terkejut langsung bangun. Rain teriak sambil memegang kepalanya, sejak kecil ia memang seperti ini saat sedang menghadapi sebuah kondisi yang mana lubuk hatinya ramai berbicara tapi bibirnya tak bisa berkata-kata, ia sering kehilangan kendali, dan lagi-lagi kedua orangtuanya tak tahu-menahu tentang ini.
Fatih langsung memanggil guru, ada yang bilang Rain kerasukan, tapi menurut apa yang Fatih lihat dia lebih terlihat seperti orang tertekan yang tak bisa mendeksripsikan luka.
Setelah lelah Rain terdiam, airmatanya menetes kembali dengan wajah yang tak menampakkan kalau ia sedang menangis. Tiba-tiba hidungnya mengeluarkan darah, tubuhnya pun oleng, Syifa yang sebelumnya tak berani mendekat kini langsung memeluk Rain, Rain menangis di pelukannya, seketika kerudung Syifa terkena darah.
"Rain kamu kenapa? Istighfar, Rain," bisik Syifa sambil mengusap punggung Rain.
"Jangan pergi," ucap Rain pelan, saking pelannya, Syifa pun hanya mendengar samar.
"Aku enggak pergi, Rain," ucap Syifa, ia masih mengusap punggung Rain.
Guru Bimbingan Konseling langsung mendekat, saat ia hendak menyentuh Rain, Rain malah menepisnya. "Enggak apa-apa, enggak usah dipikirkan, aku baik-baik aja ...." Tepat setelah Rain menyelesaikan ucapannya ia malah pingsan, kalau Reza tidak menopangnya, mungkin ia akan jatuh berdua dengan Syifa.
Reza terdiam saat melihat Rain digotong keluar, Rain adalah spesies perempuan langka yang pernah Reza temui.
"Dia ada masalah mental kayaknya, ya?" tanya Devan.
Reza menggeleng. "Gua bukan psikater."
***
Saat sadar Rain sudah tidak ada di sekolah, ia berada di UKS, tubuhnya benar-benar terasa lemas, sebisa mungkin ia bangun dari tidur lalu melihat sekitar, hanya ada satu orang perempuan yang menunggunya, itu bu Ira -- Guru Bimbingan Konseling--ia terlihat sedang melihat berkas-berkas.
"Eh, kamu udah sadar, Rain?" tanya Bu Ira sambil tersenyum.
Rain tidak menanggapinya, ia malah memijit kening, kepalanya terasa pening.
"Ibu belum bilang sama orangtua kamu tentang ini, kalau kamu mau cerita, Ibu bisa dengarkan dan kalau mampu Ibu pun bisa beri kamu saran?" Sejak tadi Bu Ira sedang memeriksa data Rain, menurut data yang ia baca, keluarga Rain itu keluarga yang disiplin, bahkan kedua orangtuanya menjadi panutan banyak orang, ia jadi bingung dengan kondisi Rain yang lebih terlihat seperti anak korban broken home.
Rain menggeleng. "Aku baik-baik aja," ucap Rain tanpa menatap Bu Ira, ia tahu Guru Bimbingan Konseling itu suka memerhatikan mata untuk melihat anak didiknya berbohong atau tidak.
"Wanita kuat bukan berarti harus menimpa semuanya sendiri, kita butuh wadah lain untuk menumpahkan sesuatu agar bisa terisi kembali dengan hal yang lebih baik. Ibu tau kamu punya masalah, tapi kamu enggak bisa jelasin apa masalah kamu, kan? Apa yang membuat kamu seperti ini? Apa orangtuamu? Atau memang ini karakter kamu?"
Kali ini Rain menoleh, ia ikut menatap manik mata Bu Ira yang masih saja tersenyum tenang. "Semua orang punya masalah, tapi enggak semua orang bisa membagi masalahnya. Semua orang punya otak, tapi enggak semua otak orang punya paradigma yang sama," ucap Rain masih dengan kondisi mata menatap Bu Ira.
Bu Ira mengangguk sambil tersenyum. "Sebesar apapun ember, kalau terus diisi akan tumpah, suatu saat nanti, Ibu yakin kamu bisa menumpahkannya, dengan siapapun itu, Ibu harap sejak sekarang dan seterusnya kamu bisa membaik--fisik dan batinmu."
Rain membuang muka ke jendela, orang lain terlalu ingin tahu tentang kehidupannya, padahal ia yang mengalaminya saja malas meski hanya sekedar mengingatnya.