BAB 9

1047 Kata
Pagi-pagi sekali Rain sudah bangun, ia bahkan masih mengenakan pakaian yang semalam, kerudungnya pun belum ia lepas, tak lupa luka yang kini darahnya malah mengering. Semalam ia menangis sampai tertidur, entah mengapa ia merasa dilukai sekali malam itu, terlebih perlakuan Reza, ia benci dikasihani, dan tatapan Reza itu menyiratkan rasa kasihan, malam itu ia merasa sesak sekali. Nasi goreng yang ia beli semalam pun tidak jadi ia makan. Jam sudah menunjukkan pukul lima lewat, ia bangun dengan langkah sempoyongan, tubuhnya terasa pegal-pegal, masih belum biasa dengan kegiatannya di sini yang mengharuskan bekerja keras terlebih dahulu sebelum mendapatkan apa yang diinginkan, seperti ingin makan harus jalan jauh terlebih dahulu, ingin sekolah harus jalan juga, dan jika uang habis harus ambil dahulu di ATM, setidaknya meski begitu, kini Rain jauh merasa lebih berguna, walau hanya untuk dirinya sendiri. Rain menggigit bibir bawah saat lukanya terkena air, ia tak berlama-lama di kamar mandi. Tepat saat Rain hendak membuka pintu, matanya langsung membulat, langkahnya mundur ke belakang. "Dari kapan di sini?" tanya Rain, ternyata ada sekretaris ayahnya. Angga -- sekretaris pak Fatah -- langsung tersenyum, Rain tidak suka dengan para pekerja ayahnya, menurut Rain mereka sangat munafik karena senyuman yang selalu mereka tampakkan. Padahal Rain tahu kalau mereka itu tak seramah itu. Menyembunyikan kelicikan dengan senyuman, menyembunyikan segalanya dengan senyuman, Rain benar-benar muak. "Baru aja kok, Nona, saya cuma mau memastikan Nona baik-baik aja hari ini, karena semalam telepon pak Fatah selalu Nona tolak, pak Fatah jadi memerintahkan saya ke sini." Rain menghela napas kasar sambil membuang muka. "Aku selalu baik-baik aja, jangan khawatirkan aku lagi." Setelah mengatakan itu Rain langsung keluar dan mengunci pintu kost-nya rapat-rapat. Tanpa permisi lagi Rain langsung pergi begitu saja. Angga masih tersenyum selama punggung Rain masih dapat ia tatap. Setelah Rain hilang dari pandangan senyumannya langsung luntur. "Enggak beda jauh dengan ayahnya, terlalu otoriter, bahkan dia enggak menghormatiku sebagai orang yang lebih tua." Angga menggelengkan kepala tak percaya. "Aku enggak akan biarkan anak-anakku seperti dia." Setelah mengatakan itu Angga langsung menelepon pak Fatah, memberitahu kalau Rain baik-baik saja. Pagi ini Rain pergi mencari sarapan sendiri, mood-nya sedang buruk, ia tidak mau melampiaskan kepada siapa pun termasuk Syifa, jadi lebih baik meninggalkan anak itu saja. Syifa selalu banyak bicara, Rain takut memarahinya karena terlalu pusing mendengarkan ucapannya. Sebenarnya kaki Rain masih terasa sakit, tapi sebisa mungkin ia berjalan dengan normal, ia tidak mau Angga sampai melihat lalu melaporkan ke ayahnya dan ia akan dibawa ke Malang kembali. Ia merasa lebih baik di sini. Lagi pula mau di rumah atau di sini sama saja -- sama-sama sendirian. *** Sama halnya seperti beli makanan tadi, saat berangkat sekolah pun Rain meninggalkan Syifa, hari ini ia sampai di sekolah sangat pagi, di kelas baru ada satu orang, Fatih si ketua kelas dan merupakan seorang murid teladan. Rain tidak memedulikannya, ia langsung masuk begitu saja ke dalam kelas. Wajahnya masih terlihat sembab karena semalam terlalu banyak menangis di bawah bantal dan Fatih melihat itu. Saat Rain masuk Fatih malah keluar, yang Rain tahu mungkin orang itu ada keperluan lain di luar, tapi kenyataanya dia hanya menghindari diri dari zina, berduaan dengan lawan jenis di dalam ruangan tertutup bisa menjadi sumber awal zina, entah itu zina hati, mata atau apapun. Daripada menyuruh Rain keluar, lebih baik ia yang keluar, ia akan masuk kalau sudah ada orang lain. Setiap kali melihat Rain jantung Fatih berdegup kencang, ia pun tak tahu mengapa, ia akui Rain memang cantik, tapi biasanya ia tak pernah sampai seperti ini saat menatap orang lain. Padahal dari kelasnya banyak yang kurang suka dengan Rain karena sikap anak itu, dia tercap sebagai anak orang kaya yang sombong. Namun di mata Fatih, Rain lebih terlihat seperti anak yang kesepian, tatapannya pun terlihat kosong. "Ngapain lu, Bang?" tanya Devan yang baru saja datang, dia datang bersama Reza. Fatih hanya menggeleng sambil tersenyum, ia ketahuan sedang melamun menatap jendela, yang mana dari jendela itu bisa terlihat Rain sedang menumpukan kepala di meja. Devan terlihat biasa saja, tapi tidak dengan Reza, anak itu ikut memandang arah mata Fatih, dalam sekali lihat ia paham dengan apa yang sedang Fatih pikirkan. "Syifa mana, Rain?" tanya Devan saat sampai di tempat duduknya. Tempat duduk Rain dan Syifa memang berdekatan dengan Reza dan Devan. Bisa dibilang Rain duduk di antara Reza dan Syifa, bedanya kalau Syifa benar-benar dekat, kalau Reza harus terhalang lantai untuk jalan. Rain hanya menggedikkan bahu menanggapi pertanyaan Devan. Devan menyenggol lengan Reza, saat Reza menatapnya Devan malah menaikkan sebelah alis, Reza paham akan pertanyaan itu, jawaban Reza sama dengan jawaban Rain -- hanya menggedikkan bahu. Merasa lelah bertanya dengan dua balok es, akhirnya Devan duduk di bangku dan segera mengeluarkan handphone, dia ini paling suka main game, di mana pun tempatnya, selagi itu waktu luang Devan akan menggunakannya untuk main game. "Lu sakit?" tanya Reza kepada Rain saat Rain mengangkat kepalanya. Sebenarnya ia masih merasa bersalah karena membuat Rain semarah itu malam-malam. Sebenarnya ia ingin bertanya apakah lukanya sudah membaik atau belum, tapi karena ia sudah mengatakan akan melupakan kejadian malam itu, Reza rela merendahkan dirinya sendiri dengan berkata demikian. Rain menggelengkan kepalanya tanpa menatap Reza, di samping Reza, Devan sedang menampakkan wajah jail. "Cie ... dua balok es lagi PDKT!" ucap Devan heboh, hal itu membuat orang-orang menoleh ke arahnya, berpapasan sekali saat Syifa datang. "Pagi, Syifa ...," ucap Devan saat melihat Syifa masuk ke dalam kelas, dalam hitungan detik orang-orang yang sebelumnya menatap ke arahnya langsung menoleh ke arah Syifa. Reza langsung memiting leher Devan, anak ini selalu saja membuatnya malu. "Lama-lama mulut lu gua lakban juga nih!" ucap Reza penuh penekanan. Devan meringis kesakitan, jadilah berakhir peperangan antara Reza dan Devan. "Kamu tadi ke mana, Rain? Aku samper kamu dua kali, eh kamunya enggak ada, malah pagi-pagi tadi aku papasan sama bapak-bapak berpakaian rapih, dia senyum ke aku terus tanya kalau aku temen kamu, kok bisa tau, ya ...." Sudah Rain duga, ia yakin ayahnya selalu menyuruh orang lain untuk memata-matainya, tidak aneh. "Dia sekretaris ayah," ucap Rain singkat. "Kok ...." Belum sempat Syifa berbicara, Rain sudah menaruh kepala kembali ke atas meja, Syifa hanya mengerucutkan bibir. "Kamu kelihatan enggak baik-baik aja dari kemarin, kalau kamu butuh bantuan jangan segan-segan minta sama aku," ucap Syifa sambil mengusap bahu Rain. Jantung Rain berdegup, lagi-lagi ia mengatakan, ternyata seperti ini rasanya memiliki teman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN