"Apa dia bisa dipercaya, Pi?"
"Barat?"
Iya, Mami Rana mengangguk. Dia adalah wanita yang usianya jauh di bawah suami, merupakan ibu kandung dari empat anak atas kawin silangnya bersama duda anak tiga macam Alam Semesta ini.
Sedikit informasi, Nirwana merupakan anak ketiga dari mami, lalu sosok yang disebut Bang Wala--Cakrawala--adalah kakak Wana yang pertama, kemudian ada Bang Bintang sebagai anak nomor dua Mami Rana, hingga Galaksi lahir ke dunia merebut takhta bungsu di diri Nirwana. Jadilah dia bungsu gagal di keluarga ini. Namun, Nirwana merupakan satu-satunya anak papi yang perempuan.
Ketiga anak Papi Alam sebelum menikah dengan Mami Rana pun jenisnya batangan, mulai dari Bang Awan, Bang Guntur, hingga Bang Langit. Ah, demikian silsilahnya. Hingga mereka satu per satu mulai meninggalkan kediaman utama Semesta sebab sudah memiliki kehidupan masing-masing, tersisa Bang Wala yang memang diminta menjaga mami dan papi di sini, bahkan Galaksi yang bungsu itu tinggal di kota lain seraya menempuh pendidikan di sana, lalu Nirwana ... dia sebelumnya diasingkan, jadi tidak mutlak tinggal di rumah orang tua, tetapi kini dipaksa pulang selepas diusir dulu, perihal masalah serupa, yakni perasaan cintanya terhadap Topan, keponakan Nirwana, yang merupakan anak dari Bang Awan.
Sampai sini paham kenapa papi bersikap demikian? Mengutus Barat--entah pria yang papi temukan di mana--untuk menjadi bagian dari Nirwana, yaitu pengawal pribadinya. Sudah seperti putri presiden saja dia pakai acara dikawal segala, papi terlalu berlebihan, tetapi itulah Alam Semesta dengan segala tindakan hukumnya untuk keluarga ini.
Nirwana dipandang buruk karena memiliki perasaan terlarang kepada putra abangnya, cinta yang kata mereka sangat menjijikkan, sampai-sampai dinilai merusak hubungan rumah tangga mereka ... Topan dengan istrinya.
Namun, apa pernah sedikit saja mau memahami hati Nirwana? Perasaannya ... rasa sakit dan tersiksanya dia. Pernah? Bukan soal wanita yang berusaha mendapatkan hati pria kecintaan meski lelaki itu sudah beristri, tetapi tentang ikhlas, melepas, dan mencabut paksa cinta yang sepertinya terlalu kuat mengakar, hingga saat melihat pernikahan mereka pun dia harus bersikap baik-baik saja. Harus terus melawan hati yang bandel dengan pelabuhan pilihannya. Jika bisa, Nirwana mana mau hidup dengan perasaan macam ini.
Dia akan memilih menyukai pria yang sepatutnya dicintai dan diizinkan semesta hingga direstui oleh keluarga, tetapi nyatanya itu cuma angan Nirwana saja. Meski demikian, sebisa-bisa dia mengendalikan diri. Namun, ternyata ada saat-saat di mana pertahanannya roboh juga, ya? Hingga jadi seperti ini.
"Baik, kok. Senggaknya dia laki-laki yang bertanggung jawab, yang bisa kita pegang ucapannya, meski alasannya karena uang, ya. Papi yakin dia bisa menjaga Nirwana dengan baik. Paling penting ...."
Yang tidak dilanjutkan kata-katanya, tetapi Mami Rana tampak paham dengan itu.
"Papi sepercaya itu, ya, sama Barat?" Agak sendu di sana, sorot matanya memandang prihatin kepada Nirwana yang kini mendekat, cepat-cepat diubah jadi tatapan hangat.
"Papi puas?"
Belum apa-apa, eh, sudah bilang begitu. Nirwana menatap kesal papinya yang kini tersenyum. "Mau ke mana itu bawa-bawa ransel?"
Well, perihal tamparan saat itu, papi sudah meminta maaf, Wana pun tidak bisa membenci papi di sini karena bagaimanapun dia tahu bila papi sangat menyayanginya. Hanya saja, caranya agak lain dari kebanyakan orang tua.
"Wana pamit!" Gegas dia maju hendak mencium tangan kedua orang tuanya, tetapi ditahan oleh Mami Rana.
"Nggak mau tinggal di sini aja?" Kembali sendu, mami tampak keberatan. "Nggak perlu sampai kembali ke sana juga, kan? Udah selama ini ... apa nggak sebaiknya Wana pulang? Bener-bener pulang. Hidup di sini sama Mami, papi, dan Bang Wala. Hm? Jangan balik ke sana lagi."
Ke tempat di mana selama bertahun-tahun Nirwana habiskan tanpa kebersamaan dengan orang tua. Dulu, sejak masuk SMA, dia sudah diungsikan ke sana. Tentu saja, gara-gara ketahuan pacaran dengan Topan, tetapi hanya Nirwana yang papi perlakukan demikian, sedang cucu beliau tidak. Kata papi, Topan punya ayahnya sendiri--punya aturannya sendiri, sedang ayah Nirwana adalah Alam Semesta ini. Jadi, begitulah ....
Akhirnya, Nirwana malah tak betah di rumah mami dan papi, dia sampai memutuskan untuk kembali ke tempat di mana dirinya dulu papi asingkan.
"Lebih baik Wana di sana, Mi. Karena kalau di sini pun si Barat-Barat ini bakal tetep ngintil, kan?" desisnya di akhir kalimat seraya melirik sosok Barat yang berdiri di belakangnya. "Jadi, sekalian aja ... biar nanti dia jadi banyak kerjaan, terus uang papi mengalir banyak buat dia nggak sia-sia karena makan gaji buta."
"Hush!" tegur papi. "Barat itu lima tahun lebih tua dari kamu. Yang sopan, ya?"
Oh, beda lima tahun, huh?
Lebih tua, ya?
Nirwana menoleh lagi kepada sosok Barat Dhanandjaya.
Berarti ... 29 tahun, dong, usianya? Wana umur 24 sekarang. Ya ampun, beda setahun dengan perkiraan Nirwana. Dia pikir si Barat-Barat itu umur 30-an.
"Pokoknya, Wana pamit, Mi. Jaga kesehatan dan mental Mami di sini, pasti hidup sama papi itu berat, kan?"
"Wana!" Ditegur papi lagi. "Kurang, ya, hukumannya?"
Mami malah terkekeh, meski sendu sekali karena tidak bisa membuat putri satu-satunya untuk kembali pulang dan menetap di sini. Jiwa Nirwana sudah tidak ada di rumah ini, dia perempuan yang tumbuh dengan segudang tekanan di tengah lingkungan bebas tanpa pengawasan langsung dari orang tua sebagai bentuk hukuman. Nirwana dilepas ketika usia peralihan dari remaja menuju dewasa. Rana tidak bisa berbuat banyak untuk anaknya yang ini, terlebih cinta terlarang itu betul-betul ada dan dianggap mengerikan di sini.
"Asalamualaikum!" tukas Nirwana yang lalu pergi, tepat di setelah cupika-cupiki dengan mami dan bilang akan sering-sering berkunjung untuk mami.
Seperti itu ....
Di sini, Barat tidak mengerti.
Kok, bisa, sih, naksir garis keturunan orang tua sendiri? Namun, itu bukan urusannya. Yang mana tatapannya lurus ke jalanan, menyetir dalam diam, membawa Nona Muda kaya raya dari kediaman yang sejatinya begitu hangat di sana.
Kehangatan yang tidak pernah Barat dapatkan.
"Jadi, umur kamu--eh, Bapak ... oh, Om ... duh, sebut apa, ya, enaknya?"
Tatapan Barat auto beralih walau cuma satu detik, celetukan itu membuatnya menarik perhatian dari jalanan di depan. Namun, tidak dia tanggapi.
Sedangkan, Nirwana menatap terang-terangan sosok di bangku kemudi. "Atau ... Abang? Mas?" Ugh ... ya, kali! Nirwana bergidik geli.
"Sebut Barat saja."
Oh, oke.
"Barat." Nirwana sebutkan.
Lagi, Barat melirik. Betul-betul cuma sekilas.
"Papi bayar kamu berapa? Di usia ini pasti kamu kesulitan dapat kerja, ya, sampai-sampai nerima tawaran kerja rodi dari papi siang-malam buat jaga saya?"
Rupanya masih penasaran dengan itu. Pun, Nirwana agak menyindir sarkas dalam ucapannya. Sekali lagi, Barat tidak akan bicara kalau dia merasa tak perlu, apalagi untuk menjawab pertanyaan barusan.
So, Nirwana mencebik. "Gini, deh." Dia bersedekap. Tetap lekat menatap sosok Barat yang sesekali memandang layar ponsel demi memastikan arah jalan di Google Maps. "Berhenti jadi orangnya papi dan saya bakal kasih kamu uang yang nggak kalah banyak."
Demikian itu agar Nirwana terbebas.
Namun, Barat tetap diam dan super tenang, meski harga dirinya sedang ditawar-menawarkan dengan sejumlah uang.
"Barat!" Nirwana gemas sekali. "Kamu butuh uang, kan, sampai mau-maunya nerima job senggak masuk akal ini? Saya akan kasih. Berapa pun. Sebutkan aja nominalnya."
Frustrasi. Nirwana kesal sendiri, sejak kemarin dia sudah emosi.
Dan ... mulut pria yang apik terkatup itu kini terbuka, tetapi bukan untuk membalas racauan geram Nirwana, melainkan untuk tertawa. Tawanya kecil dan terdengar seperti ledekan, Nirwana auto mendelik lagi di sana.
Maksudnya apa coba?!
"Kamu ngeremehin saya?" Nirwana pertajam tatapannya, tak terima.
Lagi, bola mata Barat bergulir tipis, melirik Nirwana yang tampak mudah tersulut emosinya, itu penilaian Barat setelah beberapa hari menjadi sosok yang mengikuti ke mana pun langkah gadis ini.
"Asal kamu tau, ya, Barat, saya sangat mampu mengembalikan uang papi yang udah kamu terima itu, bahkan buat beli harga diri kamu, kayaknya saya juga bisa, deh. Easy," imbuhnya.
Yeah ... habisnya, tawa itu membuat Nirwana tersinggung, sih. Jadi dia bicara demikian. Namun, catat, dia sangat mampu! Orang-orang saja yang tidak tahu berapa total kekayaan finansial yang dia punya hingga ucapannya tadi pun seakan terdengar lucu di telinga sang pengawal.
"Sayangnya, harga diri saya tidak dijual." Diucap dengan tatapan dan raut wajah super tenang.
***
Oh ... habis pengawal, terus sekarang apa lagi?
Sesampainya di kediaman yang dulu papi persiapkan untuk pengasingan Nirwana, rupanya di sana sudah ada sesosok yang baru saja memperkenalkan diri sebagai ... apa tadi?
"Pengasuh?" Nirwana tak habis pikir dengan ini.
Astaga, papi ....
Apa-apaan, sih?
Dia bukan bayi!
"Anu ... apa, ya, tepatnya? Saya bertugas melayani ...." Melirik sosok di sebelah Nirwana dan lanjut bilang, "Juga mengasuh--eh, menjaga putrinya Bapak Alam dan mengawasi Mas Barat supaya tidak terjadi hal-hal yang diinginkan."
What?
Mas Barat?
"Terus ... kalian saling kenal?" Fokus Nirwana ke situ walau ada banyak poin dari kalimat ibu-ibu ini barusan.
"Mas Barat ... dia saudara saya, Bu."
Entah saudara yang bagaimana. Nirwana pijat-pijat kening, lalu mendengkus. Seketika dia pening melihat dan mendapati situasi saat ini. Apa itu juga bagian dari titah papi?
Ah, sudahlah.
Satu hal yang perlu ditegaskan di sini. "Jangan sebut saya ibu," tekannya. Masih 24 tahun gini, kok, ibu, sih? Lantas, alih menatap Barat. "Dan kamu berhenti sebut nona."
Ya Tuhan ... capek banget hidupnya. Akhir-akhir ini Nirwana merasa begitu. Capek. Apalagi dihadapkan pada dua sosok orang baru dan mereka ada karena sebuah harga yang papi bayarkan.
So, sekali lagi dia menatap mereka, lalu tanpa kata Nirwana melenggang memasuki kamar, yang tentunya diikuti oleh tatapan mata tajam Barat. Hanya sorot mata saja yang mengikuti hingga daun pintu kamar anak majikannya ditutup rapat, tidak dengan raga yang tetap berdiri di sana. Di depan Bi Sum.
"Saya akan bekerja dengan baik, Mas. Jadi, jangan khawatir. Saya tidak akan membuat malu Masnya yang sudah merekomendasikan pekerjaan ini kepada saya dan saya kepada Bapak Alam."
Demikian, Barat pun mengangguk.
Ya, saat itu ... dia mendapat pekerjaan ini yang ternyata sedang butuh satu orang lagi untuk menjadi orang ketiga--perempuan--di kediaman yang dulu anak majikannya tempati. Barat rekomendasikan saja sosok yang dia kenali ini. Bi Sum.
"Oh, iya ... Mas Barat belum tahu di mana letak kamar Masnya, kan? Ayo, Mas, saya antar."
Sebab daripada Barat, Bi Sum lebih dulu singgah di hunian gadis bernama Nirwana itu. Rumah ini tidak besar, tampak minimalis dan campernik.
Baiklah, dia ikuti langkah Bi Sum menuju sebuah ruang yang letaknya ... pas sekali, tepat di depan pintu kamar anak majikan.
"Apa ruangannya memang dirancang begini?"
Bi Sum mana tahu jawabannya.
"Cuma ada kamar ini sama kamar belakang, tugas Mas Barat lebih krusial dari saya untuk penjagaan mbaknya. Jadi, ya, di mana lagi kalau bukan di kamar ini, kan? Sudah saya bersihkan, seprainya sudah diganti juga, silakan Mas istirahat dulu mumpung mbaknya juga lagi di kamar. Nanti saya telepon kalau lihat mbaknya keluar." Oh, agak bisik-bisik. "Selain itu, saya sudah izin, kok, sama bapak. Beliau bilang, boleh. Selagi bukan di kamar putrinya."
Sungguh, mereka saling kenal.
Barat pun mengangguk dan melenggang setelahnya. Dia lantas memasuki sebuah kamar yang ....
"Memangnya saya boleh, ya, tidur di sini?"
Sedangkan di lain ruang, kamar anak gadis Papi Alam.
Berpikir.
Ayo berpikir, Nirwana!
Papi menjajah kehidupannya terlalu jauh. Semata karena rasa cinta yang dianggap menjijikkan ini, padahal Nirwana sudah tidak tertarik untuk mendapatkan Topan, kok. Tidak, di setelah pipinya papi tampar saat itu. Setelah dia mengurung diri di kamar, lalu saat keluar tiba-tiba papi sudah mempersiapkan sosok Barat, juga dengan satu orang lagi di sini.
Nirwana menggeram kesal. Yang lalu dia hempaskan tubuh ke sofa di kamar--oh, kamar!
Gegas Nirwana keluar, matanya tidak melihat keberadaan Barat hingga dia bertanya, "Di mana cowok itu?"
"Mas Barat, Bu? Eh ... anu ... Mbak." Tampak kikuk di sana. "Tadi saya persilakan istirahat di kamar itu."
Membola sudah mata Nirwana. Tanpa sempat mengomel atau memelototi Bi Sum, dia bergegas menekan handel pintu kamar yang berada tepat di hadapan kamarnya. Itu ....
Terbuka.
Barat menoleh. Sebagaimana kaus di tubuh, pintu kamar ini juga dibuka.
Oh ....
Nirwana tersentak.
Dengan Barat yang tampak santai walau tubuh bagian atasnya terlihat. Lantas, dia berucap, "Anda agresif sekali."