"Bakar saja semuanya."
Ada geraham yang Nirwana tekan kuat mendengar apa hal yang dia dengar dari sambungan nirkabel itu, suara papi mengalun tegas, detik di setelah si Barat Barat sialan melapor perihal isi kamar ini.
Tahu?
Otot perut yang Nirwana lihat sebelumnya mendadak jadi tidak menarik lagi, padahal totalnya delapan walau yang dua paling bawah masih terbentuk agak samar. Sebab ... setelah Barat memakai kausnya, saat Nirwana masuki kamar ini, lelaki itu meraih ponsel dan menghubungi Papi Alam dengan di-loudspeaker. Lantas, beginilah sekarang ....
Tatapan Nirwana tajam tertuju kepada sorotan mata Barat yang teramat tenang.
"Baik."
Oh, panggilan itu ditutup.
Nirwana agaknya mendongak, berdiri tepat di hadapan tubuh tinggi dan besar bila dibandingkan tubuhnya, sedang Barat menunduk, memasukkan ponsel ke saku celana, dan lalu berucap, "Inilah tugas saya."
Rendah dan berat, seberat tubuh yang mungkin berapa kilogram itu bobotnya, ya? Tinggi proporsional, tidak gemuk, tetapi tampak padat dan alot sebagaimana otot--astagfirullah. Bukan itu poinnya, Wana!
Barat pun melenggang, memulai aksi, dengan mengambil satu per satu bingkai foto yang terpajang di sana. Adalah kamar yang Nirwana tempatkan seluruh kenangannya bersama Topan dahulu, adalah kamar yang selalu Nirwana datangi saat rindu, adalah kamar yang kuncinya tersimpan apik dalam jajaran kunci lain di laci, lancang sekali dia hingga bisa memasuki ruangan ini.
"Kamu senggak sopan ini, ya, ternyata? Usia nggak bikin kamu baik dalam beretika," sarkasnya.
Barat menoleh.
"Baru juga masuk ke rumah orang lain, udah geledah aja, bahkan masuk ke salah satu kamarnya tanpa izin. Nggak salah, nih, papi mempekerjakan orang kayak kamu?" imbuh Nirwana, sinis tatapannya.
Merupakan satu dari sekian hal yang semakin berjalannya waktu, perasaan kesal itu menggunung jadi benci. Dari Nirwana untuk Barat Dhanandjaya. Sebagaimana tatapannya.
Namun, Barat abaikan.
Demi apa pun, tangan Nirwana mengepal, menunjukkan kekesalannya.
"Berhenti!" jeritnya emosi. Melihat semua tentang Topan dan dia dulu diringkus pria di depannya ini.
Yakni jeritan Nirwana sukses membuat sosok lain di rumah itu terkesiap, Bi Sum tampak terlonjak pula di sana.
"Berhenti, sialan!" Yang Nirwana cekal pergelangan tangan Barat di situ. Tatapannya meruncing.
Asal kalian tahu, jikapun harus dimusnahkan, perihal dia dan Topan--pria yang Nirwana kasihi dalam tragisnya takdir mereka--maka Nirwana sendiri yang akan lakukan itu. Pun, bukan saat ini. Sekali pun tamparan berikut hukuman sadis telah papi beri, tetapi untuk segala apa yang ada di dalam kamar ini, siapa pun tak berhak menentukan, harus dibakar atau dibuang, cuma Nirwana yang berhak. Catat baik-baik!
"Anda tidak dengar perintah papi Anda pada saya tadi?" tukas Barat, datar. Super tenang di situ, meski cekalan Nirwana sudah mulai ganti menjadi cengkeraman emosi.
Persetan, Barat.
Nirwana rebut sebuah foto yang Barat pegang, lalu membentak, "Keluar!"
Dia marah.
Barat menatapnya.
"KELUAR!" Oh, lebih memekik lagi.
Dan ... Barat pandangi. Sampai Nirwana teriak untuk yang ketiga kali, "SAYA BILANG, KELUAR!"
Perlahan, tapi pasti ... langkah Barat meninggalkan kamar yang sebelumnya Bi Sum bilang boleh dia tempati. Namun, bagaimana, ya, ini? Sesuai dugaan Barat, itu kamar yang sejatinya dapat memancing emosi nona rumah di sini bila selainnya berani masuk, apalagi menempati. But, ini Barat. Langkahnya berhenti di ambang pintu kamar itu. Ya, dia Barat. Sosok yang Alam Semesta utus untuk ada di sini.
Demikian itu, Barat berbalik. Ditatapnya datar sosok Nirwana yang kembang-kempis dadanya, emosi. Barat katakan, "Semoga tidur Anda nyenyak malam ini."
Fix, ditutupnya pintu itu.
Nirwana mengernyit, bingung. Kalimat ambigu yang apa maksudnya itu tadi?
***
Dulu, Nirwana diasingkan ke kediaman ini. Sejak SMA, yang hanya papi awasi lewat orang-orang suruhannya, hingga Nirwana masuki jenjang perkuliahan, orang yang papi utus untuk menemani, Nirwana meminta agar dihentikan. Biar saja dia hidup sendiri, tetapi dengan keuangan yang lancar dan mumpuni dikirim oleh papi, Nirwana mempekerjakan ART panggilan, urusan masak dan kebersihan rumah diurus dengan apik oleh ART tersebut, termasuk soal cucian.
Yang mana sejak saat itu, Nirwana menata kehidupan, dia susun mulai dari tempat tinggalnya ini. Berbaur dengan kawan-kawan, lalu menyibukkan diri dengan dunia perdagangan, Nirwana menjual beberapa produk di media sosial dan toko online-nya.
Dulu.
Semata agar dia lupa kepada Topan.
Namun, sialan ... tahun berganti saat semua telah Nirwana rasa membaik, hatinya pulih dari obsesi bertajuk cinta yang sayangnya itu terlarang--kepada putra Bang Awan--sosok Topan malah datang bertandang.
Ya, dulu.
Nyatanya, hati Nirwana terlalu mengenal siapa pemilik debarnya. Topan. Zaman kecil, Nirwana pikir perasaan ini cuma euforia belaka, senang ketika Bang Awan datang ke rumah papi dan membawa Topan--keponakan Nirwana. Habisnya, Topan memikat sekali waktu itu. Dia pria kecil yang tampan dan Nirwana suka memandangnya, Nirwana kecil pun dibuat penasaran dengan sosok Topan yang tidak jail seperti keponakan Nirwana yang lain.
Beranjak SD, rasanya euforia itu hilang berganti kecemburuan saat Topan tampak bermain dengan teman perempuan, selain Nirwana.
Naik level ke jenjang SMP, rasanya tambah berbeda lagi dan kali itu Nirwana tak tahan. Hatinya seperti mau meledak acapkali dihadapkan dengan segala hal soal Topan.
So, Nirwana langkahi garis takdir yang sejatinya pembatas bagi mereka. Dia dekati Topan, dia sampaikan perasaan terlarang, dengan Topan yang terus menolak, tetapi lama-kelamaan Nirwana mendapatkan cinta balasan.
Kelas 3 SMP kalau tidak salah ... mereka pacaran.
Senang sekali saat itu.
Semua-mua diabadikan, membeli benda ini dan itu bertajuk pasangan, hingga menulis notes digambari bentuk hati, berduaan di setiap ada pertemuan keluarga dengan cara diam-diam, lalu ... semua itu Nirwana simpan di kamar ini.
Cinta terlarang.
Senyumnya kecut dan masam.
Pria yang ada dalam foto di pangkuan Nirwana bahkan sudah menikah, mungkin ... sudah jatuh cinta kepada istrinya. Sedangkan di sini, Nirwana jauh tertinggal. Ternyata perasaannya sedalam ini. Dipancing sedikit, muncul semua ke permukaan. Sebab dia tidak benar-benar action untuk melepaskan, buktinya kenangan tersebut masih apik dia simpan.
Ya, gimana, ya?
Pintu kamar diketuk, Nirwana terkesiap. Dia letakkan foto itu ke tempat semula, lalu keluar dan ternyata ....
"A-anu ... Mbak."
Bi Sum rupanya.
"Makan malamnya sudah siap."
Oh, berapa lama Nirwana mendekam di kamar itu? Dia bahkan belum mandi. Nirwana berdeham.
"Terima kasih."
Bi Sum pun dilalui, Nirwana alih ke kamarnya sendiri di setelah dia kunci rapat pintu kamar tadi. Sudah malam, tetapi Nirwana butuh mandi. Yang demikian itu, Barat sudah duduk di meja makan sedari Bi Sum masak tadi. Pun, gerak-gerik Nirwana yang keluar dari kamar itu dapat Barat perhatikan dari arah sini.
"Aduh ... Bibi deg-degan banget, Mas. Kayaknya, nggak mudah, ya?" Menjadi pekerja di rumah ini. "Aura mbaknya susah didekati, saya takut melakukan kesalahan ... di hari pertama saja udah salah. Maaf, ya, Mas Barat. Saya nggak berpikir panjang."
Perihal kamar itu.
Walau sudah ada izin dari orang tua nona rumah ini, tetap saja ....
Nirwana pun duduk di sana, di kursi makannya, selepas mandi dan memakai gaun tidur yang Barat pandangi. Dengan segala ketidakpeduliannya, Nirwana mulai bersantap, tanpa menawari Bi Sum atau mempersilakan Barat.
Ya, bodoh amat.
Ini bentuk kemarahannya terhadap papi. Jangan harap mereka akan betah bekerja di sini.
Bi Sum undur diri, memilih makan setelah mereka selesai, dengan Barat yang ikut melahap hidangan di meja itu.
Tak berapa lama ....
"Selain agresif, rupanya Anda vulgar juga, ya, Nirwana?"
***
"Aduh ... Wana. Minum dulu!"
Ya, dia tersedak. Nirwana gegas meraih sodoran minum dari kawannya. Oh, hari itu dia ada janji temu dengan Ratih, teman seperbisnisan Nirwana sejak kuliah. Di mana dia memulai perniagaannya, Ratih ikut serta. Yang kali ini ... baru saja Ratih nyeletuk, "Btw, cowok di depan meja kita ... cakep banget, lho, Na."
Itu Barat Dhanandjaya. Orang yang Nirwana ultimatum agar keberadaannya di sekitar dia serupa bayangan saja. Boleh mengikuti, asal jangan sampai kelihatan dekat atau kenal padanya. So, Nirwana datang ke lokasi janjiannya dengan Ratih pun beberapa menit lebih awal, lalu Nirwana turun duluan dari mobil, menit berikutnya Barat menyusul, duduklah di meja belakang Nirwana, menjadi di depan Ratih saat itu. Posisi Nirwana membelakangi Barat, tetapi tidak dengan kawannya. Ratih dapat melihat sosok Barat yang duduk sendiri di sana.
"Apaan, sih, Rat. Kok, malah salfok ke sana? Ini, lho, gimana kelanjutannya ... kalo produk kita abis di toko A dan B, kita mau cari toko cadangan lainnya kapan? Kayaknya harus disegerakan. Yang check out makin membludak, aku takut toko A sama B aja nggak cukup produksinya."
Ratih cengar-cengir. "Masnya liat ke sini, Wana. Aduh ... kepergok merhatiin dia, deh," lirihnya.
Sontak saja Nirwana mendengkus. Yang lalu dia pun menoleh, memberi tatapan tajam kepada sosok itu.
"Astaga ... jangan ditengok seterang-terangan itu, dong!" bisik Ratih, dia meraih-raih tangan Nirwana di meja agar tidak sembrono menoleh.
Di sana ... Barat menatapnya.
"Apanya yang cakep? Serem gitu, kok," celetuk Wana di setelah kembali pada posisi awal.
Tak hanya saat itu, ke mana pun Nirwana melangkah, Barat apik mengekor. Hingga tatapan beberapa orang yang berpapasan auto fokus ke arahnya dan juga ... argh!
Belum satu minggu, Nirwana tidak betah!
Lagi ....
Berpikir.
Ayo berpikir lebih keras lagi.
Bagaimana caranya dia menyingkirkan laki-laki itu?
Oh ....
Kening Barat mengernyit, begitu tiba-tiba ... lengannya digandeng Nirwana sampai tempat di mana mobil terparkir.
"Kali ini, biar saya yang nyetir. Kamu duduk manis aja di sisi kemudi, ok?"
Betul!
Ini langkah pertama.
Kencangkan sabuk pengaman, Nirwana akan menyetir secara ugal-ugalan.
Bagaimana?
Tiba di rumah secepat angin berembus, ibaratnya. Injak pedal rem dengan kuat sampai tubuh terantuk maju, pun dengan Barat di situ.
"Saya terkesima," katanya. Nirwana kontan mendelik. "Ternyata rasa cinta Anda terhadap laki-laki itu sampai segila ini, ya?"
"Maksudnya?"
Barat senyum tipis. Tipis sekali. Yang lalu dia keluarkan ponsel, menelepon Alam Semesta, dan berkata, "Kelakuan putri Bapak hari ini--"
"BARAT!" Nirwana memekik, seiring dia ambil paksa ponsel dari tangan empunya, lalu dia matikan sambungan nirkabelnya. Oh ... kembang-kempis d**a Nirwana. Dia tatap tajam sosok di depannya. "Cowok cepu."
Mendengar itu, sebelah alis Barat terangkat samar. Cepat-cepat Nirwana turun sambil terus dia genggam ponsel pria itu.
Cepu?
Bukankah pekerjaannya memang seperti itu?
"ARGH ... BARAT DHANANDJAYA!"
Bi Sum terlonjak lagi.
Detik di mana Barat langkahkan kaki memasuki kediaman nona mudanya Alam Semesta.
"BARAT!"
Teriak terus.
Yang lagi dan lagi ... tatapan Nirwana tajam tertuju padanya, sesaat Barat berdiri di depan pintu kamar yang terbuka, Nirwana di sana, dengan Bi Sum yang berharap-harap cemas di sini menyaksikan ....
Oh, sebuah tamparan keras melayang keras pada pipi satu-satunya pria di sana. Barat.
Namun, air mata Nirwana yang menggenang. Kuat-kuat dia tahan. Sedang Barat sama sekali tak tergoyahkan, dia kokoh berdiri, menatap datar dan tenang Nirwana yang berapi-api.
Lihat!
"Ke mana perginya semua barang-barang di sini?!"
Ya, itu dia.
Barat katakan, "Tidur Anda terlampau nyenyak semalam ...."
Jadi ....
"Saya bakar sebagaimana perintah Pak Alam."
Barat tidak salah, sih. Semua karena perintah papi. Namun, Nirwana tidak suka. Ada satu barang pemberian Topan, tetapi bukan itu poinnya, yang Nirwana letakkan di dalam peninggalan-peninggalan romansanya dulu bersama sang ponakan.
Itu ....
"Di mana kamu membakarnya?" bisik Nirwana, tajam dan rendah.
Yang lalu Barat tunjukkan, dia melangkah bersama Nirwana yang mengekor di belakang, tepat di mana Barat mengubah semua benda itu menjadi abu ... Nirwana berjongkok di situ.
Hangus.
Nggak ada sisa.
Semuanya.
Termasuk buku catatan bergambar impian Nirwana, pemberian Topan dulu, yang Nirwana simpan apik di sana semata demi ketenangan hatinya, belum benar-benar siap dibuka untuk tengok lagi apa isinya, apa impiannya, dan bagaimana menggali minatnya lagi di bidang tersebut ....
Hangus.
Namun, salahnya.
Hanya karena buku itu pemberian Topan, lalu impian pun Nirwana tenggelamkan bersama buku tersebut di tumpukan kenangan yang sejatinya memang harus dibuang.
Di sini, Barat memandang. Masih datar dan tenang, sebelum Nirwana berdiri, berbalik, dan menjatuhkan tatapan.
"Kamu harus tanggung jawab."
Setelah tadi diberi tamparan, tampaknya tidak cukup, ya?
"Tanggung jawab seperti apa maksud Anda?" Barat tak gentar, meski dia melihat betapa menyedihkannya raut wanita itu. "Di sini saya cuma menjalankan apa yang atasan saya perintahkan."
Nirwana bergeming.
Lama demikian.
Menatap sosok Barat dengan sekelumit benang kusut menari-nari di kepala.
Andai dia tidak bisa mengendalikan seorang Barat yang notabene ada di bawah kendali Papi Alam, andai dia tidak bisa menyingkirkan Barat secara instan karena hanya omongan papi yang Barat dengarkan, dan andai memang seperti itu ... oh, tatapan mereka lekat bersinggungan.
Detik di mana Nirwana rogoh sakunya, ada ponsel Barat di situ, yang Barat pandangi.
Tahu?
Telepon tersambung, Nirwana loudspeaker dan itu kepada kontak atas nama Bapak Alam Semesta ... diangkat, papi gesit sekali jika itu Barat yang menelepon, ya?
"Papi ...." Nirwana yang lebih dulu berkata, dengan sorotan mata tertuju tepat di lensa Barat yang selalu saja tenang di sana, membuat Wana geram dan rasanya ingin dia buat porak-poranda ... tatapan itu. Nirwana katakan, "Iya, ini Wana. Daripada pengawal pribadi, kenapa nggak Papi nikahin aja Wana sama pemilik ponsel ini?"
Berhasil.
Bola mata Barat agaknya melebar walau sangat sedikit, kalau tidak jeli maka tak akan lihat perubahan itu. Nirwana pun menahan tubuh Barat yang beranjak maju.
"Hm. Wana mau ... serius. Oh, oke." Yang Nirwana serahkan ponselnya kepada Barat, papi mau bicara katanya, sekilas jakun pria itu naik-turun sebelum berkata, "Ya, Pak?" Dengan sorotan mata tertuju lurus kepada Nirwana.
Menikah.
Entah bagaimana korelasinya dengan semua permasalahan ini. Namun, bukankah dengan menikahi Barat, sekali mendayung dua pulau terlampaui? Itu yang ada di otak Nirwana saat ini.
Tapi, ....
"Maaf, Pak. Saya sudah punya tunangan."
Yang tiba-tiba saja, Nirwana merah padam.
Se ... sebentar.
Situasinya, kok, tiba-tiba ....
"Iya, maaf, Pak."
Nirwana lantas melenggang. Barat ikuti dengan sorotan matanya sampai panggilan itu dimatikan.
Menikah, huh?
"Dia pikir dengan menikah ... kendalinya akan beralih?" Barat geleng-geleng kepala. "Bocah."