Kericuhan Warga

1811 Kata
Sepulang dari kantor polisi, Pak Agus kembali menyusuri jalan terjal dan berlubang menuju ke desa tempatnya tinggal di kaki Gunung Gumitir. Terjalnya perjalanan membuat Pak Agus tidak sadar jika ponsel di saku celananya berdering. Tuan Johannes mencoba menjangkau Pak Agus yang sedang tidak berada di desa. Seluruh warga saat ini sedang berkumpul di balai desa, banyak di antara mereka yang ketakutan karena peristiwa hilangnya jenazah di kompleks pemakaman. Desa mereka saat ini sedang dilanda teror, dugaan seluruh warga mengarah kepada Hutan Agnisaga. Sesampainya di rumah, Pak Agus bingung dengan kondisi rumah yang kosong. Padahal biasanya, ketika tengah hari seperti sekarang, istrinya sedang berada di rumah untuk makan siang. Pak Agus berkeliling sekitar rumah, mencari keberadaan istrinya, namun berakhir nihil. Pak Agus berinisiatif mengecek ponsel yang ada di saku, barulah di sana ia menyadari jika sejak berada di jalan pulang, Tuan Johannes menghubunginya berkali-kali. Pak Agus merasa berdosa, telah mengabaikan panggilan telepon dari orang yang memberinya kepercayaan. Sontak Pak Agus segera menghubungi Tuan Johannes balik. Tidak perlu menunggu lama, Tuan Johannes mengangkat panggilan dari Pak Agus ketika ponselnya baru saja berdering. “Pak Agus, ke mana aja sampean itu?!” seru Tuan Johannes ketika menerima panggilan telepon dari Pak Agus. “Anu, Tuan, saya baru sampai di rumah, habis dari kantor polisi. Ada apa, ya, Tuan?” sahut Pak Agus yang tidak mengetahui apa yang terjadi. “Astaga, Pak Agus, saya cari sampean dari tadi, ya … cepet datang ke balai desa sekarang!” Tuan Johannes segera menutup sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Pak Agus. Ia terlanjur geram dengan orang kepercayaannya yang tidak bisa dihubungi sejak tadi. Setelah sambungan telepon terputus, Pak Agus hanya memandangi layar ponsel yang menunjukkan halaman beranda, bingung dengan kemarahan Tuan Johannes. “Ada apa sih ini sebenernya?” Pak Agus menggaruk-garuk kepala belakang, lalu mengembalikan ponsel miliknya ke dalam saku sebelum akhirnya ia berjalan santai menuju ke balai desa. Setibanya di sana, Pak Agus sangat terkejut dengan pemandangan yang ia lihat. Seluruh warga berkumpul di balai desa, mulai dari warga biasa, kepala desa, serta ketua RT dan RW. Melihat situasi yang sepertinya kurang kondusif, Pak Agus segera berlari menghampiri Tuan Johannes yang berada di barisan depan bersama dengan orang-orang penting di desa. “Tuan …,” sapa Pak Agus pelan. Tuan Johannes hanya melirik sinis kepada Pak Agus, tampak geram melihat orang kepercayaannya yang seharusnya berada di sampingnya saat ada sesuatu yang genting, justru baru tiba. Padahal sejak tadi, Tuan Johannes membutuhkan bantuannya. “Ada apa toh ini, Tuan? Kok rame banget?” tanya Pak Agus polos. Lelaki yang sudah mulai berumur itu benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi. “Itu loh, jenazah warga yang kemarin meninggal itu, hilang!” jawab Tuan Johannes tegas namun sambil berbisik. Seluruh warga yang berkumpul di balai desa tampak panik, wajah mereka semua tampak suram jika dilihat lebih teliti. Bahkan beberapa ibu-ibu menangis tersedu-sedu, takut mereka akan menjadi korban teror selanjutnya. “Ya Tuhan! Beneran, Tuan? Kok iso?!” Pak Agus pun terkejut mendengar berita itu. Ia jadi merasa bersalah, karena menjadi orang yang paling akhir mengetahui berita sedadurat itu. Pantas saja Tuan Johannes marah, seharusnya Pak Agus memang berada di desa dalam keadaan genting seperti itu. “Lha sampean kira warga ngumpul di balai desa ini bohongan?” bentak Tuan Johannes dengan suara pelan. Pak Agus langsung menunduk, semakin merasa bersalah mendengar ucapan Tuan Johannes. Reaksi yang Pak Agus berikan hanyalah reaksi spontan saat mendengar berita mengejutkan, bukan bermaksud tidak percaya dengan perkataan Tuan Johannes. Akhirnya Pak Agus pun bergabung dengan Tuan Johannes di barisan depan bersama dengan para orang penting dari desa. Hal itu membuat pandangan beberapa warga terhadap Pak Agus menjadi sinis. Bagaimana tidak? Pak Agus hanya seorang warga biasa, namun bisa berdiri sejajar dengan para orang penting di desa, hanya karena Pak Agus dekat dengan Tuan Johannes. Jika itu Tuan Johannes, para warga desa tidak ada yang protes. Mereka tahu bahwa Tuan Johannes adalah konglomerat yang memiliki pengaruh besar terhadap desa, sedangkan Pak Agus … ia hanya seorang petani teh yang kebetulan dekat dengan Tuan Johannes. Diam-diam, beberapa warga menaruh dendam kepada Pak Agus, karena ia terkadang bersikap sok menjadi orang penting di depan masyarakat desa. "Sekarang kita gimana nih Pak RT? Pak Kades? Masa pemerintah mau biarin warganya ketakutan gini?" celetuk salah satu warga. "Tenang, Bapak-bapak, Ibu-ibu, semua tentang ya …." Pak RT melencangkan tangan, memberikan isyarat agar warga meredam emosi mereka. "Gimana mau tenang, Pak? Orang kita terancam gini … ada maling mayat loh, Pak, ini bukan kasus sembarangan!" sahut seorang warga yang lain. Para pemimpin desa pun celingak-celinguk kebingungan menenangkan warga yang semakin ricuh. Kepala desa, ketua RT, ketua RW, dan Tuan Johannes saling lirik, namun tidak ada satupun dari mereka yang membuka mulut, membuat warga semakin geram karena pemimpin mereka terkesan lambat mengambil keputusan darurat. Di tengah-tengah kericuhan, Tuan Johannes tiba-tiba mengangkat tangan, membuat semua warga terfokus kepadanya. Tuan Johannes menatap seluruh warga di depannya dengan tenang namun tegas. Para warga yang semula ricuh, seketika terdiam. "Untuk semua warga, dimohon untuk tidak keluar rumah pada malam hari!" seru Tuan Johannes. Seluruh warga saling menoleh satu sama lain, kericuhan kembali terdengar perlahan, semakin lama semakin banyak ocehan yang keluar dari mulut warga, hingga masing-masing orang saling mengeraskan suara, berlomba-lomba agar suara mereka terdengar. Lalu tiba-tiba, istri dari Pak Agus yang berada di tengah-tengah warga mengangkat tangan, membuat Pak Agus mengerutkan dahi menatap istrinya. Tuan Johannes yang menangkap reaksi aneh dari Pak Agus, memintanya menenangkan diri, lalu mempersilakan Bu Agus, istri dari Pak Agus, berbicara. "Sampai kapan kita harus diam pas malam, Tuan? Desa kita kan ada poskamling. Kalau kita diminta diam pas malam, berarti poskamling mati, dong?" ucap Bu Agus. "Saya gak bisa memastikan ya, Bu Agus, soalnya kita masih belum tahu siapa pelaku pencurian mayat itu. Setelah ini saya akan berkoordinasi dengan kepolisian untuk menyelidiki kasus ini. Semua harap bersabar! Tapi saya dan para pemimpin desa cuma bisa menghimbau, gak bisa mencegah. Kalau ada warga yang ngeyel keluar malam, kita gak bisa tanggung resikonya!" Ucapan Tuan Johannes memang satu sisi terdengar benar dan masuk akal. Tapi siapa sangka, ucapannya justru menjadi bumerang untuk Tuan Johannes sendiri, karena banyak warga yang tidak setuju dengan perkataannya. "Kalau gitu berarti Tuan Johannes, Pak Kades, Pak RT, dan Pak RW, gak ada yang peduli warga dong? Buktinya kalau keluar gak dipeduliin kan?" sahut Slamet dengan mata sedikit melotot. Ucapan Slamet membuat Pak Agus geram, ia balik memelototi Slamet dan menunjuk-nunjuknya dengan kasar. "Jaga mulutmu itu, Met!" seru Pak Agus, membuat seluruh warga terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang satu menganggap keputusan yang diambil oleh Tuan Johannes adalah demi keselamatan warga desa, sementara kubu yang lain menganggap keputusan itu seakan mengekang aktivitas mereka. Belum lagi, beberapa warga memang senang nongkrong di malam hari, entah itu hanya sekadar menikmati kopi, atau bercengkrama hingga larut malam. Kericuhan yang terjadi, membuat para pemimpin desa yang ada di depan menjadi kewalahan. Tuan Johannes yang sadar akan kesalahan pemilihan kata yang ia ucapkan, meminta para warga untuk kembali diam. Setelah para warga sedikit lebih tenang, Tuan Johannes kembali berkata, "iya, baik, maafkan saya, saya salah memilih kalimat sehingga membuat warga berpikir yang tidak-tidak. Kalau begitu, saya mau meminta pendapat dari Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, kira-kira bagaimana solusi yang baik untuk mengatasi masalah ini?" Seluruh warga terdiam mendengar pertanyaan dari Tuan Johannes. Mereka hanya frontal saat mengkritik, namun nyali mereka menciut ketika dimintai saran dan solusi. Hal itu membuat Tuan Johannes semakin geram dengan tabiat buruk warga desa yang mudah terprovokasi dan termakan kabar burung. "Gimana? Ada solusi dari Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian?" Tuan Johannes kembali menegaskan. Semua warga masih tetap terdiam di tempatnya. Sebagian menundukkan pandangan, sebagian lagi menjadi lembek, berbeda dengan beberapa saat sebelumnya. "Saya dan para pemimpin desa di sini terbuka terhadap kritik! Jika ada yang gak setuju sama pendapat saya, silakan! Tapi tolong, beri warga yang lain jalan keluar!" seru Tuan Johannes. Aji yang sejauh ini masih diam, tiba-tiba mengangkat tangan di tengah warga yang tidak berani bersuara, membuat Tuan Johannes dan semua yang berdiri di depan, menaruh perhatian kepadanya. "Masalahnya gini, Tuan Johannes. Sepertinya yang mengambil jasad warga kita semalam itu lelembut Hutan Agnisaga, Tuan. Soalnya kan … dia meninggal di tengah hutan. Jiwanya pasti diambil sama Hutan Agnisaga buat tumbal tuh, Tuan," ucap Aji dengan wajah yang sangat meyakinkan. Tuan Johannes hanya menghela nafas mendengar ucapan Aji. Pria paruh baya itu memang tidak terlalu percaya kepada mitos semacam roh leluhur atau sejenisnya. Dasar keilmuan yang ia miliki, membuat Tuan Johannes selalu berpikir kritis dan logis. "Pelaku semalem itu manusia, Ji. Dia cuma bikin seolah-olah kejadian semalam dilakukan sama hewan buas atau makhluk halus, dia orang yang pintar. Makanya saya bakal minta bantuan kepolisian buat mengungkap kasus ini." sahut Tuan Johannes dengan tenang. Ia tahu, jika menjawab para warga menggunakan otot, maka ucapannya tidak akan didengar, apalagi berkaitan dengan hal-hal sensitif seperti mitos dan sejenisnya. Bagaimanapun, pemikiran warga masih terpaku kepada kepercayaan yang mereka anut sejak lama, yaitu tentang Hutan Agnisaga adalah hutan mistis yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang. Sedangkan Tuan Johannes menganggap jika seluruh tragedi yang berkaitan dengan Hutan Agnisaga, harus bisa dijelaskan dengan nalar. "Ya sudah, Bapak-bapak, Ibu-ibu, jadi kesimpulannya kayak gitu aja, semua aktivitas kita selesaikan sebelum senja, baik itu aktivitas di kebun maupun di gudang. Pas malam, kita fokus sama keluarga masing-masing!" seru kepala desa. Tatapan para warga sebenarnya tidak puas dengan keputusan yang dibuat, namun mereka tidak memiliki pilihan lain karena tidak ada perwakilan dari warga yang mampu memberikan solusi. Meski kecewa dan masih banyak omongan tidak enak di sana-sini, namun tidak ada lagi nada protes yang keluar dari mulut warga. Selanjutnya, kepala desa pun membubarkan perkumpulan warga di balai desa, menyisakan hanya orang-orang yang dianggap penting di sana. Tuan Johannes yang hendak undur diri, ditahan oleh ketua RW. "Tuan Johannes, kita minta tolong benar-benar, ya … kita ini wong ndeso, gak ngerti soal hukum-hukum apa lah itu. Kita minta tolong sama Tuan Johannes buat bantu ngelobi di kepolisian ya?" Tuan Johannes hanya tersenyum mendengar perkataan dari ketua RW, mengangguk, lalu berjalan pergi meninggalkan pada petinggi desa di balai desa bersama dengan Pak Agus. Di tengah perjalanan, Pak Agus pun memberitahu informasi yang ia dapatkan dari kepolisian. Tuan Johannes terkejut saat mendengar bahwa NH yang merupakan korban keganasan Hutan Agnisaga rupanya benar-benar meninggal karena terkaman hewan buas. Tapi, ketika Tuan Johannes mengingat-ingat lagi bagaimana bentuk luka yang ada di punggung NH, luka itu terlampau aneh untuk ukuran serangan hewan buas biasa. Namun, Tuan Johannes masih tetap skeptis dan tidak percaya jika Hutan Agnisaga menyimpan hewan misterius yang mampu membuat bekas luka cakar yang dihasilkan bisa membusuk dalam sekejap. Belum lagi, pikiran Tuan Johannes masih dipenuhi dengan reaksi para warga ketika ia mengutarakan pendapat. Tuan Johannes tidak menyangka akan mendapat pertentangan yang begitu besar dari warga, padahal ia menganggap selama ini seluruh masyarakat desa bisa satu suara dan menuruti perkataan darinya. Tuan Johannes berpikir, apakah ada "ular" di antara para warga?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN