Gosip di Desa

1821 Kata
"Pak, sampean sadar gak sih? Teror yang terjadi hari ini tuh, ada hubungannya sama kejadian sepuluh tahun yang lalu loh," ujar Bu Agus sambil menyiapkan makan malam untuk suaminya. "Ah, sampean gak usah ngawur, Bu, mana ada yang kayak gitu … sampean ini terlalu banyak nggosip sama ibu-ibu tetangga," jawab Pak Agus sambil menggeser kursi yang akan ia duduki. "Heh tapi bener, Pak, coba aja sepuluh tahun lalu gak ada apa itu … aduh, lupa lagi ah!" gerutu Bu Agus kesal sembari ia menaruh lauk terakhir untuk makan malam ini, lalu ia bergabung dengan Pak Agus di meja makan. "Eksplorasi, Bu, penjelajahan untuk membuka Hutan Agnisaga. Makanya toh Ibu ini kalau sekolah yang bener," protes Pak Agus yang sedang mengambil satu centong penuh nasi putih yang disajikan istrinya tercinta. "Heleh … orang Bapak juga tahu kalau Ibu ini gak sekolah. Mentang-mentang sekarang tambah dekat sama Tuan Johannes, Bapak jadi sok pinter, sok ngerti, dan sok penting." Bu Agus melirik suaminya dengan tatapan julid, seperti layaknya ibu-ibu rumpi ketika melihat orang yang mereka benci tiba-tiba melintas di hadapan mereka para ibu rumpi sedang bergosip. Sayangnya kali ini, Pak Agus lah yang menjadi korban kejulidan istrinya. Pak Agus tidak bisa menjawab atau membalikkan kalimat dari istrinya. Karena jika ia bersikeras, maka sang istri yang sangat cerewet bisa lebih kejam dan pedas membalas omongannya. Pak Agus hanya bisa diam dan mendengar semua ocehan istrinya. "Loh kan sampean diem … berarti apa yang aku bilang bener toh?" sahut Bu Agus. "Heleh Bu … Bu, Bapak diem ae yo salah, jawab yo tambah salah," gerutu Pak Agus. "Emang nasibnya sampean iku, Pak, orang lelaki itu tempatnya salah, meski bener juga bakal jadi salah." Bu Agus terkekeh melihat suaminya yang sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sejenak, keluarga kecil itu memang bisa melupakan masalah yang sedang melanda desa. Namun sayangnya, bercandaan receh rumah tangga seperti ini, hanya mengalihkan rasa khawatir untuk sementara. Selanjutnya, baik Pak Agus maupun Bu Agus kembali kepikiran tentang teror yang melanda desa. Bu Agus dan suaminya tenggelam dalam suasana makan malam yang sederhana namun tetap berkesan bagi mereka. Bagaimana tidak? Anak yang merantau ke luar kota, menjadikan kehidupan mereka hanya tinggal berdua di desa. Setiap hari, sepasang suami istri ini kerap menghabiskan waktu berdua, layaknya pengantin baru. Meski memang tidak semesra ketika pertama menikah, namun kebersamaan mereka berdua tetap tergambar manis di usia keduanya yang sudah tidak muda lagi. Ketekunan Pak Agus dan Bu Agus dalam bekerja, mampu membuat sang anak semata wayang mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Tapi, tidak bisa dipungkiri, sepasang suami istri ini masih mempertahankan kehidupan sederhana. Rumah milik keluarga ini pun tidak bisa dibilang mewah, penghasilan yang dikumpulkan selama ini, hanya mereka tabung untuk masa depan sang anak, menyiapkan bekal untuk anaknya apabila sewaktu-waktu pulang ke kampung halaman. Setelah diam beberapa saat, Bu Agus pun kembali menceritakan kegelisahan di hatinya. "Pak, ayo dong, Pak, sampean coba ngobrol sama Tuan Johannes," celetuk Bu Agus. "Ngobrolin apa lagi, Bu?" sahut Pak Agus tampak kesal. "Itu loh, Pak, sejak tadi siang, warga itu udah ngobrolin ini semua. Berita ini wes nyebar ke seluruh warga! Kasus hilangnya jenazah hari ini, itu akibat dari pembukaan lahan sepuluh tahun lalu!" "Astaga … Ibu, itu kejadian udah lama, gak mungkin lah baru ada dampaknya hari ini! Kalau emang kejadian tadi gara-gara pembukaan lahan, kenapa gak dari dulu-dulu kita kena masalah? Ibu ini yang harus kasih tahu warga, buat hati-hati kalau ngomong. Sekarang, mending kita ikuti apa kata Pak Kades tadi, kalau malam, kita gak usah keluar, bahaya." "Udah lah, Pak, kadang Ibu tuh kesel kalau ngomong sama Bapak, gak pernah didengerin!" Bu Agus pun langsung beranjak dari meja makan. Ia sakit hati dengan suaminya yang masih terus saja membela Tuan Johannes dan tidak pernah membela dirinya, istri dari Pak Agus itu sendiri. Terkadang, Bu Agus merasa jika Pak Agus terlalu memprioritaskan Tuan Johannes. Apapun yang dipertahankan Tuan Johannes, akan segera dituruti oleh Pak Agus. Namun jika Bu Agus yang menyuruh, Pak Agus terkesan enggan untuk mengerjakan. Jangankan pekerjaan berat, hanya untuk membeli bawang di toko kelontong pun, Pak Agus enggan berangkat. Hal itu terkadang membuat Bu Agus sedih, namun di dalam lubuk hatinya, cinta untuk Pak Agus tidak pernah luntur setetes pun. Hampir satu bulan kebijakan jam malam berjalan, warga yang mulai kesal dan lelah dengan aturan tidak boleh keluar malam, diam-diam mulai melakukan aktivitas di luar ketika malam tiba. Di luar sepengetahuan perangkat desa, mereka mulai nongkrong dan ngopi di Pos Kamling dari malam hingga fajar. Tidak ada kejadian mencurigakan yang terjadi setelah pencurian mayat itu. Tidak ada orang asing yang keluar masuk desa, tidak ada juga penampakan yang membuat warga resah. Hal itu membuat aturan yang ditetapkan, berangsur-angsur menjadi semakin longgar dan masyarakat pun bisa beraktivitas malam seperti biasa, seakan tidak ada kejadian mengerikan yang terjadi. Suatu pagi, desa sedang dilanda hujan lebat, membuat para petani tidak bisa beraktivitas di kebun. Selepas bersantap pagi, Luna pun hanya termenung di kamar, melihat derasnya hujan disertai petir yang menyambar dengan kerasnya. Desa yang berada di dataran tinggi, membuat petir yang menyambar terasa dekat. Meski begitu, tidak ada rasa takut yang timbul di hati Luna. Gadis yang tidak ingin disebut dewasa itu, lebih merasa bosan dan kesepian dibanding takut. Ia geram, tidak bisa bermain di kebun bersama warga desa. Di tengah derasnya hujan, seorang perempuan paruh baya berlari pontang panting dari arah kebun menuju ke rumah Tuan Johannes. Topi anyaman bambu yang ia kenakan, tidak mampu melindungi tubuhnya dari derasnya tetesan air hujan. Setibanya di depan rumah Tuan Johannes, wanita paruh baya itu segera melepas topi yang ia kenakan, lalu memanggil-manggil nama Tuan Johannes. "Permisi … Tuan! Tuan Johannes, permisi!" ucapnya beberapa lali. Melihat hal itu, Luna segera beranjak dari tempatnya melamun, lalu berlari menghampiri ayah dan ibunya yang sedang bercengkrama di ruang tengah. "Ayah, Ibu, ada orang di depan!" ucap Luna. Tuan dan Nyonya Johannes yang sedang bercengkrama, segera berjalan cepat ke depan, menghampiri perempuan yang sedang kebasahan itu. Dibukakanlah pintu depan oleh Nyonya Johannes, tampak di luar pintu perempuan itu tengah berdiri menggigil, bibirnya tampak pucat dan membiru. Mata wanita itu terlihat merah. Di tengah hujan, wanita itu sedang menangis tersedu-sedu. "Permisi, Nyonya, apa Tuan Johannes ada di dalam?" ucap wanita paruh baya itu dengan suara yang bergetar. Tanpa menjawab salam dari wanita itu, Nyonya Johannes segera berbalik dan memberikan isyarat tangan kepada suaminya agar segera menghampiri dirinya. Tuan Johannes yang berjalan paling akhir, muncul dari belakang punggung istrinya. Wajah wanita paruh baya itu seketika sumringah lega ketika melihat Tuan Johannes muncul. "Siapa itu, Bu?" sahut Tuan Johannes kepada istrinya. "Itu, Yah, Ayah dicari Bu Jeanne," jawab Nyonya Johannes. "Anu, Tuan, saya mau minta tolong. Anak saya di rumah sedang sakit, mana sekarang lagi hujan, saya gak bisa antar anak saya ke rumah sakit," ucap wanita itu sambil kembali tersedu-sedu. Tuan Johannes tampak terkejut mendengar berita itu. "Sebentar ya, Bu, Ibu tunggu sini dulu, neduh aja dulu, Bu!" sahut Tuan Johannes. "Luna, tunggu sini dulu, Ayah mau ngobrol sama Ibu," lanjut Tuan Johannes meminta Luna untuk berdiam di tengah pintu, lalu Tuan Johannes menarik istrinya ke dalam rumah. Jeanne berjalan pelan, berteduh di teras rumah Tuan Johannes. Wanita itu memeluk tubuhnya sendiri yang kedinginan. Luna menatap wanita itu dengan perasaan kasihan, namun juga heran. Kasihan karena ia rela berjalan di tengah lebatnya hujan demi anaknya yang butuh dirawat di rumah sakit. Namun heran, karena Luna tahu jika Jeanne bukanlah orang miskin. Ia adalah salah satu pegawai Tuan Johannes yang mengurus keuangan kebun. Jeanne juga orang yang dipercaya Tuan Johannes untuk menerima pesanan bahan baku teh dari pabrik-pabrik yang ada di sekitar Banyuwangi. Bisa dibilang, Jeanne adalah salah satu orang kepercayaan Tuan Johannes. Seharusnya, jika memang Jeanne membutuhkan bantuan, ia bisa menelpon Tuan Johannes tanpa harus datang langsung ke rumahnya. Lalu, kenapa Jeanne harus bersusah payah berjalan di bawah hujan hanya untuk meminta bantuan kepada Tuan Johannes? Sayangnya, Luna masih menganggap dirinya anak kecil yang tidak boleh ikut campur dalam urusan orang dewasa. Ia hanya memendam rasa curiga di dalam hati, tanpa berani mengungkapkannya. Luna hanya menuruti kata Ayahnya yang menyuruh untuk menemani Jeanne di depan rumah. Jeanne tampak masih terisak, berkali-kali ia mengusap matanya yang basah karena hujan bercampur air mata. Di dalam rumah, Nyonya dan Tuan Johannes tampak sedang berdebat. Mereka berdua sengaja menurunkan volume suara, agar tidak didengar oleh Luna dan Jeanne yang ada di depan rumah. "Yah, ngapain sih Bu Jeanne minta tolong ke Ayah? Sampai harus datang ke sini lagi, kan?" Sama seperti Luna, Nyonya Johannes pun menaruh curiga kepada Jeanne. "Namanya juga darurat, Bu, kita harus tolongin lah! Kita sebagai orang yang mampu, sebisa mungkin harus bantu warga," sahut Tuan Johannes. "Tapi dia itu dari dulu udah Ayah Bantu terus loh. Rasanya ya, Ayah itu terlalu mengistimewakan Bu Jeanne dibanding warga lainnya. Kenapa? Apa karena Bu Jeanne cantik? Apa Bu Jeanne lebih cantik dari Ibu, Yah?" Rupanya Nyonya Johannes sedang dilanda cemburu. Ia merasa tidak rela, jika suami yang sangat dicintainya justru menaruh perhatian kepada wanita lain. Tapi jika dilihat-lihat, memang benar apa yang dikatakan oleh Nyonya Johannes. Jeanne memang tampak cantik, untuk ukuran wanita seusianya yang sudah memiliki anak yang seumuran dengan Luna. Wajahnya masih cerah berseri, tidak seperti warga lain yang terbakar matahari. Selain itu, Jeanne juga merupakan orang yang memiliki etnis yang sama dengan keluarga Johannes, membuat kecantikannya semakin terpancar jika dibandingkan dengan warga-warga lain. Kecemburuan Nyonya Johannes juga diperkuat dengan status Jeanne yang merupakan seorang janda. Meski tidak muda lagi, masih banyak bapak-bapak pekerja kebun teh yang suka mencuri pandang kepada Jeanne. "Bu, gak gitu! Ayah ini gak pandang bulu kalau mau nolong warga! Siapapun yang butuh bantuan Ayah, selagi Ayah mampu, Ayah bakal bantu!" Jawaban dari Tuan Johannes semakin membuat istrinya marah. Rasa cemburu yang dirasakan Nyonya Johannes di dalam hati, seakan semakin dilempari dengan kayu bakar oleh jawaban yang diberikan suaminya. "Ya udahlah, kalau Ayah mau bantu Bu Jeanne, bantu aja!" Nyonya Johannes segera berlari ke dalam kamar dan membanting pintu kamar dengan keras. Suara bantingan pintu itu sampai terdengar ke telinga Luna, membuat gadis remaja itu berjingkat pelan karena terkejut. Tidak lama kemudian, Tuan Johannes muncul dari balim pintu dengan pakaian rapi dan lengkap. "Bu Jeanne, Ibu tunggu di sini sebentar, ya? Saya panasin mobil dulu," ucap Tuan Johannes. "Luna, masuk dulu, ya? Petirnya kenceng banget, makasih udah nemenin Bu Jeanne," lanjut Tuan Johannes sambil mengelus kepala anaknya yang berdiri di tengah pintu depan. Selanjutnya, Luna berjalan dengan malas kembali ke kamarnya di lantai dua. Suara pintu terbanting keras, memberikan bekas luka mendalam di hati Luna. Ia merasa, orang tuanya tidak pernah bertengkar hingga sehebat itu sebelumnya. "Apa mungkin Ibu ngerasain apa yang aku rasain juga?" gerutu Luna saat ia ada di samping tangga, melihat kamar kedua orang tuanya yang tertutup rapat. Tidak lama kemudian, suara mobil ayahnya terdengar pergi menjauh dari rumah. Luna pun melanjutkan langkah, setiap anak tangga yang ia naiki, semakin menambah prasangka buruk yang ada di kepalanya. Rasanya, ada sesuatu yang aneh dari Jeanne dan kedua orang tuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN