Malam di Hutan Agnisaga

1750 Kata
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Langit senja berwarna jingga nan cantik, mulai bergeser menjadi malam gelap penuh bintang. Malam ini, tiba saat yang paling dinantikan oleh seluruh penghuni Hutan Agnisaga. Inilah purnama, tepat di tanggal 15 menurut penanggalan bulan, saat di mana seluruh energi dan vibrasi positif dan negatif saling bertabrakan di langit. Energi baik dan buruk, hitam dan putih, saling campur aduk memancarkan cahaya terkuatnya, membuat seluruh penghuni hutan bersuka cita. Seluruh burung menari-nari di udara, harimau dan kijang berlarian dan salong melompat kegirangan, serta pepohonan yang tampak mendayu-dayu diterpa angin malam yang sebenarnya mereka juga sedang menari dengan gembira. Seluruh makhluk hidup yang ada di Hutan Agnisaga, selalu menyambut ledakan energi yang terjadi setiap bulan purnama. Belum lagi, hari ini ada dua nyawa melayang di dalam hutan, membuat roh mereka terjebak di dalam hutan selamanya. Jiwa dari dua orang itu, menjadi tambahan energi bagi Hutan Agnisaga, membuat pancaran yang meledak malam ini semakin kuat. Di balik euforia yang dirasakan seluruh makhluk hutan, terdapat dua orang manusia yang berdiri berseberangan. Satu orang berdiri di sisi yang gelap dan pengap, satu orang lagi berdiri di sisi yang terang, hangat, dan nyaman. Sosok manusia yang berdiri di tempat gelap dan pengap itu adalah roh dari orang asing yang berniat masuk ke hutan demi mencari harta karun peninggalan Kerajaan Agnisaga. Ia mendapat hukuman dari penunggu hutan, jiwanya diikat di penjara astral yang tidak bisa dilihat oleh manusia. Jiwa orang asing itu tampak murung dan bersedih. Kakinya terikat akar menjalar berduri, badannya tampak kurus hanya tersisa tulang dan kulit. Pandangan matanya tampak kosong, bibirnya kering, dan rambutnya memutih dengan cepat. Sementara satu orang yang berdiri di sisi yang terang, hangat, dan nyaman itu adalah roh dari warga lokal yang membantu Tuan Johannes mencari orang asing yang masuk sembarangan ke Hutan Agnisaga. Meski sama-sama terjebak di dalam hutan, tetapi roh dari warga lokal ini mendapat perlakuan istimewa dari penjaga hutan. Ia ditempatkan di tempat yang layak dan seakan menerima penghargaan dari seluruh penghuni hutan atas jasa dan pengorbanannya. Senyumnya mengembang di dalam ruang hangat itu. Ia ikut gembira menyaksikan seluruh penghuni hutan menari-nari dengan sukacita. Di antara seluruh penghuni hutan itu pula, terdapat seekor makhluk yang menyerupai serigala, berbulu lebat, bermoncong lancip selayaknya serigala pada umumnya, dengan bulu berwarna perak kehitaman. Hewan itu berdiri di depan sebuah kotak emas yang bersinar terang karena memantulkan cahaya bulan yang menembus sela-sela dedaunan. Sejenak, serigala itu menunduk, lalu bersujud di depan kotak emas tersebut. "Hamba sudah melaksanakan perintah Paduka, menghukum manusia yang mencoba mengusik Hutan Agnisaga. Tidak akan ada jiwa kotor yang mampu menyentuh kotak pusaka milik Paduka. Jiwa itu sekarang telah dihukum dengan pantas oleh Dewa Penjaga Hutan. Hamba akan tetap menunggu, hingga tiba waktunya Paduka bangkit," kata sosok yang mirip serigala itu. Sesaat kemudian, kotak emas di depan serigala itu bergetar. Semakin lama, getaran pada kotak itu tampak semakin keras. Sosok serigala yang mampu berdiri dengan dua kaki tersebut, tidak bergerak dari tempatnya bersujud. Tiba-tiba, terdengar suara erangan dari dalam kotak emas yang menggema dengan dahsyat, membuat seluruh makhluk hutan yang sedang menari-nari seketika terdiam. Dari jauh, erangan itu terdengar seperti lolongan serigala. Namun dari dekat, erangan itu terdengar seperti auman harimau yang menggelegar, membuat seluruh penghuni hutan gemetar. Perbedaan suara yang terdengar itu disebabkan oleh perbedaan panjang gelombang suara yang mampu didengar oleh manusia dan hewan. Para penghuni hutan pinus ini tahu, penguasa mereka masih memiliki energi yang besar untuk menghukum semua orang yang menentangnya di masa lalu. Hanya tinggal menunggu waktu, hingga tiba saatnya ada manusia berjiwa suci yang membebaskan jiwa dan pusaka yang terperangkap di dalam kotak emas tersebut. "Ambilkan aku tubuh manusia suci, tubuh manusia segar, untuk kelak menjadi inangku saat hari kebangkitan! Ambilkan! Rawr!!" seru sosok yang terperangkap di dalam kotak emas tersebut. "Tubuh manusia suci, Paduka? Tapi … di mana?" sahut serigala di depannya. "Kau bodoh! Jelas sosok tubuh manusia yang baru saja mati itu!" bentak sosok di dalam kotak emas. "Ba-baik, Paduka!" Serigala itu segera berdiri dan beranjak. Ia berlari dengan kecepatan yang hampir menyamai kecepatan suara. Bentuk tubuh dan bulunya memungkinkan serigala itu bergerak nyaris tanpa suara. Hanya hembusan angin kuat yang menjadi tanda kehadirannya. Serigala itu terus saja berlari hingga ke luar Hutan Agnisaga. Di luar hutan, ia merasakan tenaga dan energinya terkuras habis, seakan dihisap oleh alam sekitar. Asap putih yang mengepul perlahan dari tubuhnya, menandakan jika wilayah di luar hutan pinus bukanlah tempat yang tepat untuknya. Ia tidak bisa berlama-lama berada di luar Hutan Agnisaga. Serigala itu terus melesat cepat, hanya butuh waktu beberapa detik, hingga akhirnya ia tiba di kompleks pemakaman desa. Hanya beberapa detik berada di luar Hutan Agnisaga, sudah membuat nafasnya terengah-engah. Serigala itu menengok ke Belakang, ke arah hutan yang berada cukup jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Ia melihat ke sekitar, memeriksa apakah ada warga yang berjaga atau tidak. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar, serigala itu segera mengeluarkan cakar dan menggali kuburan yang baru sore tadi dibuat. Cakar yang tajam serta gerakan menggali yang cepat, membuat serigala itu hanya membutuhkan waktu beberapa detik sampai jasad dari warga desa yang menjadi korban Hutan Agnisaga ada di tangannya. Setelah membereskan kekacauan di makam, meski memang tidak rapi, serigala itu kembali berlari melesat ke dalam hutan, sebelum aura lingkungan di luar hutan melenyapkannya tanpa sisa. Asap putih yang menguar dari tubuh serigala itu selama berada di luar hutan, berangsur menjadi semakin tebal. Nafasnya pun semakin pendek dan cepat, pertanda rasa lelahnya sudah hampir mencapai puncak. Beruntung, kecepatan lari yang ia miliki, mampu mencegahnya kehabisan tenaga saat berada di luar hutan. Sesampainya serigala itu kembali ke hutan, ia segera membawa jasad warga yang ia ambil dari kompleks pemakaman kepada tuannya yang terjebak di dalam kotak emas, selagi bulan purnama belum terbenam dan Hutan Agnisaga masih memancarkan energi kuat yang membuat sosok di dalam kotak emas bisa berkomunikasi. Serigala itu meletakkan jasad yang ia bawa, tepat di depan kotak emas. Sesaat kemudian, sebuah lingkaran mantra berwarna emas dengan simbol-simbol aneh yang mengelilinginya tiba-tiba muncul. Pancaran sinar dari lingkaran mantra itu, mampu menerangi seisi Hutan Agnisaga. Namun, sinar itu tidak tampak dari luar kawasan hutan, sehingga siapapun manusia yang melihat ke arah hutan malam ini, tidak akan menyadari ada ritual magis yang terjadi di dalam hutan. Beberapa saat kemudian, lingkaran emas itu perlahan lenyap, bersamaan dengan jasad warga yang juga ikut menghilang. "Pergilah!" seru sosok di dalam kotak emas kepada serigala yang masih setia berada di depannya. Selanjutnya, serigala itu menunduk, lalu menghilang perlahan ditelan kegelapan malam Hutan Agnisaga. Dingin dan gelapnya malam, berganti dengan hangatnya fajar yang membawa kehidupan baru bagi seluruh makhluk, termasuk Hutan Agnisaga. Hewan-hewan yang terlelap, bangun untuk memulai harinya ketika sinar matahari pagi menembus sela-sela dedaunan, membuat badan mereka menghangat dan siap untuk mengawali hari. Pak Agus, orang kepercayaan Tuan Johannes itu juga sama seperti yang lain, bersiap untuk memulai hari. Berbeda dengan warga lainnya yang sibuk menyiapkan alat-alat untuk pergi ke kebun teh, Pak Agus berdandan rapi, mengenakan jaket dan menenteng helm butut kesayangannya. Ia bersiap-siap untuk pergi ke Polsek Kalibaru guna meneruskan kasus yang kemarin ia laporkan. Kematian orang asing di Hutan Agnisaga, menjadi perbincangan hangat hingga ke luar desa. Banyak masyarakat yang membicarakan kasus tersebut, mengaitkan kematian itu dengan tumbal yang diminta oleh penunggu hutan. Pak agus mengendarai motor tuanya menyusuri jalanan hutan yang tidak rata, banyak lubang di sepanjang jalan yang membuat Pak Agus harus pandai bermanuver. Perjalanan dari desa menuju ke Polsek Kalibaru memakan waktu yang tidak sebentar, Pak Agus harus melewati persawahan, hutan, serta jalan turunan yang rusak dan curam demi sampai di Kantor Polisi Sektor Kalibaru yang terletak di jalan provinsi yang menghubungkan Banyuwangi dan Jember. Sesampainya di kantor polisi, penyidik reskrim meminta Pak Agus untuk kembali datang ke kantor polisi, guna dimintai keterangan lebih lanjut berkaitan dengan kematian orang lain tersebut. Tim forensik dari Polres Banyuwangi yang terjun langsung pun berhasil mengidentifikasi identitas dari korban. Korban adalah seorang warga Bandung berinisial NH, seorang wiraswasta lajang berusia 25 tahun yang terlilit hutang dengan jumlah besar. Pihak kepolisian juga telah menghubungi pihak keluarga dari NH dan meminta mereka menjemput jenazah NH untuk dikebumikan di kampung halaman dengan layak. Menurut keterangan dari pihak keluarga, NH telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencari pinjaman lain ke sana kemari demi menutup lubang pinjaman rentenir yang mencekik. Namun sayang, upayanya sia-sia. Nama yang terlanjur jelek, serta sudah masuk daftar hitam di Otoritas Jasa Keuangan, membuat NH tidak berhasil mendapat pinjaman di manapun. Suatu hari, NH tidak pulang ke rumah setelah semalaman menghilang. Orang tuanya sempat khawatir dan hampir melapor ke Polsek terdekat. Namun keesokan harinya, NH pulang dengan wajah sumringah. NH bercerita kepada keluarga bahwa ia akan mendapat uang banyak tidak lama lagi, karena menemukan peta harta karun di ujung timur Jawa Timur. Pihak keluarga sudah mencegah, namun NH tetap kukuh pada pendirian dan berniat mencari harta karun itu seorang diri. "Harta karun itu gak pernah ada, Pak Polisi," sahut Pak Agus ketika mendengar cerita itu dari penyidik yang menangani kasus orang asing tersebut. "Kita warga lokal udah pernah coba menyusuri selama bertahun-tahun, gak pernah ada harta atau apa lah itu. Kalau Kerajaan Agnisaga, emang ada, prasasti yang jadi sumber sejarah primer tentang kerajaan itu bahkan disimpan di Museum Blambangan, di Dinas Pariwisata Kota Banyuwangi. Prasasti itu valid, nyata, sayangnya reruntuhannya tertutup hutan. Kalau kita mengadakan penggalian, kita bisa merusak ekosistem hutan yang sudah ada selama ratusan atau bahkan ribuan tahun," terang Pak Agus. "Sampean hebat ya, Pak, meski cuma petani, sampean tahu banyak tentang sejarah," sahut penyidik yang salut dengan pengetahuan yang dimiliki oleh Pak Agus. "Hehehe … enggak sih aslinya, Pak. Cuma … Tuan Johannes yang cerita itu ke saya. Beliau pernah mengundang tim arkeolog katanya, buat menyusuri Hutan Agnisaga, sampai akhirnya sekarang dibikin jalur setapak, buat menyusuri kalau ada orang asing yang masuk." Pak Agus menjelaskan bahwa dirinya hanya petani teh biasa, bukan orang yang mengenyam pendidikan tinggi seperti Tuan Johannes. "Oalah, Pak Johannes. Gak heran sih kalau Pak Johannes, soalnya beliau kan emang punya banyak kenalan ahli sejarah. Belum lagi Pak Johannes kan punya relasi yang luas di pemerintahan," sahut penyidik polisi. "Tapi ya, Pak, saya mau tanya. Kira-kira penyebab kematian dari NH itu apa?" tanya Pak Agus. "Sesuai dengan hasil otopsi, kematian NH kemungkinan disebabkan oleh serangan hewan buas, berdasarkan bukti bekas cakaran di punggung korban," terang penyidik. Setelah mencatat seluruh keterangan yang didapatkan dari Pak Agus, akhirnya penyidik mempersilakan Pak Agus untuk undur diri. Berbekal informasi yang didapatkan dari penyidik, Pak Agus pun hendak pulang, menyampaikan berita tersebut kepada Tuan johannes, tanpa tahu jika sedang ada kejadian menggemparkan di desa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN