Tirto Kemanten

1421 Kata
Keesokan paginya, suasana rumah sudah kembali ceria seperti sedia kala. Nyonya Johannes kembali mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan Tuan Johannes sedang menunggu sarapan tersedia di ruang makan. Alarm di kamar Luna berbunyi, tanda untuk gadis cantik itu segera bagun. Dengan malas, Luna membuka mata perlahan, mengucek matanya dengan malas. Tampak dari sela-sela jendela, cahaya matahari pagi mencoba menyeruak masuk. Luna segera membuka jendela, ia tersenyum melihat cuaca cerah hari ini yang membuatnya bisa bermain dengan anak-anak desa seperti biasa. Genangan air dan lumpur terlihat di sana-sini, jejak ban truk yang ada di depan rumah Luna pun mencetak cekungan basah yang terisi penuh dengan air kecoklatan. Di pelupuk mata, para petani teh tampak sibuk memanen daun teh segar, agar segera bisa didistribusikan ke pabrik untuk diolah. "Semoga hari ini udah lebih baik dari kemarin," gerutu Luna perlahan. Luna segera turun dari kamar. Tampak di ruang makan, kedua orang tuanya sedang bercengkrama seperti tidak ada konflik yang terjadi. Luna hanya bisa tersenyum, ia senang melihat ayah dan ibunya telah berdamai. Digesernya salah satu kursi di ruang makan, lalu Luna bergabung dengan ayahnya menunggu masakan ibunya yang tercium harum hingga ke seluruh ruangan. Rasanya, Luna ingin menyusul ibunya ke dapur dan bertanya hari ini masak apa, namun entah kenapa, ia ingin tetap berada di ruang makan bersama ayahnya. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Nyonya Johannes keluar membawa menu sarapan sederhana namun masih tetap menggiurkan. Terong bakar dan sambal terasi, makanan yang lezat untuk mengawali hari. Tiga anggota keluarga Johannes pun memakan semua menu sarapan dengan lahap, tidak terkecuali Luna yang meskipun ia perempuan, namun memiliki porsi makan yang cukup banyak. Selepas makan, ayah dan ibu Luna berbincang basa-basi sambil bercanda. Luna tersenyum lega melihat bagaimana kedua orang tuanya berbincang. Ia senang melihat sepasang suami istri di depannya tampak damai, tidak seperti apa yang terlihat kemarin. Nyonya Johannes sadar jika ada sesuatu yang salah dengan Luna. "Luna kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Nyonya Johannes sambil melirik sinis ke arah anaknya. Luna hanya terkekeh, "enggak, Luna cuma penasaran. Apa yang dilakukan oleh dua orang yang udah nikah kalau habis berantem? Hehe," sahut Luna sambil membalas tatapan sinis ibunya dengan lirikan nakal yang ditujukan kepada Tuan dan Nyonya Johannes di depannya. "Ya … kita berdamai, Luna. Berdiskusi, saling memberitahu keresahan masing-masing, dan saling memaafkan. Gak baik kalau kita berlarut-larut dalam konflik," jawab Tuan Johannes sambil menatap hangat anaknya. "Iya … lalu?" Luna memberikan tatapan yang semakin mencurigakan kepada ayah dan ibunya. "Lalu? Gak ada yang lain, apa lagi?" jawab Tuan Johannes yang masih tidak mengerti dengan apa yang anaknya maksud. "Ayolah … pasti Ayah dan Ibu kan …." Luna mengetuk-ngetuk kedua telunjuk di depan badan, sambil memberikan lirikan nakal kepada Tuan dan Nyonya Johannes. Sepasang suami istri di depan Luna sepertinya mulai paham ke mana arah pembicaraan anak gadis mereka. Tuan dan Nyonya Johannes saling lirik, wajah Nyonya Johannes mulai memerah, seakan Luna memergoki apa yang mereka berdua lakukan semalam. Tuan dan Nyonya Johannes kemudian menoleh ke arah Luna serentak. Luna yang mengetahui jika ada sesuatu yang mulai tidak beres dengan kedua orang tuanya, segera beranjak dan berlari ke luar, tidak peduli dengan piring kotor yang masih ada di atas meja makan. Dari luar rumah, Luna mendengar teriakan keras dari ayah dan ibunya di dalam rumah. "Luna!!" teriak Tuan dan Nyonya Johannes bersamaan. Luna hanya terkekeh sambil berlari dengan ceria, tanpa peduli jika pakaian yang ia kenakan terciprat lumpur. "Anak itu sebenernya udah dewasa, tapi tingkahnya masih kayak anak kecil aja, heran," gerutu Nyonya Johannes setelah Luna menghilang dari pandangannya. "Ya udahlah, Bu, salah kita juga terlalu memanjakan dia dulu," sahut Tuan Johannes. "Tapi, Luna itu sebenernya bisa rajin loh, Bu, kalau dia ingin. Semalem aja dia yang cuci piring," lanjutnya. "Dia gak cuma belajar dari kita aja, Yah, dari warga desa juga dia belajar. Makanya, kita gak pernah melarang Luna buat main sama anak-anak desa kan? Apa lagi, kalau Luna udah deket sama warga, nantinya dia enak kalau mau dipasrahin perkebunan kan? Selagi kita baik sama orang, kita pasti dapet hasil yang baik juga." Nyonya Johannes tersenyum sambil melihat ke arah pintu samping ruang makan yang langsung terhubung dengan area luar rumah. "Bu, Ayah mau ngelanjutin obrolan semalem." "Obrolan apa lagi, Yah?" sahut Nyonya Johannes dengan malas. Sepertinya ia enggan mengungkit kembali rasa cemburu dan sakit hati yang sudah hanyut diterpa kenikmatan semalam. "Gini … Ayah tahu, mungkin kejadian kemarin sedikit banyak membekas di hati Ibu. Sebagai permintaan maaf, gimana kalau akhir pekan ini kita pergi liburan?" "Liburan, Yah?" Raut wajah Nyonya Johannes seketika berubah, dari yang awalnya malas menjadi sumringah. "Mau dong … liburan ke mana?" "Gak usah jauh-jauh, ke Tirto Kemanten aja gimana?" "Boleh, Yah, boleh … boleh … boleh, lama banget kayaknya kita gak jalan-jalan ya?" Nyonya Johannes sudah membayangkan pengalaman-pengalaman menyenangkan ketika besok mengunjungi objek wisata yang tidak jauh dari tempat mereka tinggal itu. Belum lagi, ia membayangkan bagaimana senangnya Luna ketika diajak bertamasya, karena gadis itu sangat jarang keluar dari lingkup desa tempat tinggalnya. Beberapa hari kemudian, saat yang dinanti pun tiba. Seperti dugaan, Luna tampak sangat antusias dengan wisata kali ini. Ia bahkan bangun lebih awal demi tidak membuat ayah dan ibunya terlambat berangkat. Sekitar pukul tujuh pagi, keluarga Johannes meninggalkan desa. Tidak lupa, Tuan Johannes menitipkan pekerjaan di kebun kepada Pak Agus. Luna sangat gembira ketika melihat pemandangan menakjubkan yang terpampang selama perjalanan. Daerah mereka memang wilayah hijau yang sangat indah. Meski setiap hari Luna menyaksikan pemandangan kebun teh dan hutan yang penuh dengan warna hijau, hal itu tidak mengurangi antusiasmenya dalam menikmati pemandangan. Setengah jam perjalanan, keluarga Johannes tiba di lokasi. Perlu sedikit perjuangan untuk mencapai titik air terjun, karena dari tempat parkir, keluarga Johannes harus menempuh perjalanan lagi melalui tangga batu. Beruntung, pemugaran di tempat ini telah selesai dilakukan, sehingga jalur yang dilalui untuk menuju ke sana tidak berbahaya seperti dulu. Sama seperti lokasi air terjun lainnya yang berada di kaki gunung, air terjun Tirto Kemanten pun memiliki hawa yang sejuk dan menyegarkan. Sinar matahari terik yang biasanya terasa menyengat, tidak mampu menembus dinginnya hawa Gunung Raung. Tirto Kemanten adalah air terjun kembar, masing-masing air terjun menggambarkan pengantin laki-laki dan perempuan. Airnya yang jernih, membuat Luna seketika ingin menceburkan diri ke bawahnya. Bebatuan besar dan terjal tidak menciutkan niat Luna untuk menjelajahi sudut-sudut air terjun. Ia menyusuri tempat-tempat yang dangkal, mendekatkan wajah ke air demi mencari ikan-ikan kecil yang mungkin ada di sana. Jernihnya air membuat Luna bisa melihat jelas ke dasar sungai. Sayangnya, titik tempat Luna menjelajah tidak terdapat ikan sama sekali. Beberapa anak-anak pengunjung lain pun melakukan aktivitas yang sama seperti Luna lakukan, menjelajah berkeliling air terjun. Terdapat penjaga yang memastikan keamanan seluruh pengunjung, membuat semua orang yang ada di lokasi air terjun Tirto Kemanten merasa aman, meski mereka tetap harus berhati-hati. “Ayah, Ibu, aku boleh mandi?” seru Luna kepada Tuan dan Nyonya Johannes yang ada tepi sungai, sedang berdiri sambil menyaksikan tingkah polos anak mereka. “Iya! Tapi hati-hati, jangan berenang di tempat yang dalam!” sahut Nyonya Johannes sambil tersenyum. Sepasang suami istri ini tampak senang melihat Luna menikmati akhir pekannya. “Kenapa gak sering-sering kita pergi wisata gini ya, Yah?” celetuk Nyonya Johannes pelan. “Bisa aja sih, Bu … tapi, sebulan kemudian kita bakal didemo orang-orang desa karena gak ngurus kebun,” jawab Tuan Johannes sambil terkekeh, yang dibalas dengan cubitan kecil dari istrinya, lalu mereka berdua pun tertawa bersama. Tidak lama kemudian, ada serombongan pengunjung yang hendak meninggalkan lokasi air terjun. Mereka adalah sekelompok anak muda yang tampak gembira, bersenda gurau satu sama lain. Satu atau dua orang pengunjung itu saling dorong, hingga salah seorang di antara mereka tidak sengaja menabrak punggung Nyonya Johannes. “E-eh!” Nyonya Johannes oleng, kakinya terpeleset dan terjatuh menggelundung tercebur ke sungai. “Ibu!” Tuan Johannes berteriak sambil melompat ke bawah, segera menolong istrinya yang terjatuh. “Pak … Pak, maaf, kami gak sengaja,” ucap serombongan anak muda itu. Penjaga air terjun segera turun membantu Tuan Johannes menolong istrinya. Dua orang itu segera mengangkat Nyonya Johannes yang tidak sadarkan diri, naik ke tempat yang landai dan aman. Tuan Johannes menggendong bagian atas Nyonya Johannes, sedangkan penjaga air terjun mengangkat bagian kakinya. Saat Tuan Johannes meletakkan istrinya ke salah satu bangku yang ada di lokasi itu, ia merasakan sesuatu yang sedikit lengket di telapak tangannya. Saat Tuan Johannes menyingkirkan tangan dari kepala istrinya, ia melihat cairan merah tercetak penuh di telapak tangannya. Jantung Tuan Johannes berdetak semakin cepat saat menyadari ada keadaan darurat yang menimpa istrinya. Tangannya gemetar tak berdaya, ia harus tetap bisa berpikir logis di saat genting seperti ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN