Pasca Makan Malam

1608 Kata
Selepas makan malam, suasana rumah keluarga Johannes masih belum kembali seperti sedia kala. Api cemburu yang ada di dalam hati Nyonya Johannes belum juga padam meski sang suami telah kembali ke pelukannya. Bahkan ketika selesai bersantap malam, Nyonya Johannes segera beranjak kembali ke kamar tanpa membereskan meja makan seperti yang biasa ia lakukan setiap hari. Lagi-lagi, Luna dan ayahnya hanya bisa saling tatap dengan raut wajah kecewa. Luna dan ayahnya lalu membereskan meja makan setelah semua makanan habis tak bersisa. “Biar Luna aja yang cuci piring, Yah, Ayah tadi udah masak,” ucap Luna ketika melihat ayahnya membuka kran di wastafel yang ada di dapur. Tuan Johannes hanya tersenyum melihat tingkah polos anaknya. “Kalau gini Luna kelihatan dewasa ya?” celetuk Tuan Johannes memuji. Luna tersipu malu mendengar kalimat manis dari ayahnya. Tapi hatinya terlalu keras untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Luna hanya menjawab, “apa sih, Yah? Anak kecil juga bisa cuci piring kali ….” Namun rona merah di pipinya tidak bisa berbohong jika Luna sedang tersipu. Bahkan mata Luna pun tidak berani menatap sang ayah yang berdiri tepat di sampingnya, menandakan ia benar-benar malu mendapat pujian tersebut. Memang, sehari-hari Luna terbiasa dimanjakan oleh ayah dan ibunya. Nyaris tidak pernah Luna ikut membantu membersihkan rumah dan memasak seperti anak-anak desa yang lain. Meski begitu, bukan berarti Luna tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ia terbiasa bermain dengan anak-anak desa di rumah mereka. Terkadang, Luna pun ikut membantu anak-anak desa mengurus rumah. Bahkan terkadang ia ikut memasak bersama anak-anak desa. Pernah sesekali Luna ditanya oleh salah satu warga, “Kenapa Nduk Luna kok seneng main di rumah sini? Padahal Nduk Luna punya rumah yang gede dan nyaman, tapi malah main ke rumah reot seperti ini.” Dengan polosnya Luna menjawab, “kalau di rumah, Luna gak bisa ngapa-ngapain selain belajar dan belajar. Semua pekerjaan rumah udah dikerjakan sama Ibu, Luna gak tau harus apa di rumah. Kalau di sini, Luna merasa punya keluarga baru, rumah baru, orang tua baru yang mengurus Luna dengan sangat baik.” Senyum Luna seakan menjadi peneduh bagi warga yang ia datangi. Wajahnya yang cantik dan tingkahnya yang polos membuat siapapun merasa senang ketika Luna berkunjung ke rumah mereka. Tapi sebenarnya, tidak semua orang membuka pintu dengan sukarela terhadap kedatangan Luna. Beberapa orang, terutama mereka yang memiliki kondisi ekonomi di bawah rata-rata, sedikit keberatan dengan kedatangan gadis cantik itu di rumah mereka. Karena bagaimanapun, mereka merasa serba salah ketika Luna berkunjung. Warga yang keberatan itu merasa kurang ajar jika menolak kedatangan anak dari konglomerat di desa. Kapan lagi ada anak orang kaya yang masuk ke rumah reot mereka? Tuan Johannes tersenyum tipis ketika melihat Luna mengerjakan pekerjaan rumah seperti yang biasa dilakukan oleh istrinya. "Luna benar-benar udah besar rupanya ya?" batin Tuan Johannes sambil berlalu meninggalkan Luna sendirian di dapur bersama cucian piring bekas makan malam yang sudah mulai bersih terkena sentuhan lembut jari jemari gadis itu. Ketika tiba di depan pintu kamar, Tuan Johannes merasa ragu. Apakah ia harus mengetuk pintu atau tidur di sofa? Apalagi melihat reaksi dari istrinya, sepertinya benar-benar marah atas kejadian tadi pagi. Baru kali ini Nyonya Johannes menunjukkan kecemburuan sebesar ini. Di dalam kamar pun, sebenarnya Nyonya Johannes menunggu suaminya mengetuk pintu. Ia ingin melihat, seberapa besar rasa bersalah yang dimiliki oleh Tuan Johannes kepadanya. Apakah firasat yang mengatakan bahwa Tuan Johannes lebih membela Jeanne itu benar? Dua orang yang sudah lama menjalin rumah tangga itu saling tunggu di kamar, dipisahkan oleh pintu tipis yang menunggu untuk dibuka. Mereka berdua terdiam di tempatnya masing-masing, tidak ada yang mengambil langkah untuk menyelesaikan masalah. Luna yang sudah selesai mencuci piring, melihat pemandangan tidak menyenangkan itu saat ia hendak kembali ke dalam kamar. Sebenarnya, hati Luna terasa sangat menggelitik ingin membantu mendamaikan kedua orang tuanya. Namun ia lebih memilih memendam perasaan itu dan berlalu menuju ke kamar. Luna merasa, semakin banyak ia terlibat dengan urusan rumah tangga ayah dan ibunya, semakin cepat ia tumbuh menjadi orang dewasa. Luna tidak ingin cepat-cepat menjadi dewasa, karena ia masih ingin menikmati waktu bermain bersama dengan anak-anak di desa. Setelah berdiam cukup lama, akhirnya Tuan Johannes memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar. Sebenarnya bisa saja Tuan Johannes langsung mencoba membuka pintu kamar, karena bagaimanapun kamar itu juga merupakan miliknya. Tetapi karena suasana hati Nyonya Johannes sedang kurang baik, maka Tuan Johannes ingin masuk secara lembut dan perlahan. “Bu …,” ucap Tuan Johannes sambil mengetuk pintu. Tidak ada jawaban dari Nyonya Johannes. Suasana menjadi semakin hening, hanya ada suara hujan dan petir yang terdengar. Dari dalam kamar, sebenarnya Nyonya Johannes sangat ingin melompat dan segera membukakan pintu untuk suaminya. Tapi bagaimana nanti citranya sebagai seseorang yang sedang marah jika tiba-tiba muncul dan memberikan kecupan mesra kepada sang suami? Tidak, ia tidak boleh melakukan hal itu. Nyonya Johannes harus tetap menjaga gengsi, meski ia tahu jika suaminya telah berusaha membujuknya. Belum lagi, Tuan Johannes sangat jarang terlihat memasak. Hanya jika ada sesuatu yang terjadi dengan Nyonya Johannes, barulah ia akan mengambil alih tugas memasak. “Bu, kasih Ayah kesempatan buat menjelaskan, ayo lah,” bujuk Tuan Johannes dengan lembut. Ia berharap, perkataannya didengar dan berhasil mengetuk pintu hati Nyonya Johannes yang sedang membeku seperti es di puncak gunung everest. Tiba-tiba, terdengar suara seseorang memutar gagang pintu. Tuan Johannes tersenyum lega ketika mengetahui jika istrinya mulai memberinya kesempatan untuk menjelaskan apa yang terjadi. Dari balik pintu, Nyonya Johannes menatap suaminya dengan sinis, membuat bulu kuduk Tuan Johannes merinding. Siapapun yang ada di posisi Tuan Johannes saat ini pasti merasakan sesuatu yang sama, karena perempuan yang sedang dalam suasana hati tidak baik adalah perempuan paling menyeramkan di muka bumi. Nyonya Johannes membuka pintu perlahan-lahan, tubuhnya masih ia tahan di belakang pintu, mengikuti gerakan pintu itu terbuka. Tuan Johannes melangkah masuk pelan-pelan sambil menunduk. Saat ini, Nyonya Johannes sedang menahan hasratnya sendiri. Ia harus tetap menjaga gengsi, meski desiran aneh mulai terasa di belakang lehernya. Setelah Tuan Johannes masuk, Nyonya Johannes segera menutup pintu, lalu duduk di ujung tempat tidur. Tuan Johannes hanya berdiri di tengah ruangan, seakan menunggu untuk diadili oleh Sang Hakim tertinggi. Dua orang suami istri itu sama-sama terdiam. Nyonya Johannes berusaha sekuat mungkin menahan tawa, meski sebenarnya ia merasa sangat gemas saat melihat raut wajah bersalah yang ditunjukkan suaminya. Setelah cukup lama terdiam, barulah Nyonya Johannes angkat suara. “Kenapa diam? Katanya tadi mau jelasin, hem?” ucapnya yang disertai dengan tatapan sinis seakan ingin memakan suaminya hidup-hidup. “Jadi gini, Bu ….” Tuan Johannes mulai menceritakan kronologi kejadian tadi pagi. “Ayah mau minta maaf, Ayah udah keras kepala tadi pagi. Tapi, Ayah sendiri juga punya pertimbangan kenapa kok pilih nolongin Bu Jeanne tadi pagi. Sekarang gini, Bu, kita sebagai orang yang cukup mampu di desa, punya tanggung jawab tidak langsung untuk membantu masyarakat yang butuh bantuan, tanpa memandang orang itu siapa. Bukan hanya hari ini loh kita bantu orang lain … kebetulan aja hari ini Bu Jeanne yang minta bantuan dan Ibu cemburu sama Bu Jeanne. Ayah tahu, Ayah harus menjaga hati. Tapi, kita gak boleh membeda-bedakan orang kayak gini. Kalau aja tadi pagi itu bukan Bu Jeanne, pasti Ibu gak akan marah kan?” terang Tuan Johannes sambil tertunduk. Kalimatnya yang lembut, mampu mencairkan gunung es bernama rasa cemburu, sedikit demi sedikit. Nyonya Johannes yang duduk di depannya, hanya bisa mengembungkan air mata, menahan haru terhadap suaminya yang mau menurunkan ego untuk menjelaskan dengan lembut. Beginilah sikap seorang lelaki seharusnya. Seorang lelaki tidak seharusnya serta merta tunduk dan mengalah terhadap perempuan, tidak juga harus semena-mena terhadap perempuan. Perempuan bukan terbuat dari tulang kaki yang pantas diinjak, bukan juga terbuat dari tulang tengkorak yang selalu dijunjung, melainkan terbuat dari tulang rusuk pria yang membuatnya pantas dicintai dan dihargai. Nyonya Johannes hanya diam mendengar jawaban lembut dari suaminya. Sejujurnya, hati Nyonya Johannes telah luluh, tetapi tidak dengan kepalanya yang keras. Ia melirik ke samping sambil sedikit memanyunkan bibir, membuat wajah cantik yang tak luntur oleh waktu itu terlihat seperti anak kecil. Pemandangan seperti ini, memang tidak akan diperlihatkan di depan umum, karena dua orang suami istri ini harus tetap menjaga citra, bahkan di depan anak mereka sendiri. “Lain kali, jangan kayak gitu. Gimanapun Ibu ini perempuan, hati Ibu sensitif, gak kayak Ayah yang lempeng aja,” sahut Nyonya Johannes lirih. “Apa, Bu? Ayah gak denger,” jawab Tuan Johannes sambil mendekatkan telinga ke bibir istrinya. Nyonya Johannes semakin tersipu malu melihat reaksi dari suaminya. Tanpa memberikan jawaban lebih lanjut, Nyonya Johannes segera memeluk dan memberikan kecupan mesra kepada suaminya. Memang, sifat memendam perasaan dan gengsi yang dimiliki Luna, adalah turunan dari Ibunya. Dua orang tuan putri di rumah ini lebih memilih menahan sakit di dalam hati, daripada mengutarakannya secara gamblang. Tuan Johannes yang sudah hidup puluhan tahun bersama istrinya pun paham, jika hati Nyonya Johannes masih tetap keras setelah bertahun-tahun bersamanya. Ia tahu, istrinya hanya ingin dimengerti, namun tidak tahu bagaimana cara mengucapkannya. Dengan sigap dan lembut, Tuan Johannes membalas pelukan istrinya dengan dekapan yang tidak kalah erat, ia ingin menunjukkan besarnya rasa cinta yang ia miliki. Tuan Johannes menjauhkan tubuh Nyonya Johannes darinya, lalu menatap Nyonya Johannes lekat-lekat. Air mata yang menggenang di mata Nyonya Johannes, membuat suaminya tidak tahan lagi terhadapnya. Wajah Nyonya Johannes, masih tetap terlihat sama seperti ketika ia pengantin baru bagi Tuan Johannes. Selain itu, meski memang sudah tidak muda lagi, keperkasaan Tuan Johannes pun masih tidak termakan usia. Dengan desiran aneh yang mulai terasa di belakang leher Tuan dan Nyonya Johannes, mendorong wajah mereka untuk mendekat perlahan-lahan, hingga kedua bibir indah itu saling bertemu dan berpagutan. Hingga akhirnya, diselesaikanlah konflik yang terjadi di antara keduanya di atas tempat tidur yang menjadi saksi atas besarnya cinta yang dirasakan oleh keduanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN