Nyonya Johannes

1833 Kata
“Argh ….” “Manusia ….” “Aku bisa merasakan nyawa manusia sedang ada di ujung tanduk ….” “Datanglah kepadaku, wahai manusia ….” Siang hari yang cerah di hari minggu, Hutan Agnisaga tiba-tiba terasa bergetar. Getaran itu sangat tipis, hingga tidak dapat dirasakan oleh penduduk yang tinggal di sekitarnya. Namun tipisnya getaran itu mampu membangunkan hewan-hewan malam yang sedang beristirahat. Burung hantu yang tidur di ranting pohon, beterbangan merasakan getaran tidak nyaman di ujung kaki mereka. Kelelawar yang tinggal di dalam goa, mengepakkan sayapnya mengelilingi goa, membentuk formasi lingkaran untuk meredam getaran yang mengganggu waktu tidur mereka. Hewan-hewan siang yang mencari makan dan berburu, berlarian ke segala arah. Burung-burung pun berbondong-bondong meninggalkan hutan demi mencari perlindungan. Perbuatan mereka ini bukan tanpa alasan, penguasa Hutan Agnisaga sedang merasakan sesuatu yang aneh, sehingga membuat kotak pusaka yang membelenggunya bergetar. Di tempat lain, tepatnya di air terjun Tirto Kemanten, seorang warga desa sedang berjuang agar tetap hidup setelah seorang pengunjung tidak sengaja menabrak dan membuatnya terpeleset hingga kepalanya berdarah terbentur bebatuan besar yang menyebar di seluruh sungai. Luna yang saat itu sedang sibuk mencari ikan-ikan kecil bersama anak-anak pengunjung lain, merasa heran melihat banyaknya orang yang berkumpul di satu titik. Ia segera menghentikan kegiatannya dan berjalan perlahan menuju kerumunan itu. “Permisi … permisi….” Luna menerobos orang-orang yang berkerumun demi melihat apa yang membuat mereka berkumpul. Mata Luna terbelalak ketika melihat sang ibu sedang dipangku oleh Tuan Johannes dalam keadaan tak sadarkan diri dan basah kuyup. Tangan Tuan Johannes penuh dengan darah. Bagian belakang kepala Nyonya Johannes terus mengucurkan darah segar hingga membasahi kaki Tuan Johannes yang memangkunya. “Ibu!!” teriak Luna saat melihat ibunya tidak sadarkan diri. Tuan Johannes tidak menghiraukan teriakan Luna, ia masih berpikir harus melakukan apa saat ini. Perasaan mengatakan jika ia tidak boleh panik, namun detak jantung yang semakin kencang membuat kepalanya tidak bisa berpikir lagi. Butuh beberapa saat hingga Tuan Johannes sadar apa yang harus ia lakukan. “Pak … Pak … Pak … bawa istri saya ke mobil, Pak, bantu saya!” ucap Tuan Johannes dengan suara yang gemetar. Penjaga air terjun yang tadi menolong Tuan Johannes mengangkat istrinya dari dalam sungai pun mengangguk, lalu segera mengangkat bagian kaki Nyonya Johannes untuk dibawa ke tempat parkir. Ketika akan berjalan, Tuan Johannes tidak lupa memperingatkan kepada remaja yang menyenggol istrinya hingga terjatuh. “Kamu ikut saya, awas kalau kabur!” ancam Tuan Johannes. Rombongan pengunjung remaja yang menyenggol Nyonya Johannes pun saling senggol satu sama lain, berdebat tentang siapa yang harus ikut ke mobil Tuan Johannes. “Kamu lah yang ikut, orang kamu yang nyenggol,” ucap seorang remaja perempuan. “Kok aku aja? Ya kamu juga lah, orang kamu yang dorong aku!!” sahut remaja lelaki yang menyenggol Nyonya Johannes. Luna yang juga masih ada di tempat itu merasa geram kepada orang-orang yang ia nilai sudah mencelakai ibunya. Dengan sigap, Luna berjalan menghampiri rombongan itu dan menarik tangan dua orang di antara mereka. “Kalian berdua ikut!” seru Luna sambil menyeret dua orang yang tadi berdebat menuju ke lokasi parkir. Setibanya di tempat parkir, Tuan Johannes meminta seseorang yang lain untuk mengambil kunci di kantong celana dan meminta tolong untuk membuka pintu mobil. “Sampean bisa nyetir mobil, Pak?” tanya Tuan Johannes kepada penjaga air terjun ketika ia membantu memasukkan Nyonya Johannes ke kursi belakang. “Bisa, Pak,” jawab penjaga air terjun. “Yaudah tolong segera bawa ke rumah sakit ya, Pak,” ucap Tuan Johannes. Sesaat kemudian, baru ia ingat jika meninggalkan anaknya di lokasi air terjun. “Astaga, Luna!” Namun, baru satu detik ia mengucap namanya, Luna sudah mengetuk pintu mobil sambil menyeret dua orang yang menjadi penyebab Nyonya Johannes terjatuh. “Pak … Pak … itu anak saya!” seru Tuan Johannes kepada penjaga air terjun yang duduk di kursi kemudi. Luna segera membuka pintu belakang, bergabung dengan ayahnya di bangku belakang, sambil menangisi ibunya yang masih tidak sadarkan diri. Sementara dua orang penyebab Nyonya Johannes celaka, duduk di kursi depan berhimpitan. Bagaimana lagi? Tidak ada tempat di kursi belakang untuk mereka. Perjalanan dari Air Terjun Tirto Kemanten hingga ke Rumah Sakit Bhakti Husada membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit menggunakan mobil. Jalanan yang mulus, membuat perjalanan terasa lancar hingga ke rumah sakit. Namun keadaan yang panik, membuat waktu terasa sangat lambat. Setiap detik benar-benar berharga. Tuan Johannes tidak sedetik pun melepaskan genggaman tangan dari istrinya. Darah yang ada di kepala Nyonya Johannes terus menetes, membasahi pakaian suaminya. Dua orang yang ikut di kursi depan hanya bisa diam menyesali perbuatan mereka. Luna yang duduk di samping ayahnya pun hanya bisa menangis. Kepalanya terasa pusing, badannya tidak sanggup bergerak. Ia merasa sangat khawatir dengan keadaan Nyonya Johannes. Setibanya di rumah sakit, Nyonya Johannes segera dilarikan ke unit gawat darurat. Semua orang yang mengantarnya hanya bisa pasrah dan berdoa agar tidak terjadi sesuatu yang buruk kepada Nyonya Johannes. Satu menit, dua menit, tiga menit, Tuan Johannes terus saja melihat jam di pergelangan tangan, tubuhnya gemetar tak terkendali. Ia terus menerus melihat ke arah ruangan unit gawat darurat, berharap petugas yang menangani istrinya segera keluar memberikan kabar baik. Tuan Johannes terus mondar mandir di depan pintu ruangan unit gawat darurat, sementara Luna dan dua orang lainnya hanya bisa tertunduk. Air mata yang menetes membasahi pipi Luna, rasanya tidak bisa mengering. Pipinya terus saja basah, hidungnya pun sama. Luna hanya bisa sesenggukan, karena ia tahu jika tidak ada yang bisa dilakukan untuk membantu saat ini. Dua puluh menit berlalu. Petugas kesehatan belum juga keluar dari ruang unit gawat darurat, membuat Tuan Johannes dan Luna semakin khawatir. Dua orang yang menyebabkan Nyonya Johannes celaka pun semakin ketar-ketir, jika sesuatu yang buruk terjadi pada Nyonya Johannes, maka habislah mereka. Beberapa saat kemudian, seorang lelaki yang mengenakan pakaian kesehatan lengkap dengan masker, keluar dari ruang unit gawat darurat. Ia langsung mendatangi Tuan Johannes yang berdiri di depan pintu ruangan tersebut. “Bagaimana istri saya, Dok?” tanya Tuan Johannes cemas. Petugas kesehatan itu melepas masker yang ia kenakan perlahan sambil menghela nafas. Lelaki itu menggeleng lemah, “maaf, Pak, pendarahan di kepalanya sangat parah, tengkoraknya retak, ada gumpalan darah di dalam otaknya. Kami sudah melakukan semampu kami.” “Tapi istri saya selamat kan, Dok?” “Maaf, Pak,” jawab petugas kesehatan itu sambil kembali menggeleng. Seketika, tangis Tuan Johannes pecah. Luna yang dari tadi memperhatikan percakapan antara ayahnya dan petugas kesehatan yang keluar dari ruang unit gawat darurat, sontak berlari dan memeluk ayahnya. Tangisan Luna yang dari tadi tidak berhenti, semakin menjadi-jadi mendengar kabar buruk tentang ibunya. Dua orang ayah dan anak itu saling berpelukan, petugas kesehatan yang ada di depan mereka hanya bisa menepuk pundak Tuan Johannes dengan lembut. Ayah dan anak itu larut dalam tangis duka, kerinduan, dan kehilangan sosok bidadari dan ratu di rumah mereka. Kenapa semua ini begitu cepat? Padahal, hari ini seharusnya menjadi hari bahagia bagi keluarga Johannes. Bahkan sejak pagi, matahari rasanya tersenyum menyambut keluarga Johannes berlibur ke Air Terjun Tirto Kemanten. Tapi sekarang, teriknya matahari semakin menambah panas perasaan Tuan Johannes dan anaknya. Seorang lelaki yang kehilangan cinta sejati, serta seorang anak yang kehilangan sosok panutan yang bisa ia contoh hingga dewasa. Petugas kesehatan yang ada di sana pun tidak berusaha menghentikan tangis yang pecah, ia mencoba mengerti tentang kehilangan yang keluarga Johannes rasakan. Sementara kedua remaja yang duduk di kursi depan ruang unit gawat darurat semakin gemetar, nasib mereka semakin tidak jelas. Apa yang terjadi, bukanlah sebuah kesengajaan. Beberapa saat kemudian, tangis Tuan Johannes berangsur mereda, sementara Luna masih terus meneteskan air mata. Ia menjauhkan tubuh Luna dari pelukannya, lalu ia berjalan cepat menuju ke dua orang remaja yang duduk di kursi depan ruang unit gawat darurat. Dengan sigap, Tuan Johannes mencengkram leher dari remaja laki-laki yang tampak polos, lalu sedikit mengangkat kerah baju remaja itu. “Kamu yang udah bunuh istri saya, kan? Kamu, kan?!” Tuan Johannes benar-benar kehilangan jati dirinya. Ia berteriak di tengah rumah sakit yang sepi, suaranya menggema hingga ke seluruh lorong rumah sakit. “P-Pak ….” Remaja itu berusaha melepaskan cengkraman Tuan Johannes di lehernya. “Pak … jangan, Pak! Pak … jangan!” Remaja perempuan yang juga ikut diseret ke rumah sakit berusaha membantu temannya melepaskan tangan Tuan Johannes. Luna yang ada di depan pintu ruang unit gawat darurat tampak cuek dengan keributan yang terjadi. Ia masih sibuk bersedih, menangisi kepergian ibunya. “Kalau istri saya mati, kamu juga harus mati!” Tuan Johannes mengepalkan tangan dengan keras, lalu ia hendak memukul remaja laki-laki di depannya. “Pak … Pak … Pak … jangan, Pak! Ini rumah sakit, Bapak gak boleh bikin keributan di sini!” Dua orang petugas keamanan tiba-tiba datang melerai. Salah satu di antara mereka menahan kepalan tangan Tuan Johannes dan menyeret tubuhnya menjauh dari remaja laki-laki di depannya, sementara satu petugas lain berdiri tepat di depan Tuan Johannes, menghalangi pandangannya dari remaja laki-laki tersebut. Tuan Johannes segera diseret menjauh dari ruang unit gawat darurat, sementara remaja laki-laki yang ada di sana langsung lunglai hingga tubuhnya menghantam kursi dengan keras. “Kamu gak apa-apa?” tanya petugas keamanan sambil memeriksa anggota tubuh remaja tersebut. “Eng-enggak, Pak, gak apa-apa,” jawab remaja itu. Petugas keamanan melihat ke sekeliling dan menyadari jika ada sesuatu hal buruk yang terjadi di sini. “Kalian semua ikut ke pos, ya? Kita selesaikan masalah ini di sana,” ucap petugas keamanan. Remaja laki-laki dan perempuan yang duduk di kursi saling berpandangan, lalu menghela nafas panjang dan mengangguk perlahan. Dengan langkah kaki yang lemas, akhirnya mereka berdua mau menuruti perkataan petugas keamanan dan berjalan ke pos keamanan. Luna pun mengikuti langkah mereka dengan tangis yang masih belum mereda. Di dalam pos keamanan, dua petugas yang sedang berjaga, bertanya tentang apa yang sedang terjadi. Tuan Johannes pun menjelaskan secara rinci, kejadian yang menimpa Nyonya Johannes di Air Terjun Tirto Kemanten. Dua petugas keamanan yang mendengar kisah itu merasa terenyuh, mereka tidak tahu jika kejadiannya sepilu itu. Dua petugas keamanan berusaha menjadi mediator di antara Tuan Johannes dan kedua remaja itu. “Pak, kita tahu Bapak sedang merasa sangat kehilangan. Tapi kita mohon, Bapak jangan terburu-buru mengambil keputusan. Jangan sampai apa yang Bapak putuskan justru berakibat buruk karena termakan emosi,” ucap salah satu petugas keamanan berusaha menenangkan Tuan Johannes. “Oke,” jawab Tuan Johannes dengan suara gemetar. “Sekarang gini, kalau kejadian ini menimpa keluarga Bapak, apa Bapak masih bisa tenang?” tanya Tuan Johannes kepada kedua petugas keamanan, yang membuat keduanya seketika tertunduk, tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan kepada mereka. “Ya sudah, maafkan saya, Pak. Jadi maunya Bapak gimana ini?” sahut petugas keamanan. “Saya mau, kasus ini dilanjutkan ke polisi!” jawab Tuan Johannes. Dua remaja yang duduk di pos keamanan seketika langsung berlinang air mata. “Pak, jangan, Pak! Kita gak sengaja, Pak! Tolong jangan, Pak!” Kedua remaja itu langsung memohon-mohon. Remaja laki-laki yang menyebabkan Nyonya Johannes celaka bahkan langsung bersujud di hadapan Tuan Johannes, tapi hal itu tidak membuat pria yang baru saja kehilangan cinta sejati itu bergeming.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN