Lolongan Serigala

1717 Kata
Malam gelap di kaki Gunung Gumitir terasa sangat mencekam. Luna, gadis polos nan ayu itu sedang tenggelam di alam mimpi saat hembusan angin dingin yang tidak wajar, berusaha menerobos jendela rumah yang terkunci rapat, melindungi jiwa dan raga gadis itu dari gangguan malapetaka yang ada di luar. Hari ini, tepat tanggal lima belas pada kalender bulan, bertepatan dengan bulan purnama yang menjadi tanda kenaikan energi-energi mistis yang menyelimuti Hutan Agnisaga. Lolongan serigala yang tiba-tiba terdengar ketika tepat pukul satu dini hari, membuat Tuan Johannes yang hampir tertidur, kembali membuka mata karena khawatir dengan keadaan lingkungan di sekitarnya. Terlebih, serigala bukanlah hewan endemik wilayah Gunung Gumitir. Sejak Tuan Johannes pindah ke tempat ini lima belas tahun yang lalu ketika Luna masih berusia enam tahun, baru kali ini ia mendengar lolongan serigala dengan jelas. Tuan Johannes segera beranjak dari tempat tidur perlahan, takut membangunkan Nyonya Johannes yang tampak terlelap di dalam mimpi. Tetapi dasar Nyonya Johannes yang mudah peka jika ada sesuatu yang tidak beres, baru sedikit Tuan Johannes bergerak, Nyonya Johannes sudah membuka mata. "Emhhh … mau ke mana, Yah, malem-malem gini?" ucap Nyonya Johannes yang berusaha mengumpulkan nyawa, lalu menegakkan posisi badan yang semula berbaring, menatap Tuan Johannes yang sedang merapikan ikat pinggang di celananya. "Enggak, Bu, cuma mau ke kebun sebentar, patroli," sahut Tuan Johannes berbohong agar tidak membuat istrinya khawatir. Kejadian yang menimpa desa hari ini, cukup memberikan trauma yang mendalam bagi Nyonya Johannes dan para istri lainnya, karena takut suami mereka pulang dalam keadaan tidak selamat. "Yah, kenapa gak besok aja? Sekarang udah malem banget loh. Ibu gak mau Ayah kenapa-kenapa di luar," keluh Nyonya Johannes sembari bangkit dari tempat tidur, ikut berdiri di belakang suaminya yang sedang mengenakan jaket tebal. "Apa sih, Bu? Gak apa-apa, orang Ayah cuma ke kebun aja loh," sahut Tuan Johannes. Sejatinya, malam ini Tuan Johannes ingin memeriksa lolongan serigala yang baru ia dengar. Tetapi jika sampai Nyonya Johannes mendengar yang sebenarnya, maka bisa dipastikan jika Tuan Johannes akan dikurung malam ini. "Yah … Ayah tahu kan kalau hari ini desa kita sedang berkabung? Ayah jangan keluar malem-malem deh, kita semua khawatir, Yah! Aku gak mau ya, ada korban-korban lain yang berjatuhan. Hutan Agnisaga sedang minta tumbal, Yah … bukan hanya aku, para istri yang lain juga gak pengen suaminya keluar tengah malem kayak gini di situasi yang masih belum pasti kayak sekarang!" Nyonya Johannes menyerocos panjang, membuat Tuan Johannes merasa bersalah karena berbohong kepada istrinya. Namun meski begitu, rasa khawatirnya terhadap kebun dan keselamatan desa lebih tinggi, ia tetap bersikukuh tidak mengatakan hal yang sebenarnya kepada Nyonya Johannes. Tuan Johannes menghela nafas panjang, kemudian berjalan mendekati Nyonya Johannes dan memeluknya erat. "Aku gak akan kenapa-kenapa, Bu … aku janji. Aku cuma mau periksa kebun aja, gak lebih. Habis itu, aku bakal segera pulang kok," ucap Tuan Johannes lembut, berusaha membuat istrinya tenang. Nyonya Johannes membalas pelukan suaminya dengan dekapan yang tidak kalah erat. Suara dan perkataan Tuan Johannes memang membuatnya merasa lebih tenang. Tapi entah, ada debaran aneh di jantungnya yang tidak bisa dijelaskan. Rasa khawatir di kepalanya, tidak kunjung menghilang meski Tuan Johannes sudah berusaha meyakinkannya. "Ayah ..." "Hemmm ..." "Ayah tahu kan kalau firasat wanita itu kuat, kan?" "Lalu?" "Firasatku mengatakan, sesuatu yang buruk bakal terjadi kalau Ayah keluar malam ini." "Gak bakal ada apa-apa, Bu, orang cuma ke kebun kok." "Yah … aku mohon, malam ini aja, dengerin apa yang aku bilang, jangan batu …" Tuan Johannes hanya bisa menghela nafas panjang ketika mendengar istrinya merengek di dalam pelukan. Ia merasa galau, apakah harus melawan perkataan istrinya dan tetap pergi ke kebun? Atau berpura-pura menuruti permintaan istrinya namun pergi diam-diam? Atau terpaksa harus menuruti perintah Nyonya Johannes yang memeluknya semakin erat? Setelah berpikir panjang, akhirnya Tuan Johannes mengembalikan jaket yang ia kenakan ke gantungan lemari, serta melepas kembali pakaian rapinya dan berganti dengan pakaian tidur yang nyaman. Tuan Johannes kemudian naik ke tempat tidur, disusul oleh Nyonya Johannes yang tersenyum lega melihat suaminya mau mendengar perkataannya malam ini. Hari berganti, matahari pagi telah menyingsing, dibarengi dengan hewan-hewan yang juga mulai terbangun dari tidur mereka. Dering jam berbunyi nyaring, membangunkan putri dewasa kecil yang nyaris tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Pikirannya mengalir jauh karena kematian dua orang kemarin. Sama seperti warga lain, Luna pun mengetahui tentang mitos yang berkembang mengenai Hutan Agnisaga. Tentang hutan belantara yang menyesatkan orang jahat yang berusaha mengambil harta karun Kerajaan Agnisaga, tentang monster buas yang menjaga harta karun tersebut, serta tentang roh leluhur yang meminta tumbal dalam rentang waktu dua tahun sekali. Tuan Johannes sudah sering berkata kepada Luna jika hal itu hanyalah mitos, tidak ada yang namanya hutan mencari tumbal. Tetapi kepercayaan warga sekitar, serta desas desus yang semakin diperkuat dengan bukti yang ia lihat sendiri, membuat Luna merasa tidak tenang. Bagaimana jika ia menjadi tumbal selanjutnya? Bagaimana jika ayahnya yang menjadi tumbal? Atau bahkan ibunya? Pikiran-pikiran buruk itu membuat Luna terbangun pada pukul dua dini hari dan tidak bisa tidur lagi. Meski matanya terpejam, otak Luna masih tetap berpikir yang tidak-tidak, membuatnya tetap sadar hingga alarm berbunyi. Luna bergerak dengan malas mematikan alarm, lalu berjalan sempoyongan ke bawah, menuju ke ruang makan. Kantung mata yang terbentuk, menjadi bukti nyata bahwa Luna benar-benar tidak tidur semalaman. Beruntung, Luna tidak mendengar lolongan serigala yang berbunyi tepat pada jam satu dini hari. Jika saja gadis itu mendengar, ia pasti semakin tidak bisa tidur dengan tenang. Dengan keadaan kepala yang terasa pusing dan berputar karena dikuasai rasa kantuk namun tetap terjaga, Luna menoleh ke kanan dan kiri, mencari keberadaan ayahnya. "Ayah mana, Bu?" ucap Luna sambil celingak-celinguk. Nyonya Johannes yang sedang bersantap pagi dengan murung, hanya menghela nafas mendengar pertanyaan anaknya. Memang tidak bisa dipungkiri, kehadiran Tuan Johannes di meja makan saat pagi hari, seakan menjadi ritual wajib di keluarga Johannes. Jika salah satu dari tiga anggota keluarga kecil itu absen ketika sarapan, rasanya seperti ada sesuatu yang tidak lengkap. "Ayahmu ke kebun, sejak semalam Ayahmu itu ngeyel pengen pergi ke kebun, tapi Ibu cegah," sahut Nyonya Johannes sambil menekuk wajah. Luna yang menyadari keanehan pada ibunya, akhirnya menghentikan aktivitas menyendok nasi. Padahal, ia baru saja meletakkan satu centong nasi ke piring di depannya. "Ibu kenapa? Kok murung? Masih kepikiran soal kemarin?" Nyonya Johannes menggeleng pelan. "Enggak, Lun, Ibu cuma khawatir. Semalam, ayahmu itu ngeyel pengen pergi ke kebun sendirian. Ibu takut, ada sesuatu yang gak enak di pikiran Ibu. Ibu khawatir, ayahmu jadi korban selanjutnya dari keganasan Hutan Agnisaga." "Hahhh …." Luna mendesah pelan. "Ibu sama Luna mikirin hal yang sama ternyata. Luna juga khawatir, Bu," sahut Luna lemas. Akhirnya dua orang wanita cantik penghuni rumah mewah di tepi hutan itu melanjutkan aktivitas sarapan dengan wajah murung dan penuh rasa takut. Luna menyantap sarapan yang telah dibuat oleh ibunya dengan malas, begitu juga dengan Nyonya Johannes yang hanya termenung di meja makan. "Tuan Johannes … Tuan Johannes …." Seorang warga berteriak sambil berlari tertatih menghampiri Tuan Johannes yang sedang termenung sambil menatap kebun teh miliknya dengan tatapan kosong. Pikiran Tuan Johannes melayang ke malam sebelumnya. Ia masih saja tidak habis pikir dengan suara lolongan serigala yang terdengar jelas. Jika mengingat bahwa Hutan Agnisaga bukanlah habitat yang untuk serigala, berarti suara yang terdengar semalam bukanlah serigala. Mungkinkah anjing hutan jenis lain? Atau jangan-jangan … tidak mungkin itu adalah monster yang biasa disebut-sebut oleh para penduduk, bukan? "Eh … Slamet? Ada apa, Met?" jawab Tuan Johannes kepada warga yang membuyarkan lamunannya. Slamet tampak terengah-engah, wajahnya terlihat sangat panik. Apa gerangan yang terjadi? "Itu, Tuan … itu …," sahut Slamet dengan nafas memburu sambil menunjuk-nunjuk ke belakang. Menyadari jika sepertinya apa yang sedang terjadi adalah sesuatu yang gawat, Tuan Johannes tidak bertanya lebih lanjut kepada Slamet. Tuan Johannes juga tidak meminta Slamet untuk menenangkan diri, justru dirinya lah yang terbawa panik. Tuan Johannes segera menyeret Slamet, untuk menunjukkan tempat di mana terjadi sesuatu tersebut. Keluar dari lokasi perkebunan, tampak para warga sedang berkumpul di kawasan makam. "Permisi … permisi … Tuan Johannes mau lewat!" seru Slamet mempersilakan Tuan Johannes menerobos di antara gerombolan manusia. Serentak para warga langsung menyingkir, memberikan jalan kepada salah satu orang yang dihormati oleh seluruh warga tersebut. Nafas Tuan Johannes tercekat begitu melihat apa yang menjadikan para warga berkumpul di kompleks pemakaman. Tuan Johannes berbalik, menatap para warga yang menyaksikan tragedi tersebut dengan wajah khawatir. "Bisa ceritakan apa yang terjadi ke saya?" tanya Tuan Johannes. Aji yang berdiri di tengah-tengah para warga, mengangkat tangan. "Maaf, Tuan, tadi saya yang nemuin kejadian itu. Tapi, saya gak tahu apa-apa, Tuan. Pas saya lewat tadi, udah seperti ini," ucap Aji sambil sedikit menunduk, menunjukkan rasa hormatnya kepada Tuan Johannes. Meski sebenarnya saat di belakang, ia juga salah satu orang yang julid kepada Tuan Johannes, namun saat di depan orangnya langsung, Aji tidak memiliki untuk mengucapkan apa yang sebenarnya ia rasakan kepada Tuan Johannes. Di belakang punggung Tuan Johannes, terdapat makam dari warga yang kemarin menjadi korban dari Hutan Agnisaga. Kuburan yang masih basah itu, kini porak poranda. Tuan Johannes berbalik, menatap kuburan yang telah dirusak tersebut. Tuan Johannes berjongkok, memeriksa dengan teliti apa yang terjadi pada makam tersebut. Di atas tanah yang menguruk jenazah warga tersebut, terdapat telapak kaki dan bekas goresan dari cakar hewan liar yang menggali ke bawah makam. Tanah yang ada di situ pun tampak sangat berantakan, terdapat lubang besar seukuran tubuh manusia. Tuan Johannes berdiri, lalu ia meminta tolong kepada para warga untuk mengambil cangkul. Slamet segera berlari meninggalkan kerumunan warga. Tidak lama setelah itu, ia kembali dengan membawa cangkul yang diambil dari rumahnya. "Ini, Tuan," ucap Slamet sambil menyerahkan cangkul di tangannya. Dengan sigap, Tuan Johannes segera menggali tanah kuburan warga yang masih basah. Kuburan yang masih baru, membuat tenaga yang dibutuhkan untuk menggalinya tidak terlalu besar. Tuan Johannes bisa dengan mudah menggali hingga ke bawah. Betapa terkejutnya Tuan Johannes dan para warga saat melihat jika papan kayu yang menutup jenazah di bawah tanah itu telah rusak. Tuan Johannes segera berdiri sambil tetap berada di dalam liang lahat, "Met, Ji, sini, bantuin saya!" Aji dan Slamet saling berpandangan sejenak, lalu dengan sigap mereka berdua ikut turun ke dalam liang lahat. Diambilnya satu persatu papan kayu yang menutupi jenazah dan terlihat di sana jika kuburan itu telah kosong. Jenazah yang seharusnya ada di sana, menghilang entah ke mana. Tuan Johannes, Aji, dan Slamet saling tatap di dalam liang lahat, tidak percaya jika jenazah yang ada di kuburan itu telah dicuri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN