Langit Kelabu Agnisaga

1767 Kata
Arghhh … Gelap … Lama sekali … Sudah berapa abad ini berlangsung? Manusia … Raja Agnisaga … aku akan membalas dendam kepadamu! "Ayo, Pak, kita angkut mereka," perintah Tuan Johannes kepada para warga yang bergotong royong membawa kantong jenazah berisi korban dari keganasan Hutan Agnisaga. Para warga pun kini berbondong-bondong berjalan menyusuri hutan, sebelum gelap tiba. Karena saat gelap, Hutan Agnisaga seakan berubah menjadi wahana mistis yang penuh dengan aura negatif. Gelap, mencekam, dan membuat siapapun yang ada di dalamnya lari terbirit-b***t. Saat ini, matahari memang masih bertengger kokoh di atas kepala. Namun, rindangnya pepohonan pinus yang ada di sekeliling, serta minimnya polusi udara di dalam hutan, membuat udara di sekitar tidak terasa panas, bahkan cenderung sejuk apabila dibandingkan dengan suasana pinggiran Kota Kalibaru. Semua warga yang memasuki hutan bersama Tuan Johannes berjalan dengan hati-hati, melewati jalan setapak yang licin dan berembun, hingga mereka mulai terlihat oleh Luna yang menunggu sambil bersandar di jendela kamarnya yang ada di lantai atas. Mata Luna berbinar melihat betapa gagah Tuan Johannes memandu seluruh warga yang ikut masuk ke dalam hutan, namun seketika berubah sendu saat melihat dua kantong jenazah yang ikut dibawa keluar dari hutan. "Ibu … Ayah sudah pulang!" teriak Luna sambil berlari ke luar rumah. Suara langkah kaki yang keras, serta teriakan cempreng dari gadis yang tidak ingin dianggap dewasa itu, berhasil membuat telinga Nyonya Johannes yang sedang sibuk di dapur terasa penuh. Memang, jika tidak ada Luna, maka rumah akan terasa sangat sepi. "Luna … pelan-pelan!" sahut Nyonya Johannes sambil mencuci tangan, lalu ia ikut berjalan ke depan, menghampiri Tuan Johannes dan para warga yang sedang menurunkan kantong jenazah tepat di depan rumahnya. Saat tiba di depan rumah, hati Luna dan Nyonya Johannes merasa teriris melihat dua kantong jenazah yang dibawa oleh para warga. Nyonya Johannes hanya menggenggam tangannya sendiri, dengan mata yang berkaca-kaca. Sedangkan Luna, gadis belia itu mematung di depan pintu sambil melihat wajah lelah dari para penduduk desa yang tidak berhasil membawa orang asing itu pulang dengan selamat dan bahkan ada satu orang di antara para warga yang gugur. "Pak Agus, sampean bawa mobil saya, terus bawa jenazah orang asing ini ke Rumah Sakit Bhakti Husada, terus nanti sampean ke Polsek Kalibaru buat laporan. Bilang aja sama penyidik, kalau Pak Agus disuruh sama saya," perintah Tuan Johannes. "Baik, Tuan," jawab Pak Agus sambil membungkukkan badan. "Ayo, Ji, Met, ikut aku! Bantuin bawa jenazah ini," ajak Pak Agus kepada dua orang yang ada di sebelahnya. Pak Agus pun segera berlari ke samping rumah Tuan Johannes dan menghidupkan mobil yang terparkir di sana. Tidak lama kemudian, dua orang yang diajak oleh Pak Agus segera mengangkat jenazah orang asing yang sembarangan masuk ke dalam Hutan Agnisaga beserta kantong yang membungkusnya ke kursi barisan tengah mobil tersebut. Pak Agus pun segera melaju meninggalkan perkebunan teh yang terletak di sebelah Hutan Agnisaga. "Bapak-bapak, untuk jenazah saudara kita ini, segera kita antar saja ke rumahnya. Ayo, Pak!" perintah Tuan Johannes yang segera dituruti oleh warga lain dengan mengangkat jenazah yang tersisa dan membawanya berjalan kaki menuju ke kediamannya. Di perjalanan mengantar jenazah orang asing ke Polsek, jalan yang dilalui oleh Pak Agus tidaklah mulus. Pembangunan infrastruktur yang belum merata, membuat banyak jalan di wilayah perkebunan teh masih berlubang. Terkadang, warga berinisiatif untuk menambal lubang jalan menggunakan semen, namun itu hanya bertahan sementara. Sayangnya, baik pemerintah pusat maupun daerah, belum ada yang menyentuh daerah tersebut. "Ngomong-ngomong, Pak Agus, kok hari ini masih ada ya, orang yang nekat masuk ke Hutan Agnisaga? Padahal rumor kalau hutan itu angker kan udah nyebar sampe ke mana-mana," ucap seorang warga bernama Slamet yang duduk di sebelah Pak Agus yang sedang mengemudi. "Itulah, Met, makanya kita sendiri yang repot sekarang kalau ada korban kayak gini. Iya toh?" jawab Pak Agus dengan nada kecewa. Wajahnya tampak takut dan khawatir, mengetahui jika hutan terlarang di desanya menjadi incaran bagi orang asing yang tamak. "Tapi untung loh, Met, kita punya Tuan Johannes. Kalau enggak, entah siapa yang menggerakkan warga buat cari korban di hutan," lanjut Pak Agus. "Gimana lagi, Pak Agus? Kita warga juga takut kalau masuk hutan! Tadi aja udah ada korban lagi toh? Coba kalau Tuan Johannes gak nyuruh kita masuk hutan. Pasti masih selamat itu temen kita," celetuk warga bernama Aji yang duduk di bangku paling belakang. "Heh Ji, jangan gitu! Gimanapun ini kewajiban warga buat cari korban! Lain kali kalau ada orang masuk hutan lagi, kita harus lebih hati-hati. Tapi semoga gak ada orang nekat masuk hutan lagi lah …," protes Pak Agus yang merasa jika perkataan Aji mulai menyinggung Tuan Johannes. "Sampean itu kelihatan banget kalau belain Tuan Johannes terus ya, Pak Agus?" celetuk Slamet. "Iya nih, mentang-mentang jadi orang kepercayaannya Tuan Johannes, jadi menjilat terus nih Pak Agus," sahut Aji. "Kalian ini kenapa sih? Kok tiba-tiba sensi sama Tuan Johannes?" Pak Agus tampak semakin tidak terima dengan ucapan Slamet dan Aji. "Gimana ya, Pak Agus? Bagi kita tuh, Tuan Johannes gak lebih dari sekadar pengepul daun teh. Apalagi, Tuan Johannes itu bukan warga asli desa kita. Bagiku ya, Pak, Tuan Johannes itu cuma mau memanfaatkan desa kita aja," sahut Slamet dengan wajah kesal. Entah curahan hati apa yang ia simpan terhadap orang sebaik Tuan Johannes, entah juga ada gosip apa yang menyebar di desa tentang Tuan Johannes hingga Slamet mengatakan hal pedas semacam itu. "Pedes banget ya omongan kalian? Kalian itu harusnya berterima kasih sama Tuan Johannes, Beliau itu yang membantu warga desa melobi pengusaha-pengusaha di luar daerah biar bisa ambil teh dari kita. Selain itu, Tuan Johannes itu tahu tentang aturan-aturan yang kita wong cilik ini gak tahu. Tentang polisi lah, hukum lah, pajak lah, kita ini kan gak tahu soal hal-hal kayak gitu. Dan akhirnya apa sekarang? Desa kita lumayan maju toh? Kita gak usah susah cari pembeli buat daun teh," terang Pak Agus membuat Slamet dan Aji terdiam. Tanpa sadar, perbincangan mereka telah mengantar tiga orang beserta satu jenazah itu ke Rumah Sakit Bhakti Husada milik PTPN. Dengan sigap, Pak Agus, Slamet, dan Aji segera berlari masuk dan meminta tolong kepada petugas kesehatan untuk memeriksa jenazah yang mereka bawa. Selanjutnya, tiga warga desa lereng Gunung Gumitir itu segera melaju menuju ke Polsek Kalibaru untuk membuat laporan dan permintaan otopsi, sesuai instruksi dari Tuan Johannes. Sementara di kaki Gunung Gumitir, Tuan Johannes dan warga lain yang tersisa, mengantar jenazah warga yang tewas di dalam Hutan Agnisaga ke kediamannya untuk segera disemayamkan. Suasana berkabung menyelimuti perjalanan para warga menuju ke rumah duka. Istri dari korban yang meninggal pun masih belum mengetahui jika suaminya telah tiada. Entah bagaimana reaksi sang istri ketika melihat suaminya yang berangkat demi menyelamatkan orang asing yang seenaknya masuk ke Hutan Agnisaga, harus pulang hanya dengan tubuh tanpa nyawa. Saat tiba di rumah korban, para warga saling lirik dan senggol, tidak ada yang berani mengetuk pintu terlebih dahulu. Tuan Johannes yang berdiri paling belakang, hanya menghela nafas kemudian berinisiatif mengetuk pintu rumah warga tersebut. Satu, dua, tiga kali Tuan Johannes mengetuk pintu, namun tidak mendapat jawaban dari tuan rumah. Para warga kembali saling lirik, "mungkin tuan rumah lagi di kebun, Tuan," seru salah satu warga. Tuan Johannes berinisiatif meminta salah satu warga untuk menjemput istri dari korban ke kebun teh. Namun saat berbalik, rupanya di sana telah berdiri seorang perempuan paruh baya yang sedang berjalan menuju ke arah pintu rumah, sambil memberikan tatapan heran kepada seluruh warga yang berkumpul. "Ada apa toh ini?" ucap wanita yang masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi. "Loh, suamiku mana?" lanjut wanita itu ketika menyadari jika suaminya tidak ada di antara deretan warga yang berdiri di depan rumahnya. Para warga masih belum berani mengungkap kematian dari suami wanita tersebut, bahkan Tuan Johannes pun memilih bungkam. Mereka hanya menunduk, tidak sanggup menatap mata wanita paruh baya yang mulai tampak khawatir. Perlahan, wanita itu menyusuri pandangan ke satu titik, yaitu kantong jenazah yang dibawa oleh para warga. Sontak mata wanita paruh baya itu mengembun. Ia tidak percaya dengan apa yang terlihat. Wanita itu hendak menegaskan kepada para warga, di mana suaminya? Namun ia mengurungkan niat. Bungkamnya warga, bahkan Tuan Jonathan hanya bisa menunduk, mengisyaratkan jika pikiran buruknya adalah benar. Wanita paruh baya itu melangkahkan kakinya perlahan, embun di matanya hampir menetes. Ia menutup mulut dengan telapak tangan, nafasnya mulai terdengar terisak. Satu tetes, dua tetes, air mata mulai jatuh ke permukaan bumi, menyampaikan kesedihan tak berujung dari seorang wanita yang kehilangan cinta sejatinya. Tangis wanita paruh baya itu pecah, air mata mengalir deras di pipi mengiringi kepergian suaminya demi menyelamatkan orang lain. Tidak bisa dipungkiri, Tuan Johannes dan para warga lain pun merasa kehilangan. Deru tangis dari para warga pun mulai terdengar. Meski mereka semua adalah laki-laki, tetapi para warga juga memiliki perasaan, sama seperti wanita paruh baya yang tengah bersimpuh di samping kantong jenazah milik suaminya. Matahari yang mulai bergeser ke arah barat pun, perlahan meredup tertutup awan abu-abu yang tersusun rapi di atas warga yang sedang berkabung, seakan mendukung mereka untuk bersedih. Bukan hanya manusia, langit pun ikut kehilangan sosok pria pemberani yang rela masuk ke dalam goa demi mengeluarkan mayat dari orang asing yang seenaknya masuk ke Hutan Agnisaga. Sore itu, ditemani hujan yang turun lebat, para warga saling bahu membahu mengadakan ritual pemakaman sekaligus penghormatan terakhir kepada warga yang gugur dalam tugas. Istri dari pria itu tidak henti-hentinya meneteskan air mata, meski berkali-kali derasnya hujan menghapus kristal-kristal air yang menjadi saksi tulusnya cinta kasih dari perempuan itu kepada suaminya. Kematian dari seorang warga desa, seakan memberikan peringatan, bahwa jangan sampai ada orang yang berani macam-macam dengan Hutan Agnisaga. Hutan yang menjadi saksi runtuhnya Kerajaan Agnisaga, menyimpan banyak misteri yang membuat siapapun bergidik ngeri ketika mendengarnya. Bisa jadi, para warga yang menjadi saksi kematian pria itu, menganggap apa yang terjadi adalah sebuah kecelakaan. Tapi tidak bisa dipungkiri, beberapa warga berpikir jika kematiannya adalah sebagai tumbal untuk penghuni hutan. Bagaimanapun, setiap orang tidak akan pernah mengerti apa yang ada di dalam pikiran orang lain. Para warga desa yang kolot itu juga memiliki pemikiran yang sedikit terbelakang, jika dibandingkan dengan Tuan Johannes yang lebih moderat. Para warga berharap, tidak ada lagi orang yang masuk ke dalam hutan, agar tidak lagi ada korban yang jatuh. Tapi tepat di malam hari, lolongan serigala tiba-tiba terdengar nyaring. Meski Hutan Agnisaga memang sebuah hutan belantara, tetapi serigala bukanlah hewan endemik yang menghuni Hutan Agnisaga. Lolongan itu membuat Tuan Johannes terbangun dari tidurnya. Tuan Johannes hendak melihat ke luar, namun dicegah oleh istrinya yang khawatir dengan keselamatan suami tercinta. Kematian seorang warga hari ini, menanamkan rasa trauma yang mendalam kepada Nyonya Johannes. Wanita itu khawatir jika suaminya mungkin akan menjadi korban selanjutnya dari keganasan Hutan Agnisaga. Maka dari itulah, ia mencegah suaminya yang hendak keluar demi memeriksa lolongan serigala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN