GENI 9 - PERCOBAAN

2175 Kata
“Kamu yakin mau pulang sendirian, Mas? Rumah tuh masih rawan banget loh, Mas. Mending jangan pulang sendiri deh, sama aku aja gimana? Aku nggak tega loh kamu pulang sendirian, takut ada apa-apa. Ngajak Pak Slamet ya nanti kalau pengen masuk rumah, Mas. Jangan samakan rumah kita yang dulu sama yang sekarang ya, Mas. Semuanya udah beda. Di sana bukan lagi tempat ternyaman buat kita kembali, ada suatu tembok tinggi yang merubah rasa nyaman kita hilang dari rumah. Pokoknya kalau kamu beneran mau pulang harus ada temennya. Aku ikut aja ya, Mas? Bapak juga kondisinya udah stabil, mamak udah tenang juga. Nggak papa kok aku ikut kamu pulang. Kan cuma bentar doang,” ucap Sekar dengan memegang tanganku. Sejak tadi pagi aku mengatakan ingin pulang, melihat kondisi rumah. Sekar menjadi orang pertama yang terus mengikutiku, dia tak tega aku pulang sendirian. Kondisi bapak dari semalam baik-baik saja, tidak menunjukkan hal yang aneh. Dan itu menjadi alasan terkuat Sekar untuk ikut denganku, ikut pulang. Kemana pun aku pergi dia selalu mengekor, membujukku agar dia bisa ikut melihat keadaan rumah. Terlebih beberapa hari kami berada di rumah sakit ini tidak ada yang menjaga atau pun membersihkan rumah. Tidak mungkin ada yang berani masuk ke dalam rumah, menurut Pak Slamet para tetangga menilai aura rumah kami sudah berbeda. Hanya beliau yang sesekali membersihkan halaman atau pun menyalakan dan mematikan lampu di dalam rumah. “Mas Banyu, Sekar ikut ya? Mamak pasti juga nggak tega loh kamu pulang sendirian, Mas. Aku ikut ya? Kalau ada apa-apa nanti cepet ada temennya, Mas. Kita nggak tau nanti di rumah bertemu sama siapa dan apa aja, nggak bisa ditebak. Semua tuh random yang muncul, Mas. Padahal kamu tau sendiri kita harus bisa mengontrol kemampuan kita dari makhluk itu, biar mereka juga nggak keganggu. Ayo dong, Mas. Sekar boleh ikut ya? Pokoknya boleh, ya? Nggak boleh nolak. Nanti aku yang izin ke mamak, Mas.” Kali ini dia sudah bergelayut di lengan kananku, anak ini jika sudah memiliki keinginan pasti tidak bisa menerima penolakan. Aku hanya bisa pasrah lalu menganggukkan kepala. Berdebat dengan Sekar hasilnya sudah dapat ditebak, aku pasti akan kalah telah dengannya. “Tapi kamu yang minta izin ke mamak, aku nggak mau. Kalau mamak boleh, kamu ikut. Kalau mamak nggak boleh, jangan pernah sampai merayu mamak. Ayo cepet izin ke mamak,” ucapku dengan merangkul bahunya. Kami kembali ke dalam kamar bapak. Kebetulan kami baru saja keluar membeli sarapan, bapak minta bubur ayam. Padahal yang aku ingat bapak nggak pernah suka sarapan dengan yang namanya bubur ayam, tapi entah untuk pagi ini secara tiba-tiba minta bubur ayam. Mamak duduk di samping ranjang tidur bapak, beliau tengah menyuapi jeruk untuk bapak. Mereka berdua menoleh ke arah kami, lalu senyuman seperti biasanya mamak timbulkan untuk kami berdua. Sedangkan bapak? Beliau malah memalingkan wajahnya seperti tidak mengenali kami berdua, memang akhir-akhir ini bapak tidak seperti bapak yang kami kenal dahulu. Jauh berbeda sekali. Entah apa karena masih terpengaruh dengan si mbak kun atau memang ini adalah salah satu alur dari santet tersebut. Kepalaku sendiri masih penuh dengan tanda tanya, belum mampu menjawab pertanyaan yang timbul di pikiran. Semua ini sangat rumit sekali. Sekar menghampiri mamak dan memeluknya dari belakang, seperti anak kecil biasanya saat merayu ibu mereka. “Mak, aku ikut Mas Banyu pulang ya? Aku pengen lihat kondisi rumah. Mamak nggak papa kan kalau di rumah sakit sendirian? Nanti kalau ada apa-apa langsung telpon aku aja, kita pasti langsung pulang kok. Boleh kan aku ikut Mas Banyu pulang, Mak?” Mamak tersenyum lalu menganggukkan kepala perlahan. “Hati-hati ya di jalan. Kalau ada apa-apa langsung panggil Pak Slamet ya. Kalian cuma berdua aja, mamak juga jadi khawatir. Pokoknya kalau ngerasa ada yang nggak beres langsung balik aja ke rumah sakit ya. Mas Banyu, Sekar dijaga dengan baik ya. Kalian berdua hati-hati ya?” Aku menganggukkan kepala. Tanganku masih sibuk memasukkan dompet dan beberapa barang penting lainnya ke dalam tas kecilku, Sekar hanya membawa ponselnya. Sebelum pergi terlebih dahulu kami mencium tangan mamak dan bapak. Beliau pun mencium pipi kami bergantian. Tapi bapak malah acuh saat aku mengulurkan tanganku, beliau malah seolah tidak mengenal kami. Sekar menyenggol pinggangku lalu ku tarik kembali tanganku. Kami hanya tersenyum ke arah bapak, mungkin memang ingatannya terganggu sampai melupakan kami sebagai anaknya. “Kami pamit ya, Mak. Kalau ada apa-apa langsung telpon aja ya,” ucapku sambil menutup pintu kamar ini. Sekar berjalan di sampingku sambil menatap lurus ke depan, dahinya sudah penuh dengan kerutan tajam. Pasti dia tengah memikirkan sesuatu dan tidak mungkin jauh-jauh dari permasalahan bapak. Perubahan sifat bapak memang terlalu berubah derastis. “Bapak kenapa ya, Mas? Kok makin hari makin beda banget gitu. Jadi takut deh. Berasa bukan bapak yang biasanya kalau kita mau pergi berdua selalu bilang ‘hati-hati ya, Banyu, adiknya dijaga’. Saat cium tangan aja malah melengos gitu. Siapa sih yang buat bapak jadi kayak gini? Kalau bener ini pelakunya cuma satu, sumpah kebangetan banget deh. Kok tega banget. Aku nggak bakalan maafin itu pelaku, pokoknya apa yang dirasakan bapak harus dia rasakan juga.” Sekar mengepalkan tangannya kuat. Dia tipe pedendam sekali. Sakit harus dibalas sakit yang setimpal, nyawa pun juga harus dibalas nyawa. “Makanya hari ini aku pengen pulang. Aku suatu hal yang pengen tak cari di rumah, Dek. Pasti di lingkungan rumah kita ada suatu hal yang mencurigakan. Tadi mas udah bilang ke Pak Slamet kalau mau pulang dan cari bungkusan di pekarangan rumah, beliau katanya juga bakalan mau bantu. Ya semoga aja ketemu. Biar kita bisa hidup seperti biasa lagi.” Sekar menganggukkan kepalanya meski tidak paham dengan barang yang ku maksud tersebut. Dia hanya manut dan pastinya akan terus penasaran dengan apa pun yang sedang aku lakukan. “Oh iya, Mas, kuliahmu gimana? Kamu nggak mau balik ke Malang lagi? Bapak udah sembuh loh, paling nanti itu di ruwat sama orang pinter udah sembuh. Nanti kita minta tolong sama ustad juga bisa. Jadi mas bisa balik kuliah lagi di Malang ya. Sayang banget kalau ditinggal terlalu lama, Mas, masuk di sana juga susah banget. Pokoknya mas harus bisa wisuda tepat waktu di kampus.” Sekar menggandeng lenganku, jika tidak ada yang mengenal pasti mengira kami adalah sepasang kekasih. Aku sudah berjanji dengan diriku sendiri untuk terus menjaga adikku dari laki-laki yang tidak bertanggung jawab. ### Sekar menatap sekeliling halaman rumah kami, memang sebagian sudah terlihat bersih tidak ada sampah daun yang berserakan. Tapi tetap saja ada yang janggal dari rumah kami. Pak Slamet keluar dari halaman samping dengan senyuman penuh rekah, wajahnya penuh peluh. Aku yakin yang membersihkan separuh halaman rumah kami adalah Pak Slamet, hanya beliau yang berani keluar masuk ke pekarangan rumah kami. Sekedar membersihkan halaman depan atau pun menghidupkan penerangan rumah. “Eh sudah sampai. Padahal ini baru saya bersihkan kemarin loh, Mas, tapi kok banyak lagi ya. Kalau di lihat-lihat pohon di sini cuma pohon pojok itu, nggak mungkin kan daun keringnya terbang sampai sini. Malah di bawah pohon itu juga keliatan bersih banget.” Pak Slamet menunjuk ke arah pohon mangga di samping halaman. Tidak ada satu pun daun kering jatuh di dekat pohon mangga tersebut, malah terlihat bersih sekali. Bangku yang di sana pun terlihat klimis dan seperti setiap hari di pakai untuk duduk santai. “Biasanya nggak suka tempat bersih loh, kok ini malah bersih banget ya. Beda spesies nih si mbak kun,” celetuk Sekar dengan terkekeh pelan. Aku menyenggol lengannya sambil menatap dia tajam. Pak Slamet pun menatap Sekar dengan ekspresi yang khawatir, maklum saja bila si penunggu tersinggung bisa saja Sekar malah kena imbasnya. “Maaf, maaf.” lanjutnya. Aku menghela napas panjang. Pandanganku menyapu ke segala arah, halaman kami yang biasanya bersih rapi. Sekarang terlihat kusam dan tidak terawat. Banyak rumput liar yang tumbuh menjalar dimana-mana, padahal kalu dihitung belum genap satu minggu kami meninggalkan rumah. Dan sesekali dibersihkan oleh Pak Slamet, tapi kenapa penampakannya sudah seperti satu tahun tidak ditinggali? Apakah rumput di sini lebih subur daripada rumput tempat lain? “Kok bisa secepat ini ya tumbuhnya rumput liar? Padahal belum ada seminggu loh kita di rumah sakit. Makasih loh Pak Slamet sudah membantu kami merawat rumah, coba kalau panjenengan ndak bantu kami sepertinya rumah tambah parah dibandingkan sekarang. Kok terasa rumah ndak ditempati lama ya auranya,” ucapku perlahan sambil duduk ikut mencabuti rumput liar tersebut. Sekar menata ulang pot yang terlihat berserakan dimana-mana, sedangkan Pak Slamet membersihkan ujung halaman. Jika hari ini aku tidak pulang, kasihan sekali Pak Slamet membersihkan ini sendirian. Beliau baik sekali pada keluargaku. “Tumbuhnya rumput ini seperti ndak wajar ya, Mas. Harusnya kalau baru ditinggal seminggu aja belum sampai setinggi ini loh, Mas. Berasa ditinggal setahun ya,” ucap Pak Slamet dengan menggelengkan kepalanya. Semua tanaman bunga milik mama mati. Tidak ada yang tersisa di dalam pot. Bahkan halaman samping hanya tersisa kursi dan pot yang kosong malah ditumbuhi rumput liar. Semua berubah. Sekar kemudian menatap pintu rumah, dia berdiri lalu berinisiatif untuk masuk memeriksa barang rumah terlebih dahulu. “Mbak Sekar, jangan masuk dulu. Nanti saja. Mending nyapu di dekat Mas Banyu aja ya, rumah itu belum bersih. Biar saya saja yang buka pertama kali.” Aku menoleh lalu menatap Sekar sambil menganggukkan kepala. Pak Slamet pasti ada maksud lain dari ucapannya tersebut. Kami hanya bisa manut, beliau lebih paham dari pada kami berdua. Perasaanku sendiri mengatakan jika di dalam rumah kami terdapat something yang mencurigakan. Sekar mendekatiku dan membawa sapu seperti yang diperintahkan Pak Slamet. “Mas, emangnya ada apa sih di dalam rumah? Ada bahaya ya? Atau ada penghuni baru? Kok aku ngerasa ada yang ngawasi kita terus ya dari tadi, awal kita masuk ke halama ini tuh udah banyak pasang mata yang lihat. Tapi kok di sini nggak ada apa-apa, bener-bener kosong cuma kita bertiga aja yang ada. Emangnya kemampuan kita itu udah nggak berfungsi lagi ya? Pas masuk di sini tuh semua bisikan dan rupa-rupa aneh udah pada nggak kelihatan, padahal harusnya di sini tuh banyak banget. Aku aja ngerasa di bawah pohon itu banyak yang lagi main, cuma kok nggak nimbus ya sekarang.” “Aku juga nggak tau, Dek. Tapi emang ada yang nggak beres dari rumah ini, soalnya aku sendiri juga gitu. Nggak bisa melihat mereka. Padahal aku juga yakin kalau di rumah ini nggak cuma satu dua aja, pasti udah ribuan. Lihat aja ulahnya udah kayak gini, paling udah beranak pinak di sini. Pokoknya nanti kita tunggu instruksi Pak Slamet aja, Dek. Beliau yang tau semuanya. Sepertinya juga beliau masih bisa melihat mereka di sini,” jawabku lirih. Kami lalu menjalankan tugas masing-masing agar cepat selesai, mumpung matahari belum terlalu menyengat kulit. Jalanan di depan rumah terasa lengang sekali, bahkan biasanya tetangga samping rumahku sering menyapa saat kami keluar maupun pulang ke rumah. Untuk hari ini tidak ada satu pun yang berani menyapa kami. Memangnya wajahku dan Sekar berubah menyeramkan? Atau bagaimana? Benar-benar sangat meresahkan. Mereka pun seolah menghindar dari keluarga kami. Aku rasa hanya Pak Slamet yang masih mau menerima kami dengan baik. Beliau tinggal sendiri, kebetulan rumah kami bersebelahan. Dan semoga saja hubungan baik kami terbina sampai nanti. Tak terasa dua jam telah berlalu, halaman rumahku sudah enak dipandang mata daripada sebelumnya. Lebih baik. Baju sudah basah, apalagi dengan dahi dan wajah yang sudah seperti habis mencuci wajah. Semua basah. Pak Slamet mengajak kami istirahat dan membuka pintu rumah. Sebenarnya aku tidak terlalu ingin masuk ke dalam rumah itu, tapi masih ada hal yang harus aku cari di dalam rumah ini. Aku yakin sekali ada sesuatu yang tersimpan di dalam rumah. Menurut artikel yang aku baca, media yang digunakan mereka tidak lepas dari barang pribadi milik korban. Dan biasanya di tanam di pekarangan rumah korban pula. Aku harus memastikan jika rumah ini bersih dari hal tersebut, tapi pikiranku beripikiran sebaliknya. Ada hal yang mencurigakan di halaman samping dan belakang. Mungkin Pak Slamet belum terlalu ngeh dengan hal tersebut. Beliau sudah berdiri di depan pintu dan mengadahkan kedua tanganya sepertinya tengah membacakan doa-doa. Memastikan kami baik-baik saja berada di dalam rumah tersebut. Jadi membukanya pun harus didoakan terlebih dahulu. “Ayo masuk.” Pak Slamet memutar kunci tersebut perlahan dan sekarang membuka pintu rumahku lebar-lebar. Kami berdua menyusul beliau dari jarak yang lumayan jauh. Penampakan di dalam rumah tak jauh beda dengan halaman di depan, semua kotor sekali. Debu dimana-mana, sarang laba-laba pun sama bahkan banyak kecoa besar-besar yang berkeliaran layaknya sudah menjadi habitat mereka. Padahal seingatku terakhir aku membuka pintu rumah ini, keadaannya tidak sampai separah ini. Rumah kami sudah seperti rumah satu tahun tidak berpenghuni. Kotor, kusam dan kumuh. “Ini rumah kita, Mas? Kok sampai kayak gini? Ini kok bisa berdebu banget? Astaga, semua jadi berubah banget ya.” Sekar menutup mulutnya sambil menggelengkan kepalanya, tak percaya. “Nanti kita bersihinnya pakai vacuum biar cepet. Kan ada tuh di belakang. Nanti juga bersih lagi kok.” Aku merangkul bahu adikku sambil memberikan rasa semangat untuknya. Tapi sepertinya aku masih harus menunda pencarianku terhadap hal yang ingin ku cari. Masih ada pekerjaan yang tak kalah penting, melihat rumah kami yang berantakan seperti ini membuatku prihatin sekali. Jadi terlebih dahulu membersihkan rumah menjadi prioritas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN