GENI 10 - APA INI?

2053 Kata
Sesuai dengan tujuan awal aku pulang ke rumah, selepas membersihkan semua ruangan kakiku mengajak menuju halaman belakang. Sejak pertama aku tiba di sini, pikiranku selalu terbang ke halaman belakang. Aku penasaran, sebenarnya ada apa di halaman belakang. Apakah di sana ada sesuatu yang tengah aku cari? Pak Slamet dan Sekar membuntutiku, mereka tak mungkin membiarkan aku pergi ke mana pun sendirian. Terlebih Sekar, dia selalu mengekori keman apun aku pergi. Dia takut terjadi suatu hal dengan aku, padahal aku sudah bisa menjaga diriku sendiri. Tapi untuk kali ini dia sampai mengajak Pak Slamet, benar-benar takut bila hanya berdua saja. Aku berjalan di depan, pandanganku menyapu ke seluruh rumputan yang terlihat sudah cepak seperti biasanya. Lalu pandanganku tertuju sebuah gundukan tanah yang sudah kering, mencurigakan. Tak mungkin mamak menanam benih di sini, semua tanaman berada di halaman depan dan samping. Dan ini jelas bukan bekas galian untuk mengubur tikus mati. Aku mengarahkan cangkulku ke gundukan tersebut, dua kali cangkulan ada sebuah bungkusan kain putih terpental ke belakangku. Pak Slamet dan Sekar beristigfar bersamaan. Dugaanku benar. Ini adalah perantara santet yang dilakukan pelaku. Tapi kenapa bisa di tanam di sini? Bagaimana bisa dia masuk dengan pagar tembok setinggi ini? Jelas orang tersebut memiliki akses dengan keluarga kami. “Mas Banyu, ini buhul? Berarti benar ucapan Mbah Kadiran waktu itu, banaspati. Ini jangan dibuka sembarangan, Mas. Biar Mbah Kadiran yang buka. Saya pernah baca, kadang yang buka buhul seperti ini malah kena hal serupa dengan target. Ini kita bawa saja ke Mbah Kadiran. Kita nggak tau apa-apa, Mas, mending diserahkan langsung ke orang yang mengerti.” Aku menganggukkan kepalaku, bungkusan tersebut dipegang oleh Pak Slamet. Lalu Sekar berlari ke dalam rumah mengambilkan plastik hitam yang dia ambil dari dapur. “Siapa ya yang tanam itu di halaman belakang? Kalau orang luar pasti nimbunnya di depan pagar atau di halaman depan. Ini sampai halaman belakang loh. Berarti bukan orang jauh dari kita. Semisal rumah ini kosong atau sepi terus dia datang, masuk tanpa permisi tapi tetangga yang lihat nggak berani menegur itu tandanya dia orang dekat banget. Atau bisa dibilang masih keluarga. Pak Slamet sendiri sebelumnya pernah lihat siapa masuk ke dalam pekarangan rumah ini sebelum akhirnya bapak jadi seperti sekarang?” Aku menatap Pak Slamet, beliau pasti melirik atau paling tidak melihat mobil atau motornya di depan. Beliau menatap depan lurus sambil mengingat kembali, siapa yang terakhir sowan ke rumah kami dan kondisi rumah tidak ada orang. Pak Slamet menghela napasnya lalu menganggukkan kepala, sepertinya beliau mengingat seseorang datang kemari. Mungkin ini menjadi pertanda bagus untuk semakin dekat dengan si pelaku. Aku sendiri semakin dibuat penasaran, apalagi Sekar. Dahi adikku tersebut sudah mengerut tajam, bahkan tatapan yang ia layangkan pun tidak bersahabat pada Pak Slamet. Seolah minta segera menyuarakan siapa orang itu. Tapi Pak Slamet masih terlihat ragu antara ingin memberitahu atau tidak, beliau takut terjadi salah paham di antara keluarga besar kami. Padahal memang dari dulu tidak pernah satu paham. Kami selalu berseberangan dalam hal apa pun. “Tapi saya takut, Mas. Nanti malah kalian menduga-duga, terjadi salah paham. Intinya yang saya lihat itu belum tentu menjadi tersangka, bisa saja memang ke rumah ini karena rindu atau hanya sekedar mampir. Tujuan utamanya sendiri saya tidak paham betul seperti apa,” jawab Pak Slamet dengan raut wajah yang terlihat tersiksa. Sekar memang jago jika disuruh mengintimidasi, aku sendiri saja ketar-ketir dengan dia. Kami meninggalkan halaman belakang, memilih kembali masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu kami duduk saling diam, saling berselancar di dalam pikiran masing-masing. Hingga suara deringan ponselku memecah keheningan ruangan ini, aku membuka ponselku dan tertera nama mamak. Dahiku mengerut kecil, perasaanku mulai tidak enak. Segera ku angkat panggilan tersebut, takut terjadi suatu hal dengan bapak atau pun mamak. “Halo, Mak.” “Balik, Mas. Balik sekarang. Bapakmu kumat.” Aku membulatkan mataku lalu segera ku matikan. Sekar menatapku penuh dengan tanda tanya, begitu pula dengan Pak Slamet. Wajahku berubah menjadi panik dan khawatir. Aku langsung mengambil tas dan kunci motor, Sekar dan Pak Slamet lalu membuntuti. “Ada apa, Mas? Ada apa dengan bapak sama mamak? Sekar ikut,” ucap Sekar di belakangku. Aku menghela napasku lalu menoleh ke arah Sekar dan Pak Slamet. “Bapak kumat.” Sekar lalu memakai helm dan Pak Slamet buru-buru menutup gerbang lalu pergi ke rumahnya. Mengambil motor. Kami akhirnya kembali ke rumah sakit, padahal sebenarnya masih ada beberapa tempat yang belum kami bersihkan dengan benar. Tapi itu bisa kami kerjakan kembali nanti, kondisi bapak menjadi hal yang lebih penting sekarang. Terlebih pikiran dan hatiku sedang tidak fokus, semua memiliki pemikiran masing-masing. Berpencar. Aku pun curiga dengan bungkusan yang kami temukan tadi. Apa gara-gara hal tersebut bapak bisa kembali kumat? Jika iya, aku merasa bersalah sekali. Karena rasa penasaranku membuat bapak seperti ini lagi. Semoga tidak terjadi hal buruk dengan bapak. ### Lorong rumah sakit ini terasa lebih panjang dari biasanya, kakiku sudah berusaha sekuat tenaga berlari tapi entah kenapa masih saja ada belokan lorong di depan. Sekar dan Pak Slamet tertinggal jauh di belakang, aku sudah tidak sabar untuk sampai di ruangan bapak. Aku takut mamak, dokter dan beberapa perawat di sini kualahan menghadapi amukan bapak. Dan benar saja dari dua ruang sebelum ruangan bapak, suara teriakan menggema sampai keluar ruangan. Kakiku terus berlari hingga menerobos masuk ruangan bapak. “Iki rogoku, tekan kapan wae iki nggonaku. Liyane aku ra oleh nganggo. Ngendikane Pak No aku kudu manggon enek kene, iki wes dadi nggonku. Dadi bagianku. Ojo koe kabeh arep misahne aku ambi rogoku!” Mata bapak melotot tajam ke arahku saat pertama kali aku membuka pintu. Kaki dan tangannya sudah di t*i dengan ranjang tidur, hanya kepalanya yang bisa bergerak kesana kemari. Aku berusaha ikut memegang kaki bapak, tapi beliau tambah melotot melihat aku menyentuh tubuhnya. (Ini ragaku, sampai kapan pun ini menjadi milikku. Orang lain nggak boleh memiliki raga ini. Kata Pak No aku harus menetap di sini sampai kapan pun, ini sudah menjadi milikku. Menjadi bagianku. Kamu semua jangan memisahkan aku dengan ragaku.) “Sopo koe? Koe ora usah nyekel aku! Ngalih! Ngalih!” Aku membaca ayat kursi di dalam hati beberapa kali. Tubuh bapak mengelijang, lalu matanya melotot menatapku. Aku yakin jika ini akan berhasil jika diulang terus menerus, Allah pasti akan menolong kami. (Kamu siapa? Kamu nggak usah menyetuh aku! Pergi! Pergi!) “Koe ngalih! Iki rogoku! Koe ora iso misahne aku karo rogo iki! AAARGH!” Tubuh bapak kemudian melemas, aku dapat melihat sebuah bayangan laki-laki bermuka seram menatapku penuh dengan tatapan kebencian. Aku baru menyadari jika di depanku bukan seorang dokter atau pun perawat di sini, melainkan Om Rino. Sejak kapan beliau berada di sini? Dokter dan perawat sudah menyuntikkan obat penenang untuk bapak, mungkin bertahan sampai dua jam ke depan. Mereka lalu berlalu, meninggalkan ruangan ini. (Kamu pergi! Ini ragaku! Kamu nggak bisa memisahkan aku dengan ragaku ini.) Sekar dan Pak Slamet ikut berdiri di sampingku dan tentu saja tatapan mereka jatuh pada Om Rino yang masih memasang wajah datarnya. Mamak terus menangis sambil memeluk tubuh bapak, entah mengapa jika sudah ada Om Rino pasti pikiran dan perasaanku merasa tidak enak. Ada suatu yang janggal. Dan aku sendiri selalu tidak tenang. Beliau nampak menyatukan tangannya, entah apa yang berusaha dibuka dalam sakunya. Mataku terus mengamati setiap pergerakan beliau, aku takut kecolongan dengan kehadiran orang lain di ruangan ini. Meski Om Rino adalah adik bapak, tapi beliau juga patut untuk dicurigai. Sekar kini sudah berada di samping Om Rino, tepat di samping tangan bapak. Dia pasti juga curiga dengan gerak-gerik Om Rino yang begitu meresahkan. Tangan beliau kemudian keluar dari saku, Sekar sudah ancang-ancang untuk mengantisipasi apa pun yang akan terjadi. Pak Slamet menggeserkan tubuhnya menjadi lebih dekat dengan Om Rino, beliau juga ikut menjadi tameng sepertinya paham jika ada yang tak beres dari paman kami ini. Tanganku sebelah mengelus punggung mamak yang bersandar di bahu kiriku, sedangkan yang satu lagi mengusap kaki bapak dengan lantunan ayat-ayat suci. Om Rino mulai tolah-toleh melihat keadaan, ekor mataku terus mengawasinya tanpa beliau sadari. Tangannya tiba-tiba ingin memegang kaki kiri bapak, sejengkal sebelum menyentuh kulit bapak terlebih dahulu dicekal oleh Pak Slamet lalu dihempas begitu keras. Mereka saling adu tatapan tajam, aku hanya berdehem kecil. “Om, mending keluar aja deh. Di sini udah banyak orang kok, lagian bapak udah tidur juga kok.” Om Rino menatapku sengit, ia langsung meninggalkan ruangan tanpa ada sepatah kata pun. Kami menghela napas panjang. Akhirnya kami berhasil menyingkirkan hama dari ruangan ini. Pak Slamet menepuk bahuku sambil tersenyum kecil. “Jangan sampai masuk kembali, Mas. Lihat kan sudah terjadi dua kali. Saya tunggu di depan saja ya, Mas, kalau ada apa-apa langsung panggil saja.” Aku menganggukkan kepala. Masih ada Pak Slamet yang peduli dengan kami dan tentunya dapat kami andalkan. “Mak, kok bisa Om Rino ke sini? Kan kata Mbah Kadiran itu jangan sampai ada orang lain masuk ke dalam ruangan bapak. Kok dikasih izin? Harusnya jangan,” ucap Sekar dengan menatap bapak dan mamak bergantian, raut wajahnya terlihat sangat khawatir sekali. Aku menatapnya lalu menggelengkan kepala perlahan, memberinya isyarat agar tidak terlalu menekan mamak. Sekar menghela napas perlahan lalu menganggukkan kepalanya perlahan. Mamak mulai tenang, tangisannya pun sudah reda. Beliau mengusap air matanya lalu menatap aku dan Sekar secara bergantian. “Mamak tadi ke kamar mandi. Keluar dari kamar mandi Om Rino udah duduk di samping ranjang tidur bapak, tangannya memegang tangan bapak. Setelah itu bapak kejang, terus kerasukan. Mamak nggak tau selama di sini Om Rino ngapain aja sama bapak tapi yang jelas wajah bapak pas mamak keluar udah merah padam gitu. Kalian jangan menyalahkan Om Rino, semua ini belum tentu salah Om Rino. Bisa aja memang banyak yang lagi pengen masuk ke tubuh bapak.” Aku menatap Sekar, dugaan kami semakin mengerucut. Memang Om Rino selama ini tidak pernah beres, beliau patut dicurigai lebih dalam lagi. Sekar berjalan ke arah Mamak lalu memeluknya dari belakang. “Lain kali kalau Om Rino masuk jangan boleh ya, Mak. Pokoknya jangan sampai Om Rino masuk ke dalam ruangan ini. Aku sama Mas Banyu nggak izinin siapa pun masuk ke ruangan ini kecuali kita satu keluarga, Pak Slamet dan Mbah Kadiran. Ini demi bapak, mamak dan kita satu keluarga, Mak. Kali ini aja nurut sama aku dan Mas Banyu ya, Mak. Yang terlihat baik di depan, belum tentu baik pula di belakang. Wajah boleh senyum, tapi hati tidak ada yang tau, Mak.” Mulai dari sekarang aku harus menjaga ruangan ini lebih ketat lagi, baru sebentar ditinggal saja sudah kecolongan. Terlebih mamak orangnya terlalu baik kepada siapa pun, bahkan orang tidak dikenalinya pun bisa dipersilahkan masuk. Mungkin mulai sore ini, aku dan Sekar harus membagi waktu masing-masing untuk menjaga bapak dan mamak. Kejadian ini tidak boleh terulang kembali. Kita tidak tau siapa saja yang berada dipihak kawan atau pun lawan, jadi harus lebih hati-hati lagi. Tak semua yang terlihat baik menjadi pihak kawan, malah terkadang yang berkedok baik akan menusuk secara tajam. “Pokoknya sekarang kita itu harus bisa menjaga diri sendiri, Mak. Ingat ya, semua yang dianggap keluarga atau pun orang terdekat kadang malah menusuk. Om Rino memang adik bapak, tapi belum tentu beliau memiliki niat baik sama kita satu keluarga. Siapa pun yang nanti mau masuk ke ruangan ini harus ada izin dari aku atau pun Sekar ya, Mak. Kita nggak mau kejadian seperti ini terulang lagi. Mulai sekarang kita harus semakin berjaga-jaga,” tambahku dengan memeluk mamak dan Sekar. Kami berpelukkan bertiga. Jika tak saling mengingatkan nanti bisa keluar dari jalur. Tak ada yang peduli dengan kami jika bukan kami sendiri. Tak akan ada yang membantu jika bukan diri sendiri. “Kami bukan menuduh Om Rino, Mak, hanya saja kami cuma berjaga-jaga. Kami takut hal yang tidak diinginkan terjadi sama bapak. Bukankah lebih baik mencegah? Jadi mulai dari sekarang jangan biarkan orang asing masuk ke ruangan ini, terlebih Om Rino. Pokoknya kami mohon banget jangan sampai Om Rino masuk ke dalam ruangan ini, Mak. Sekar sama Mas Banyu mohon banget, jangan izinkan Om Rino masuk.” Mamak menganggukkan kepalanya. Kami hanya bisa menjaga satu sama lain. Dan semoga ini menjadi yang terbaik untuk kami sekeluarga. Bapak segera sembuh dan kembali seperti biasanya. Keluarga kami kembali normal, menjalankan aktivitas semula seperti biasanya. Aku sudah berjanji tidak akan kembali kuliah jika bapak belum kembali pulih dan normal seperti sedia kala. Masa bodoh dengan pencapaianku selama ini, aku lebih mementingkan keluarga daripada pendidikanku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN