GENI 8 - BANASPATI

2061 Kata
Akhir-akhir ini banyak sekali teror yang kami dapatkan, sampai aku dan Sekar bisa melihat makhluk dari alam lain. Aku berharap semua teror ini segera selesai dan bapak kembali sehat seperti sedia kala. Setelah berhasil keluar dari jeratan mbak kun, bapak menjadi banyak bengong dan terkadang tertawa sendiri seperti diajak bercanda oleh seseorang. Padahal aslinya kami sedang tidak membuat lelucon sama sekali. Kondisi kejiwaan bapak menjadi terganggu. Beberapa kali Mbah Kadiran tilik kemari, memastikan perkembangan kondisi bapak. Beliau juga menginginkan kondisi bapak cepat pulih, terlebih bapakku terkena santet yang katanya sulit untuk disembuhkan. Tapi kami satu keluarga berpikiran positif jika bapak masih bisa sembuh seperti sebelumnya. Aku tak paham bagaimana wujud dari banaspati itu sendiri, Mbah Kadiran belum menjelaskan secara gamblang pada kami. Masih ada suatu hal yang beliau sembunyikan, entah itu apa. Mungkin Mbah Kadiran masih ingin membuktikan atau menyakinkan dirinya sendiri atas suatu hal. Aku sabar menunggu penjelasan dari beliau, meski aslinya pikiran dan hatiku sangat penasaran. Apalagi Sekar yang terus memberiku kode minta penjelasan dari semua kejadian ini. Dia tau jika aku mengetahui rahasia tentang kondisi bapak. Dan tidak mungkin lelah untuk menagih cerita padaku. Aku akan menjelaskan semuanya jika sudah mengetahui apa itu banaspati dan seluruh cerita tentang santet tersebut. “Mas, kamu beneran ndak mau cerita ke aku? Udah lama loh aku nungguin kamu cerita, Mas. Aku juga pengen tau keadaan bapak yang sebenarnya tuh gimana. Nggak mungkin ini penyakit dari medis. Apa lagi akhir-akhir ini keluarga kita berasa diteror terus sama makhluk yang kelihatan dan juga kita berdua punya kemampuan khusus yang nggak dimiliki orang lain secara singkat. Ini semua terasa janggal banget, Mas. Nggak mungkin bapak kena sakit mendadak, apa lagi sekarang kondisinya bapak kayak terganggu gitu. Ketawa sendiri, kadang juga marah-marah ndak jelas. Pasti ada hal nggak beres dari semua kejadian yang kita alami, Mas. Kenapa sih ndak mau jujur sama Sekar? Sekar juga pengen tau semua tentang kondisi bapak,” ucap Sekar. Dia menatapku tajam, sangat marah karena segera tak menjelaskan semua kondisi ini. Kami berdua duduk di taman rumah sakit. Sengaja keluar untuk mencari udara segar, hawa baru. “Aku sendiri sampai sekarang juga belum tau pasti. Mas pengen cerita, tapi takut salah. Mbah Kadiran juga belum jelasin lebih detail ke mas. Jadi sampai sekarang nggak tau penjelasan lebih jauh lagi. Mas pasti akan cerita semua ke Sekar kalau udah tau semuanya, tapi sampai sekarang masih zonk.” Aku menghela napas panjang. Tapi kerutan dalam semakin tercetak jelas di dahi Sekar, ini bukan pertanda baik. Jiwa penasaran Sekar tambah semakin menggebu-gebu dan akan terus mendesak untuk memberitau apa yang sedang terjadi. Sangat meresahkan. “Sekar nggak butuh lengkapnya, Mas. Apa yang udah mas tau aja baut Sekar itu cukup. Sekar juga pengen tau semua yang terjadi di rumah kita, Mas. Kalau ditunda terus, kapan Sekar bisa tau? Sekar masih adik kandungmu, Mas, anaknya bapak juga. Kita ini saudara, Mas, kalau lagi ada masalah dalam keluarga harusnya Sekar juga terlibat. Sekar udah gede mas, udah bisa diajak sambat. Mas juga bisa menumpahkan semua keluh kesah ke Sekar. Semua beban sekarang mas tanggung, Sekar juga pengen bantu mas. Tapi, mas nggak pernah percaya sama Sekar.” Dia menatapku dalam, matanya sudah berkaca-kaca. Aku paling tidak bisa melihat mamak, Sekar dan bapak menangis terlebih itu karena aku. Akhirnya ku peluk tubuh Sekar, dia lama tidak berjumpa dengan diriku. Mungkin terselip rindu padaku, tapi tidak berani mengungkapkan. “Mas bakalan cerita sama Sekar. Jangan nangis ya, Dek. Mas kangen banget sama kamu. Jangan sampai nangis ya,” bujukku. Tanganku terus mengusap punggung Sekar, aku tak tega melihatnya menangis dan sedih seperti ini. Jangan sampai dia kecewa padaku. Dia adalah saudaraku satu-satunya yang aku punya. “Mas harus cerita,” pungkasnya. Aku hanya bisa menganggukkan kepala perlahan. Pasrah. Tak ada yang bisa ku perbuat selain manut pada Sekar. Aku sendiri juga tidak bisa menyimpan hal ini terlalu lama lagi, Sekar juga wajib tau kebenarannya. Dan mungkin ini saatnya, waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Aku menghela napasku panjang. “Bapak itu bukan kena penyakit medis, Dek. Menurut Mbah Kadiran, bapak itu, kena santet.” Aku menoleh ke arah Sekar, dia juga sedang menatap ke arah ku. Dahinya penuh kerutan, semakin dalam kerutan tersebut maka semakin dalam pula rasa penasarannya. Itu pertanda tidak baik untukku, karena aku sendiri tidak tau dengan jelas masalah banaspati. Sekar sudah bersedia melontarkan banyak pertanyaan padaku, aku menggelengkan kepalaku perlahan ke arahnya. Memberi isyarat pada Sekar untuk menungguku agar selesai menjelaskan semuanya. Dia hanya menghela napas lalu menganggukkan kepalanya. “Santet itu namanya banaspati. Mas sendiri belum tau pasti apa itu santet banaspati, Dek. Mbah Kadiran belum menjelaskan secara pasti. Tapi katanya, siapa pun yang kena santet banaspati nggak bakalan bisa selamat. Atau dalam kata lain, peluang bapak sembuh itu kecil. Namanya prediksi manusia bisa salah, bisa meleset. Kita cuma bisa berdoa yang terbaik untuk kesembuhan bapak, Dek. Mas sendiri nggak tau harus bagaimana, kepala rasanya pusing banget hampir pecah. Dari awal mas sama Pak Slamet ke rumah Mbah Kadiran, pikiran ngga bisa tenang. Ada aja yang kepikiran, sampai sekarang juga gitu. Pokoknya kita mohon yang terbaik buat bapak. Kalau bisa mamak jangan sampai tau dulu ya, Dek. Nanti pikiran mamak bisa kemana-mana,” lanjutku. Sekar menganggukkan kepalanya sambil merangkul bahuku, dia juga bersandar di bahu ku. Semua apa yang ku rasakan, aku yakin dia juga bisa merasakannya. “Banaspati? Aku dulu pernah denger itu, tapi dimana ya? Ah iya! Temenku dulu pernah bilang kalau banaspati sebenarnya dulu hantu, terus ada yang menaklukkan si banaspati jadi sampai jinak. Konon katanya, siapa aja yang bisa menjinakkan banaspati bakalan dapat ilmu yang lebih hebat dan paling kuat. Nah, si penakluk banaspati itu hatinya nggak bersih. Dia pengen balas dendam terus. Makanya si banaspati itu nggak bisa digunakan dengan baik, hatinya penuh iri dan dengki.” Aku menatap Sekar, mengapa dia lebih tau detail daripada aku? Sepertinya memang aku saja yang kurang update dengan dunia luar. Yang aku pelajari hanya mata kuliah sedang ku ampu, lainnya hanya sekilas saja. Terlebih dengan hal gaib seperti ini, aku kurang tertarik. Hanya mendengarkan sebentar dari temanku. “Katanya sih bentuk si banaspati itu kayak bola, tapi diselimuti api. Jadi kayak bola api, terus melayang di udara. Kan yang pegang ilmunya tadi jahat, ya si banaspati ikutan jadi ilmu hitam. Digunakan oleh tangan tak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi, ya seperti membalaskan dendam. Aku nggak nyangka, Mas, jadi yang kedengeran kenceng banget pas hari itu berarti banaspati jatuh di atap rumah kita. Dan sasarannya bapak. Alhasil bapak jadi seperti sekarang ini kan, Mas? Siapa yang tega ngirim santet segala ke bapak? Kok di jaman yang seperti sekarang masih ada orang percaya begituan, Mas?” lanjut Sekar. Dia menatap ku penuh dengan tatapan kepedihan. Sama seperti aku yang baru mendengar kasus santet tengah dialami bapak. Mengapa ada orang yang sampai tega mengirim hal seperti ini? “Ini bukan bapak aja yang diteror, Dek, tapi kita sekeluarga. Semua kena hal gaib, meski ndak serupa. Tapi mas yakin kalau pelaku semua ini hanya satu orang saja. Dan mungkin masih orang terdekat dengan kita, Dek. Jangan asal menebak dulu, takutnya malah jadi fitnah.” Aku mengingatkan Sekar, karena dia termasuk orang yang suka asal ceplas-ceplos. Yakin sekali jika Sekar saat ini sudah memikirkan satu nama yang menjadi tersangka atas semua kejadian ini. Dia tak mungkin menebak asal sebenarnya, cuma kadang tidak masuk akal. “Pasti kelakuan Om Rino deh, Mas. Siapa lagi orang terdekat kita yang nggak suka sama keluarga kita? Ya cuma adeknya bapak doang, ‘kan? Dari jaman kita belum di bentuk sampai akhirnya kita udah berbentuk manusia, mereka masih aja perang dingin tanpa sebab. Sebenarnya masalah bapak sama Om Rino satru itu apa sih, Mas? Dari dulu bingung banget sama permasalahan kedua adik kakak itu loh. Apa lagi bisnis mereka kan juga sama, penjual bakso. Punya bapak udah buka outlet cabang dimana-mana, sedangkan punya om masih stuck. Mas pernah mikir nggak kalau Om Rino bisa aja iri sama bapak? Si banaspati itu cocoknya ke orang yang memiliki hari iri dan dengki, Mas. Nggak menutup kemungkinan kalau Om Rino adalah tersangka dari semua ini,” jawab Sekar. Sudah kuduga alur pembicaraan ini bakal kemana. Tentu saja Sekar akan menebak Om Rino, hanya beliau keluarga terdekat kami. Bisa dibilang menjadi salah satu keluarga yang masih ada dari pihak bapak. “Jangan asal nebak, Dek. Kita nggak tau kebenarannya gimana kok. Bisa aja tuh bukan Om Rino, siapa tau malah dari pihak pelanggan. Semisal pelanggan suka banget sama bakso buatan bapak, nah si dia pengen bersaing sama milik bapak tapi gagal terus. Jadi ini menjadi jalan satu-satunya yang bisa dia tempuh dengan cara instan. Santet. Mungkin dia mikir, setelah bapak pergi nggak bakalan ada gerai bakso terenak yang bisa ngalahin punya dia.” Sekar menganggukkan kepalanya mendengar ucapanku. Bisa saja yang aku pikirkan ini menjadi benar. Sekar kembali berbalik menghadap ke arah ku. Dia sepertinya sudah memiliki bantahan kuat. “Mas, tapi kan yang namanya pelanggan nggak mungkin pengen tempat favoritnya makan cepat buat gulung tikar. Cuma dua puluh persen doang kemungkinan yang bakalan terjadi. Dugaan terkuat masih berada di tahta Om Rino. Gelagatnya tuh aneh banget. Pas beliau tilik ke sini kemarin itu, nggak ada raut wajah sedih atau pengen nangis gitu. Malah raut wajahnya tuh kelihatan bahagia, sumringah gitu deh pokoknya. Kan aneh jadinya. Ini kenapa pikiranku nggak bisa dibuat berpikiran positif. Dipandanganku yang salah itu Om Rino, bukan yang lain. Semua dugaan tuh mengarah ke Om Rino yang selama ini punya dendam pribadi ke bapak.” Memang ada benarnya juga ucapan Sekar, tapi tidak mungkin bila Om Rino melakukan hal ini pada kami semua. Apa motivasinya hingga nekat seperti ini? Apa mungkin karena bisnis bapak jauh lebih terkenal ketimbang milik beliau? Padahal Om Rino bisa aja numpang promosi di lapak kami tanpa harus melukai salah satu hati. “Jangan sampai mas ngomong bukan Om Rino ya. Padahal semua ciri-cirinya tuh yang masuk cuma Om Rino aja, Mas, nggak ada yang lain. Semisal dari pihak pelanggan nih, emang kamu hapal mas sama satu persatu wajah dan nama mereka? Enggak kan? Jadi nggak mungkin si pelanggan kita tau sampai detail, paling pesen pas udah datang makan terus pulang. Ini pasti ada yang sengaja menaruh mata-mata juga ke kita. Semisal dia itu santetnya pakai tanggal lahir segala, berarti dia orang yang benar-benar kenal deket banget sama kita. Terus siapa lagi kalau bukan Om Rino. Mas? Nggak ada.” Sekar terus meluncurkan kata-kata pembelaan. Dia terus menguatkan pendapatnya menggunakan dalil yang sudah disiapkan sebelumnya. “Mas pernah ke rumah, ‘kan? Gimana suasana rumah? Udah beda banget, ‘kan? Ada yang beda dari rumah. Aku ngerasa rumah jadi terlihat serem, kayak udah nggak senyaman dulu. Auranya udah nggak jelas banget. Pokoknya beda banget. Nah yang tau alamat detail rumah kita, jelas orang udah deket banget sama kita. Siapa itu? Jelas Om Rino, Mas. Kemana aja kita berputar membuat asumsi, pasti berakhir di Om Rino. Aku yakin banget kalau emang yang melakukan ini semua adalah Om Rino,” ucap Sekar dengan kekeh. Memang ada benarnya, tapi aku tidak mungkin mengiyakan sebelum ada bukti kuat. Ini hanya dugaan kami sementara saja. “Pokoknya dugaan kamu ini jangan sampai ada yang dengar selain kita berdua, Dek. Bisa bahaya kalau ada yang dengar orang lain. Kita belum ada bukti yang kuat. Jadi posisi kita masih terancam banget. Kita berdua diem dulu ya, Dek.” Sekar menganggukkan kepala kembali. Aku menghela napas. Pandanganku tak lepas ke arah Sekar atau terkadang memilih menatap telapak tanganku sendiri. Perasaanku tidak enak bila ingin menatap sekitar taman ini, pasti banyak yang menampakkan dirinya dengan sengaja mau pun tidak sengaja. Aku tidak mau mengambil resiko terlalu jauh, jadi lebih baik memandang secukupnya saja. Begitu juga dengan Sekar. Kami berdua tidak mau menatap ke arah yang lebih jauh lagi. Banyak rupa yang tak kami inginkan muncul sewaktu-waktu. “Mas, pegel juga ya kalau cuma nunduk aja kayak gini. Tapi nggak mungkin juga mau natap depan, pasti ada sesuatu yang bikin terkejut deh.” Sekar menghela napas. Aku menganggukkan kepalaku, setuju dengan ucapannya. “Balik aja ke kamar bapak. Kasihan mamak cuma sendiri di sana. Pak Slamet kan udah pulang. Pasti baliknya juga nanti malam. Itu pun kalau balik.” Sekar menganggukkan kepalanya. Kami bergandengan tangan menuju kamar bapak. Kedekatan seperti ini yang membuatku rindu dengan Sekar. Adik yang dari kecil selalu ku jaga sepenuh hati. Sekarang sudah tumbuh dewasa layaknya gadis seumurannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN