"Pak, ada ibu nunggu di bawah," ucap Raka, anak buah Narendra.
Narendra mengerutkan kening, "Ibu?"
"Iya, istri Bapak."
Narendra menggeram kesal, dengan tergesa dia turun untuk menghampiri sang istri. Rahayu sedang berbincang dengan bu Rumanah, kala Narendra menghampirinya. Dan itu membuat Lelaki yang tengah emosi itu tidak jadi memuntahkan kekesalan.
"Nah itu, dia. Narendra, kamu gak lembur kan? Kalo mau pulang silakan. Kasihan istri kamu nunggu." Bu Rumanah mempersilakan Narendra, lantas lelaki itu tersenyum kecut.
Seketika Narendra mengingat sesuatu. Tadi pagi, dia janji akan pulang bersama Anjani. Meluluhkan Anjani agar tidak menghindar dari dirinya terbilang sulit. Sudah bagus Anjani mau ngasih tumpangan lagi. Lalu rencananya gagal gara-gara Rahayu menjemputnya. Narendra cemas jika Anjani akan marah dan merajuk lagi. Entah mengapa perempuan itu tiba-tiba menjadi candu.
"Ngapain jemput, sih?" ketus Narendra. Lelaki itu melihat sekeliling khawatir ada yang melihat saat dia bertanya dengan ketus pada istrinya.
"Kan sekalian lewat, Bang. Masa, berlalu gitu aja. Sekalian makan malam, yuk?" Rahayu menggandeng tangan Narendra. Beberapa karyawan yang melintas tersenyum. Mereka pasti mengira keduanya adalah pasangan serasi yang harmonis.
"Tumben." Narendra menyelidik, tidak biasanya Rahayu ngajak makan di luar.
"Aku pengen gulai kambing. Gimana?"
Narendra melihat sang istri, dia mengiyakan bersamaan dengan datangnya Anjani dan kawannya.
Anjani tersenyum kaku kala Rahayu bergelayut manja pada sang suami. Senyum yang penuh dengan kepalsuan, nyatanya ada nyeri yang mencubit-cubit dadanya. Saking nyerinya Anjani ingin berteriak, tetapi dia bisa apa? Narendra suami Rahayu, dirinya bukan siapa-siapa.
"Janii, apa kabar?" tanya Rahayu. Dia melepas genggaman tangannya, lalu menyalami Anjani.
"Baik, Kak. Kok tumben?" Anjani melirik Narendra sekilas, tatapannya seakan berkata, “Gak jadi?” lalu Narendra menggeleng lemah dan mengucapkan maaf tanpa suara.
"Gak apa sekali-kali jemput suami, dia mana mau bawa mobil sendiri. Eh tapi kalo gak lembur sih, aku usahakan jemput tiap hari. Gak apa-apa kan, Bang?" Rahayu kembali meraih tangan Narendra, menggelayut manja.
"Iya," jawab Narendra. Dia melirik Anjani sekali lagi, perempuan berambut panjang itu memalingkan wajah.
"Hayuk, Bang," ajak Rahayu.
"Abang ngambil tas dulu." Dengan enggan, Narendra meninggalkan tempat itu, melewati beberapa lorong menuju ruangannya.
Sementara itu, Rahayu tersenyum puas. Setelah merenung semalaman, dia memilih untuk merebut kembali suaminya. Meski pun dia harus banyak berkorban terutama materi.
"Kami duluan ya, Kak." Anjani bersama temannya pamit. Dari pancaran matanya Anjani seperti merasa bersalah pada Rahayu.
"Hayuk," ajak Narendra. Rahayu mengekor di belakang, dia meraih tas sang suami. Berusaha menjadi istri yang benar-benar bisa di banggakan.
"Besok gak usah jemput, biar Abang pulang sendiri." Narendra berujar, Rahayu tersenyum. Dia menyerahkan kunci mobil pada sang suami.
"Liat besok, deh, Bang. O iya, soal uang yang tiga juta, aku udah catat rinciannya. Silakan Abang baca." Rahayu menyerahkan sebuah buku bersampul biru kepada Narendra. Sang suami sempat bingung namun segera mengembalikan buku itu ke tangan Anjani.
"Gak usah, aku percaya sama kamu. Dan aku bukan orang pelit."
Narendra tidak banyak bicara. Dia teringat nada suara Anjani saat Narendra membatalkan janji mereka.
"Ada Yayu, besok aja ya. Maaf," ujar Narendra dalam sambungan telepon. Dia buru-buru menghubungi Anjani saat mengambil tas ke ruang kerjanya.
"Gak apa, Dra. Aku gak punya hak atas kamu. Aku pulang, ya. Bareng Risma." Suara Anjani terdengar sangat lemah, Narendra tahu, sahabatnya itu kecewa.
"Hati-hati, Jani. Maaf, aku sangat menyesal," sesal Narendra.
"Biasa aja kali. Bye, Dra." Tawa Anjani berderai, tetapi Narendra tahu, tawa itu penuh dengan kepalsuan. Suara Anjani terdengar agak sengau, sepertinya dia habis menangis atau menahan tangis. Lelaki itu tahu Anjani sejak lama.
"Bye Jani."
Mobil mereka berhenti di persimpangan. Rahayu tersenyum lembut kala tatapan mereka beradu. Dalam hati, Narendra merasa kasihan sama istrinya. Tapi di sisi lain dia juga menyesal memberikan sebuah harapan pada Anjani.
"Gulai kambing pak Tarjo aja, Bang." Ucapan Rahayu membuyarkan Lamunan Narendra.
"Yakin, mahal, loh. Jangan-jangan kamu nanti ngitung-ngitung di rumah. Trus jatah makan berkurang lagi karena dana nya di pakai makan gulai hari ini," ujar Narendra, jalanan di depannya terlihat cukup padat, kemudian dia berbelok memilih jalanan yang lebih sepi.
"Gak apa-apa, Bang. Yayu bisa nyari uang lebih giat lagi," ujarnya dengan senyum yang merekah.
Dalam pernikahannya sudah sering Rahayu merasakan kebahagiaan seperti saat ini. Meski tidak dipungkiri terselip rasa resah karena Narendra mulai tak setia dan mencoba bermain api.
Namun, Rahayu selalu mengingat wejangan ibu mertua. Ada masanya seorang pria kembali merasakan puber seperti saat remaja dulu. Puber kedua, begitu katanya.
"Biarkan, tapi tetap pantau. Jangan sampai dia kebablasan, kebawa ajakan setan," ucap ibu kala Rahayu mencurahkan segala keresahan pada mertuanya.
Dia hanya satu kali menangis. Dan berjanji tak akan menangis lagi, Rahayu berjanji ingin menjadi wanita kuat.
Dia akan merebut kembali hati sang suami dengan cara dia sendiri. Meski kadang, Rahayu harus merasakan perih kala melihat sang suami tampil lebih rapi. Lebih wangi, dan lebih rajin mandi.
Rahayu juga merasa kesepian karena Narendra masih memilih untuk pisah ranjang. Setiap malam dia merindukan kasih sayang dan belai mesra sang suami, seperti dulu, sebelum perempuan itu mengusik rumah tangga mereka.
"Bang, kapan tidur di kamar kita lagi? Abang tau sendiri kan, aku kalo kebangun malem-malem sulit tidur lagi kalo gak ada kamu."
Narendra melirik sekilas. Lelaki itu menyadari, dia keterlaluan mendiamkan Rahayu sampai segitunya. Sisi lain, jika dia tidur di kamarnya tidak akan leluasa chatting dengan Anjani.
Narendra menjawab, "Nanti abang tidur di kamar kalo lemburan selesai. Abang bawa kerjaan. Agak malam gak apa-apa, kan?"
Dengan semangat Rahayu mengangguk, bersamaan dengan itu gawainya berdering.
"Ibu," bisik Rahayu.
"Tumben. Angkat aja." Narendra melirik sekilas. Lalu kembali fokus pada jalanan.
"Iya, Bu. Sudah." Rahayu menjawab pertanyaan Sang Mertua.
"Ibu mau bicara sama Abang?" tawar Rahayu.
Narendra memberi kode bahwa dia gak mau bicara. Dia memilih untuk menyumpal telinganya menggunakan earphone.
Rahayu terpaksa mengangguk, sepertinya ibu mertuanya juga mengerti bahwa putra lelakinya enggan untuk bicara dengannya.
Rahayu pernah bermimpi punya suami yang selalu memuliakan wanita. Narendra juga seperti itu, akan tetapi sesuatu terjadi hingga lelaki itu enggan bicara dengan sang ibu. Rahayu selalu berusaha menjadi penghubung agar hubungan keduanya kembali baik.
Narendra, sejak dia memiliki jabatan di perusahaan itu perangainya berubah. Rahayu kadang tidak tahu harus berbuat apa. Dia gila uang, gila kerja dan boros. Beberapa kali Rahayu mengingatkan. Nyatanya malah jadi pemicu perselisihan.
"Ada apa?" tanya Narendra kala Rahayu menutup teleponnya.
"Ibu nanya kabar, dia bilang kapan ke rumah. Ibu kangen masak buat kamu."
"Kamu tahu sendiri, Kan, aku gak ada waktu." Raut wajah Narendra mulai berubah.
Kedai gulai kambing Pak Tarjo tak seramai biasanya. Dibanding kedai, tempat itu lebih cocok di sebut restoran.
Rahayu semangat menggandeng tangan Narendra. Keduanya masuk ke dalam kedai seakan tidak pernah ada yang salah di antara keduanya.
Rahayu sengaja memasang wajah paling ceria yang dia punya. Padahal sedari tadi dia tahu, lelakinya sedang resah karena harus membatalkan janji dengan Anjani.
Saat di kantor tadi, perempuan yang menemani Anjani bertanya, "bukannya lo mau jalan sama Pak Narendra, ya?"
Anjani terlihat sangat gugup. Sementara Rahayu dia merasa kedatangannya menjemput sang suami adalah keputusan yang paling tepat.