4

1098 Kata
Ada yang salah antara Narendra dan Anjani. Pagi itu, suasana coffee shop yang masih sepi serta dinginnya kota Bandung membuat keduanya lupa. Lupa kalau Narendra adalah lelaki yang memiliki istri.   "Gue selalu nyaman kalo deket lu, Dra. Sayangnya kita gak berjodoh, ya." Anjani memutar cangkir kopi.   "Coba aja dulu gue gak nolak lo, ya," sambungnya.   "Kalo gue nembak lagi, lo mau terima gue gak?" bisik Narendra. Anjani yang sedang menyandarkan kepala di bahu Narendra buru-buru menjauh.   "Gila kamu, mau dikemanakan kak Yayu." Anjani berdiri, lalu menyambar tas dan pergi meninggalkan Coffee shop. Narendra tersenyum jahil, sahabatnya itu terlihat malu-malu pipinya merona.   Tidak ada obrolan dari keduanya, suasana nampak begitu canggung. Anjani yang kali ini duduk di kursi penumpang asik memainkan gawainya.   "Maaf ya, gue gak bermaksud apa-apa. kamu jadi ngambek gitu, jelek Ah." Narendra melirik Anjani sekilas, lalu kembali fokus pada jalanan di di depannya.   "Dra, gue gak ngambek, tapi gue baper. Sebaiknya kita jaga jarak dulu, deh. aku gak mau dibilang pelakor sama orang-orang." Anjani tetap tak berani menatap wajah Narendra. Sesampainya di kantor Anjani buru-buru masuk ke dalam ruangannya, tanpa melihat ke belakang, tanpa melihat Narendra yang tersenyum gemas melihat kelakuan sahabatnya itu.   Suasana di kantor siang itu mendadak suram. Tidak ada lagi Anjani yang selalu bolak balik ke ruangan Narendra. Jika ada masalah atau apa pun perempuan dengan rambut hitam legam itu lebih memilih memberikan perintah pada orang lain.   Saat sore tiba, Narendra tidak mendapati Anjani di Kantor. Secarik post it menempel pada botol minuman milik Narendra, berisi pesan bahwa Anjani pulang duluan. Lelaki itu membatin, Andai saja dia tidak bicara macam-macam pagi tadi mungkin keadaanya tidak akan serumit ini.   Narendra segera menghubungi Rahayu, untuk mampir dan menjemputnya di kantor. dalam setengah jam perempuan berambut pendek itu tiba. Dia memakai kacamata hitam. Dan wajahnya terlihat sangat pucat.   "Tumben, mana Anjani?" tanya Rahayu.   Narendra berdecak sebal, tanpa menjawab pertanyaan sang istri dia merebut kuci mobil. Lalu masuk tanpa menghiraukan Rahayu yang memaatung dengan tatapan kaget.   Usia pernikahan mereka memang belum lama. Narendra yang dia kenal sebagai lelaki setia kini mengkhianati kepercayaan Rahayu. Sudah tidak ada lagi kehangatan yang pria itu berikan padanya. Sefatal itu kah kesalahan Rahayu hingga menjadi pembenaran kala Narendra kini berpaling. Atau segala romantisme lelaki itu hanyalah kedok untuk menutupi perbuatannya di belakang.   "Jangan protes," ujar Narendra, mobil yang mereka tumpangi kini berbelok ke sebuah restoran.   "Mau makan?" tanya Rahayu.   "Anak kecil saja tahu kalau masuk restoran itu tandanya mau makan. Aku lapar," ketus Narendra.   "Mau sampai kapan kamu sinis begitu, Dra," tanya Rahayu. Kini dia tidak dapat membendung air matanya. "Harusnya aku yang marah liat kelakuan kamu di belakang kaya apa."   "Kamu ngomong apa?" hardik Narendra.   "Aku lihat sendiri bagaimana Anjani bersandar di pelukanmu. Apa pantas begitu sama suami orang?" Rahayu terisak, bulir-bulir bening berebut berjatuhan.   "Kamu mata-matain aku?" Bentak Narendra.   "Gak, tapi Tuhan nuntun aku hingga bisa melihat kelakuan kalian berdua."   Hening, lelaki itu tidak bisa menyangkal, belum juga bermain api dia sudah terbakar, selera makannya kini musnah. Padahal sebelumnya dia sudah bisa membayangkan nikmatnya Iga bakar di Restoran yang dulu sering dia kunjungi bersama Rahayu. Sebelum perempuan itu berubah menjadi istri yang pelit dan perhitungan di mata Narendra.   Keesokan paginya Rahayu menghampiri Narendra yang sedang termenung di depan televisi. Lelaki itu tengah menonton saluran televisi yang sedang menyiarkan acara olahraga. Narendra terlihat sangat fokus meski pada kenyataannya dia hanya termenung, pikirannya kemana-mana.   "Abang, aku minta maaf kalo ada salah." Rahayu tiba-tiba duduk dan menggenggam jemari sang suami. Narendra sempat kaget, apalagi ketika melihat mata rahayu yang sembab. Dia mengerti sang istri pasti menangis semalaman.   "Aku gak suka kalo kamu panggil aku dengan sebutan nama aja, kayak kemarin. Usia kita memang sama, tapi aku suami kamu, Kamu harus hormat."   Rahayu mengiyakan, matanya bengkak karena semalaman menangis, setelah cekcok di depan restoran mereka pulang. Amarah membuat rasa lapar Narendra sirna. Sepasang suami istri itu pulang dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan.   "Maaf, aku cemburu liat Abang lengket banget sama Anjani. Aku tahu dia cuma teman, tapi apa pantas?" tanya Rahayu, ada getaran dalam suaranya. Ingin rasanya dia menangis, tetapi matanya terlalu lelah, semalaman dia sudah menghabiskan banyak air mata.   "Kalo kamu tidak suka, aku bisa antarkan kamu ke rumah orang tuamu," ketus Narendra. mendengar pernyataan sang suami perempuan itu rasanya seperti di sambar petir.   "Menikah itu satu kali, tidak ada kata pisah apalagi sampai di getok-getok di meja pengadilan. Jika di dalamnya ada banyak rintangan itu adalah PR kita untuk menyelesaikannya." Rahayu berujar, dengan suara tertahan. Penglihatannya mengembun, sekali berkedip maka luruh sudah air mata yang sudah dia tahan dari tadi.   "Pulang ke rumah itu harusnya nyaman, selepas kerja pengennya masuk rumah itu adem, pengennya kita makan makanan enak, bukan tumis kangkung sama tempe goreng melulu." Narendra menggerutu.   Masalah itu lagi. Rahayu tidak habis pikir, dia hanya berusaha mengatur uang secermat mungkin, dan mengalokasikan pengeluaran hanya untuk hal-hal yang bermanfaat.   "Kamu sama suami sendiri pelitnya minta ampun, tapi uang di rekening berkurang hampir tiga juta kamu pakai buat apa?"   "Yang pasti bukan untuk foya-foya, Bang. Nanti juga abang tahu itu uang buat apa," ujarnya.   Narendra tidak terima, dia marah-marah dan berakhir mengubur diri dalam kamar tamu.   Keduanya menjadi pihak yang paling benar, Rahayu merasa benar karena Narendra berusaha bermain api dengan Anjani. Lelaki itu berubah menjadi orang asing, selalu tampil lebih rapi dan lebih wangi dari biasanya.   Narendra juga merasa menjadi pihak yang benar karena merasa Rahayu menyembunyikan sesuatu di belakang dia. Pernikahan yang semula hangat kini berubah dingin, sedingin udara yang berkabut di tengah perkebunan teh.   "Sarapan, Bang," ajak Rahayu ketika melihat sang suami sudah rapi.   "Aku ada janji sama klien. Duluan, ya, Assalamualaikum," pamit Narendra. Tidak ada kecupan singkat yang jadi suntikan semangat dalam menjalani hari. Rahayu memandangi kotak bekal yang sudah dia siapkan dengan perasaan sedih.   Tidak ada tumis kangkung dan tempe goreng lagi, sebisa mungkin perempuan itu memasak makanan kesukaan Narendra. Sayangnya apa yang dia lakukan dari subuh berakhir sia-sia. Perempuan itu harus puas ketika Narendra hanya meminum setengah gelas teh manis yang dia siapkan.   Kali ini tidak ada jemputan dari Anjani, sepertinya gadis itu benar-benar menghindari Narendra. Lelaki itu memakai jasa ojek online untuk bisa sampai di kantor. Dia mengayun langkah melewati pinti masuk khusus karyawan, dari kejauhan dia melihat Anjani sedang tertawa bersama teman-temannya.   Narendra mendekat, semua karyawan mengangguk hormat, Anjani berusaha bersikap biasa saja.   "Bu Anjani, saya tunggu di ruangan." Terpaksa Narendra melakukan hal itu.   "Ada apa, Dra," tanya Anjani ketika sudah berada di ruangan berukuran dua kali tiga meter itu.   "Mau sampai kapan kamu menghindari aku, Jani. Salah ya aku ngungkapin perasaan sama kamu?" cerca Narendra. Anjani berusaha bersikap setenang mungkin. Padahal, dalam hati ingin rasanya dia berteriak bahwa Narendra salah besar. Jelas-jelas lelaki itu memiliki seorang istri, Narendra hanya sedang kesal, perasaan yang dia rasakan saat ini adalah perasaan sesaat yang bisa saja hilang kapan pun dia mau. Untuk itu sebisa mungkin Anjani menghindar dari sahabatnya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN