Rahayu sedang membaca n****+ saat perempuan berambut panjang membuka gerbang. Dari kejauhan Rahayu mengenalinya. Langkahnya tergesa, tas slempang yang dikenakan bergerak seirama dengan ayunan tangannya.
"Assalamualaikum, Kak Yayu," ucap Ariana, adik bungsu Narendra itu terlihat sedih dan marah.
Setelah menjawab salam Rahayu menuntun adik iparnya menuju rumah, dia dapat merasakan tangan Ariana bergetar. Segelas air putih Rahayu berikan pada sang Adik. Perempuan yang mengenakan pakaian putih putih itu meneguknya hingga tandas.
"Ada yang salah, Ri? Kerudungnya kok gak dipakai?" tanya Rahayu hati-hati. Sejak menikah dengan Narendra Rahayu bisa merasakan asiknya punya adik. Apalagi Ariana sangat manja kepadanya.
Sayangnya sudah beberapa bulan ini, keduanya jarang berinteraksi layaknya adik dan kakak. Semula karena Narendra tidak setuju adiknya mengambil jurusan kebidanan. Dia ingin adiknya mengikuti jejak Narendra yang memiliki karier lumayan dengan gelar sarjana ekonomi.
"Untuk apa ngambil jurusan kebidanan, biayanya mahal trus nanti palingan kamu ngehonor di puskesmas." Teriakan Narendra kala itu cukup mengagetkan ibu sehingga terjadilah perselisihan.
Ariana tetap melanjutkan kuliah meski pada saat itu Narendra berjanji tidak akan ikut campur dan membantu membiayai kecuali Ariana mau kuliah jurusan ekonomi seperti dirinya. Diam-diam Rahayu membantu biaya kuliah Ariana, juga membantu memenuhi kebutuhan hidup ibu mertua setelah Narendra tidak pernah lagi memberi apa-apa pada sang ibu.
Amarah telah menjauhkan dia dari keluarga. Narendra egois, dan selalu menjadi pihak yang merasa benar.
"Kak Yayu," ucap Ariana, "waktu kak Yayu curhat sama ibu di kamar Riana denger loh. Maaf bukan maksud Riana menguping, waktu itu pintu kamar ibu sedikit terbuka dan aku mendengar semuanya saat hendak mengambil air ke dapur," sesalnya kemudian.
"Tidak apa-apa, Ri. Kamu sudah dewasa dan wajar mengetahui hal seperti ini." Rahayu memang melihat Ariana pada saat itu. Sengaja tidak dia tegur karena jika ditegur, ibu pasti akan memarahi Ariana.
"Saat itu Riana pikir kak Yayu ngarang cerita, Riana sempet sebel sama kak Yayu karena Riana percaya seratus persen sama kak Rendra." Ariana memainkan ujung baju, gelang perak yang dia kenakan berkilau kala tertimpa cahaya matahari yang mengintip malu-malu melalui celah jendela.
Rahayu tersenyum, dia merangkul bahu sang adik. Mengelus rambut panjangnya menstranferkan energi positif untuk adiknya yang kini tengah resah. Entah karena apa.
Keduanya lalu diam. Tidak ada yang berinisiatif untuk membuka obrolan kembali. Suara gelembung di akuarium jadi kidung yang memberikan kekuatan pada dua orang resah itu. Rahayu tidak tahu apa yang sedang adiknya pikirkan. Dan Ariana bingung bagaimana mengungkapkan apa yang ingin dia ungkapkan.
Waktu terus bergerak, harus ada salah satu yang mengalah dan memecah hening. Saat jam menunjukkan pukul tiga belas, Rahayu bangkit. Dia sudah janji akan menghidangkan kornet lidah sapi untuk Narendra. Perempuan itu melepas pelukan Ariana, lalu mengajak gadis itu untuk masak bersama. Awalnya gadis berusia 19 tahun itu menolak, dia khawatir Narendra tiba dan melihat keberadaannya di rumahnya.
"Gak apa-apa, mau sampai kapan kalian diem-dieman?" tanya Rahayu, dia memotong-motong lidah sapi yang sudah dilumuri bumbu sebelumnya.
"Kak, kedatangan Riana kesini sebenernya mau bilang sesuatu sama Kakak, tapi Riana bingung mau mulai darimana." Gadis itu menunduk, tatapannya tertuju pada wortel dan kembang kol yang akan dijadikan capcay.
"Ada kebutuhan yang harus dibeli atau harus bayar sesuatu? Kak Yayu kan bilang, jangan sungkan," ucap Rahayu.
"Bukan kok, uang dari kak Yayu masih ada, Riana kan bantu-bantu temen jualan online jadi lumayan punya tabungan buat kebutuhan pribadi." Ariana mengupas wortel, tangannya tidak fokus pertanda ada sesuatu yang salah.
"Lalu apa? Ibu sakit?" Rahayu mulai khawatir.
"Kak, tadi Riana jalan sama temen di mall. Rencananya mau nonton, tapi gak jadi," papar Riana dengan suara lemah.
"Kenapa?" Rahayu penasaran.
"Riana lihat Kak Rendra mau nonton juga. Bareng Kak Jani, dan mereka mesra banget, seperti suami istri."
Rahayu tidak dapat menyembunyikan rasa kaget. Sejurus kemudian dia ingat kembali pesan ibu.
"Rebut kembali, buat dia jatuh cinta seperti saat pertama kali bertemu."
Rahayu tersenyum, sementara Ariana mendadak sebal. Reaksi kakak iparnya tidak seperti apa yang dia duga.
"Kakak gak peduli?" selidik Ariana.
"Siapa, bilang?" Rahayu meraih tangan Ariana, lalu dia letakkan tepat di dadanya."Di sini sakit sekali, Ri."
Gadis itu kebingungan melihat raut wajah Rahayu. Berkata sakit, tetapi tetap tersenyum. Padahal Ariana sudah ketakutan setengah mati. Takut kakak iparnya naik pitam.
"Jangan kebanyakan mikir, yuk lanjut masak, Abang pulang sebentar lagi."
Tiga jam kemudian Narendra tiba. Aroma masakan yang lezat menggelitik hidungnya. Membuat cacing-cacing dalam perutnya berdemonstrasi minta diisi.
"Assalamualaikum, Abang," ucap Rahayu. Narendra tersenyum dan menjawab salam.
"Lembur, ya? Jam segini baru pulang," tanya Rahayu. Dia menuntun Narendra, mendudukannya di sofa. Lalu dengan terampil Rahayu membuka sepatu sang suami.
"Gak usah, biar aku aja," protes Narendra.
"Gak apa-apa. Hanya seminggu sekali aku nyambut Abang pulang begini. Biasanya kita kan pulang bareng dalam keadaan lelah. Mana sempat Yayu layanin Abang."
"Terserah, lah."
Lelaki itu menyandarkan punggung di sandaran sofa yang empuk. Mendongakkan wajah menatap langit-langit lalu memejamkan mata.
Pikirannya melayang kemana-mana. Dalam benaknya ada perempuan berambut panjang dan bertangan halus. Sepanjang di bioskop tadi, dia menggenggam jemarinya. Mengantarkan getaran demi getaran yang sarat akan kesalahan.
Masih teringat dengan jelas juga aroma manis yang menguar dari rambut Anjani. Dia tidak bosan, tak akan pernah bosan.
Angannya tiba-tiba berhenti kala sesuatu yang hangat menyentuh telapak kakinya.
Dia membuka mata, Rahayu sedang mencuci kaki Narendra dengan air hangat yang di simpan dalam baskom.
"Apa itu?" tanya Narendra.
Rahayu tersenyum lalu menjawab dengan suka cita. Dia pernah melihat seseorang melakukan ini pada suaminya. Melayani dengan sepenuh hati.
Usai mencuci kaki Narendra dengan air hangat yang dicampur sejumput garam, Rahayu mengeringkan kaki sang suami dengan handuk lembut.
"Yayu masak kornet lidah, Bang. Mau makan sekarang?"
Sudut bibir lelaki itu terangkat, "Boleh. Tapi aku mandi dulu sebentar, ya."
"Oke, Yayu siapkan ya."
Narendra melewati Rahayu begitu saja. Parfum yang asing tercium oleh Rahayu. Satu lagi hujaman perih yang menorehkan luka tak berdarah dalam hatinya.
Rahayu melihat gawai Narendra di meja. Masih menyala. Namun terkunci, menggunakan pola.
"Kamu benar-benar sudah main terlalu jauh, Bang," bisik Rahayu. Setetes air mata lolos juga.
Makanan sudah terhidang di meja saat Narendra selesai mandi. Aroma shampo yang biasa mereka gunakan akhirnya dapat menghilangkan Parfum Anjani yang menempel dan tercium. Rahayu lega.
"Kenapa gak dari kemarin-kemarin kamu masak enak begini?" seloroh Narendra. Dengan lahap dia memasukkan sepotong kornet lezat yang dia comot sebelum Rahayy menghidangkannya di piring Narendra.
"Ya udah, mulai sekarang Yayu masak yang enak buat Abang." Rahayu mengisi piring Narendra dengan nasi, kornet lidah dan capcai.
Dengan lahap lelaki itu makan, dia fokus pada makanan yang Rahayu masak.
"Bang," sapa Rahayu.
"Hmmm."
"Tadi ada Ariana." Rahayu berusaha mengatur nada bicara. Dia harus sabar, tidak boleg terpancing emosi.
"Dia ngadu apa sama kamu?" tanya Narendra, seolah tahu apa yang Ariana sampaikan pada Rahayu.
"Maksud Abang?" tanya Rahayu, tidak dapat dipungkiri perempuan itu kaget melihat reaksi sang suami.
"Dia bilang mergokin aku selingkuh sama Anjani di bioskop, Begitu?" sentak Narendra.
"Bang." Rahayu berbisik.
"Iya, tadi Abang sama Anjani nonton, trus ketemu Ariana. Adik yang gak punya sopan santun sama Abangnya."
"Bang." Rahayu berusaha menenangkan. Namun, gagal.
"Trus dia ngadu sama kamu buat fitnah aku, begitu? Percuma ada makanan enak, nafsu makanku rusak."
Narendra membanting sendok. Dia beranjak dari meja makan. Lalu masuk ke kamar tamu, disusul dengan suara bantingan pintu yang mengagetkan.
Satu lagi. Luka baru yang tak berdarah itu tertoreh di hati Rahayu.