7

1067 Kata
"Ambang batas rasa sakit itu seperti apa?" tanya Rahayu. Dia berbaring di pangkuan ibu mertua. Satu-satunya perempuan yang Rahayu hormati dan cintai mengingat dia sudah tidak memiliki ibu sejak kecil.   "Kamu boleh menyerah jika sudah lelah. Ibu malu punya anak seperti Narendra, dia seakan tidak melihat penderitaan ibu saat ayahnya Narendra berkhianat."   Setetes demi setetes air mata jatuh di pangkuan ibu mertua. Membasahi daster rumahan dengan motif batik yang dia kenakan. Rahayu ingin sekali menghapis luka dan air mata yang menggenang di pelupuk perempuan ringkih yang sudah melahirkan sang suami. Namun, tangannya hanya mampu menghapus dukanya sendiri.   "Yayu gak mau, Bu. Ibu tau sendiri perjuangan kami hingga sampe pernikahan. Kalo Yayu menyerah, Papi sama kakak Yayu apa gak merasa puas?" Dengan suara sengaunya dia bicara. Sesekali mengusap pipi, mengeringkan lelehan air mata.   "Ibu hanya bisa mendoakan kamu, dan pernihakan kalian. Walau bagaimana pun Narendra tetep anak ibu." Ibu mertuanya menenangkan. Meski dia menyesalkan kelakuan anak yang dia didik mati-matian seorang diri.   Rahayu bangkit kemudian memeluk mertuanya. Keduanya seakan sedang berbagi beban, mentrasfer jutaan energi agar memiliki kekuatan untuk menghadapi segala perkara yang tengah terjadi di hadapan mereka.   Kemarin malam, saat Narendra meninggalkannya seorang diri di meja makan pertahanan Rahayu roboh juga. Janji untuk tidak menangis tidak dapat dia tepati. Dia menangis sejadi-jadinya, menyesali dan menyalahkan diri sendiri. Mematut diri di depan cermin, berharap menemukan celah kesalahan agar bisa dia perbaiki, dengan begitu perempuan itu dapat meraih kembali hati sang suami yang kini telah berpaling.   Perempuan itu adalah makhluk rapuh. Bagaimana pun Rahayu menyembunyikan berbagai macam kesedihan akhirnya luruh juga. Rasa hati ingin menyerah, tetapi dia yakin selalu ada pelangi usai hujan badai.   Sudah jam pulang kerja, Rahayu yang sengaja pulang lebih awal untuk menemui sang mertua kini beranjak. Dia menyeret langkahnya dengan terpaksa menuju kamar mandi. Membersihkan sisa sisa air mata dan tentu saja luka.   Lalu dia menyapukan kembali make upnya. Menyamarkan sembab, dan menutup kemerahan pada hidungnya.   "Yayu pamit, ya, Bu. Mau jemput Abang dulu." Ibu Narendra mengiyakan, dia mencium pipi sang menantu lalu memeluknya sekilas.   Suara merdu Kunto Aji mengalun, menemani Rahayu dari rumah mertuanya menuju kantor Narendra. Fokusnya hilang, berkali-kali dia hanya diam di tempat saat lampu lalu lintas berubah hijau. Hingga teriakan klakson dari mobil belakang memekakkan telinganya.   Perjalanan yang seharusnya ditempuh kurang dari satu jam itu rasanya lambat sekali. Sekelebat bayangan Narendra dengan cinta yang selalu tercurah tiba-tiba hadir dalam ingatannya.   Lalu bayangan lelakinya saat bermesraan dengan perempuan lain membuat dia merasakan ngilu, apalagi mereka akan selalu berinteraksi bersama selama mereka berada dalam satu gedung setiap harinya.   Neon Box dengan tulisan perusahaan Narendra terlihat dari kejauhan. Gerobak penjual es kelapa muda yang biasanya mangkal di depannya sudah tidak ada. Menyisakan jejak basah pada tanah di sekitarnya.   Mobil yang Rahayu kendarai berjalan pelan, menuju pelataran parkir yang mulai lengang. Akan tetapi sebelum mobilnya masuk, pemandangan yang ingin sekali dia hindari malah terlihat.   Narendra berjalan bersisian dengan Anjani. Dengan tawa yang lepas, merekah dan seolah tanpa beban. Gestur tubuh keduanya seakan memberi tahu dunia bahwa mereka memiliki sesuatu yang spesial.   Satu kali lagi, luka itu kini hadir. Rahayu tidak dapat menyembunyikan kemarahan melihat keduanya. Akan tetapi, dia masih memiliki kewarasan. Akan sangat memalukan jika melabrak keduanya di tengah keramaian seperti ini.   Dengan perasaan luar biasa sedih, Rahayu menatap suaminya dari dalam mobil, berjalan menjauh dan masuk ke dalam mobil merah yang terparkir tidak jauh dari sana.   "Bang, seharusnya tawa Abang itu hanya diberikan untukku. Bukan Anjani atau perempuan lain, Bang."   Di meja makan ada beef lasagna juga Mocca float yang yang Rahayu pesan melalui aplikasi pesan antar.   Raganya terlalu lelah untuk mengolah sebuah masakan, bahkan hanya sekadar masak nasi melalui rice cooker pun dia tidak sanggup.   Narendra semakin menjauh, dan Rahayu tidak bisa menjangkau lelaki itu. Sama sekali tak bisa dia raih. Jika dikatakan menyerah maka bisa dikatakan begitu.   Semakin hari Anjani dan Narendra semakin tidak tahu diri. Perempuan yang mengaku hanya bersahabat itu semakin sering menjemput Narendra.   "Abang, hari ini mobil Abang yang bawa saja. Aku di rumah saja, sepertinya gak enak badan." Hari ini memang ada undangan dari salah satu rekan kerja Narendra.   "Jani mau jemput. Kamu ke dokter, periksa uangnya nanti aku transfer." Secepat kilat Narendra meninggalkan rumah.   Tanpa melihat lagi ke belakang Narendra menuju jalanan depan. Mobil berwarna biru melintas dan berhenti. Dia tidak mengenali pemiliknya sampai perempuan berambut panjang keluar dari sana.   "Loh, Jani." Narendra terkejut dia mengenali mobil Anjani dengan baik. Sementara itu mobil yang dia kenakan adalah mobil lain.   "Mobilku mogok. Aku naik grab. Mobil kamu nganggur, kan?" tanya Anjani.   Narendra mengiyakan. Lalu dia membawa Anjani yang sudah mengenakan gaun selutut dipercantik dengan sepatu hak tinggi yang berwarna senada dengan tas tangannya.   Tanpa mengetuk pintu dia memasuki rumah. Rahayu sedang menelungkupkan wajahnya di meja makan. Makanan yang dia sediakan sepertinya belum disentuh sama sekali.   Timbul rasa iba dalam diri Narendra. Dia menghampiri sang istri, mengusao pundaknya dan melihat wajah Rahayu pucat.   "Kamu istirahat di kamar saja. Pegal, nanti punggung kamu sakit," perintah Narendra. Rahayu tersenyum pias. Rupanya masih ada sedikit rasa iba dalam diri sang suami.   "Kenapa balik lagi, Bang?" tanya Rahayu.   "Mau ambil kunci mobil. Mobil Jani mogok." Mendengar nama Jani, Rahayu melirik ke arah ruang tamu lalu tersenyum kaku saat manik matanya beradu dengan milik Anjani.   Anjani salah tingkah, begitu pun dengan Narendra. Dia khawatir Rahayu akan marah sayangnya rasa khawatirnya itu tidak terjadi. Rahayu memilih untuk masuk ke kamarnya.   Belum sampai di ambang pintu kamar, tubuh Rahayu yang terlalu lemah tidak dapat bertahan lagi. Dia ambruk, dan membuat suara yang membuat Narendra berbalik arah.   Melihat keadaan Rahayu, Narendra panik, Kemudian dia menggendong sang istri menuju mobil. Anjani tidak banyak berkomentar. Perempuan itu bergetar ketakutan melihat keadaan Rahayu.   "Tolong buka pintunya, Jani," teriak Narendra. Setelah pintu terbuka, Rahayu dibaringkan di kursi penumpang.   Setelah memastikan pintu terkunci Narendra mengendarai mobilnya dengan tergesa. Dia sudah lupa dengan janji menghadiri pesta, yang dia pikirkan saat ini adalah keadaan Rahayu.   Anjani terlihat gusar. Beberapa kali dia mematut diri di cermin. Merapikan riasan dan melirik arloji. "Dra, bisa telat kita," keluh Anjani.   Narendra menatap Anjani sinis. Dia kesal karena Anjani lebih memikirkan undangan dari pada keadaan Rahayu.   "Kamu punya hati, gak, sih?" cerca Narendra. Dia melirik Anjani kemudian melihat Rahayu yang tidak sadarkan diri di jok belakang, wajahnya sepucat kapas. Memacu kerja jantung Narendra.   "Maksud aku, kamu turunin aku aja di depan. Biar aku pake grab lagi." Anjani Gusar, sebenarnya perempuan itu tidak nyaman. Rasa bersalah terus-terusan menyeruak begitu saja.   "Gak, aku gak akan biarin kamu pergi sendiri,” sentak Narendra bersamaan dengan klakson yang menjerit, pengendara sepeda motor menyalip mengagetkan Narendra.   "Why?" tanya Anjani dengan suara serak.s   "Aku khawatir, Babe." Narendra berujar, tanpa dia sadari Rahayu yang sedang terbaring lemah di jok tengah mendengarkan percakapan keduanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN