B.11 Talking

1883 Kata
Varrel bungkam mendengar ucapan sarkasme dari Rasha. Tapi tak lama dokter itu tersenyum seolah tak masalah dengan ucapan Rasha. Dia berdehem sesaat dan mulai menormalkan ekspresinya. “Prosedur pertama yang harus kita lakukan adalah general check up untuk mengetahui apakah pendonor yaitu Anda dan penerima donor yaitu wanita X dalam keadaan sama-sama sehat dan tidak ada penyakit bawaan atau komorbid, atau gen pembawa atau carrier,” jelas Varrel. Rasha masih diam menyandarkan tubuhnya santai. “Jika semua hasilnya sudah oke, kecocokan kromosom diantara kalian juga harus dilakukan, karena Anda menginginkan keturunan yang sempurna,” imbuh Varrel menegaskan kata ‘sempurna’. Rasha berdehem, dia bukannya tak paham istilah itu, tapi selama memutuskan inseminasi ini dia tak peduli dengan kondisi itu, tapi ada rasa peasaran sehinga membuatnya bertanya. “Kenapa harus sampai detail yang penting aku jadi pendonor dan memberikannya kepada penerima,” protes Rasha. Varrel tersenyum ramah. “Jika kalian berdua sepakat melakukan ini dan sebagai pasangan resmi, kami tak perlu melakukan pengecekan detail cukup sampai cek kondisi kesehatan dan kemungkinan kalian bisa melakukannya atau tidak,” jeda Varrel. “Namun, dari informasi yang saya ketahui, inseminasi ini karena keinginan Anda dengan wanita pilihan Anda juga,” ucap Varrel. “Dan menurut pandangan saya, proses ini lebih ke arah keputusan sepihak tanpa persetujuan dari wanita,” lanjut Varrel tanpa sungkan. “Secara tak langsung, Anda juga tidak tahu karakter wanita itu, emosinya, kesehatannya, hormon yang dia miliki. As my opinion that’s too risk Sir, if we don’t check up generally,” kekeh Varrel. Rasha mulai kesal dengan penjelasan dokter itu dan dia menatap dokter itu tak suka. “Aku sudah tahu soal kesehatannya, cukup lakukan saja tugasmu tak perlu ikut campur urusanku dengannya,” protes Rasha dengan tatapan sengit. Varrel ganti menyandarkan tubuhnya dan mengangkat tangannya. Dia mengeluarkan selembar kertas dengan bentuk bagan yang tak dimengerti oleh Rasha. “Pertemuan kali ini saya akan menitikberatkan konsultasi kesehatan terlebih dulu, karena pengaruh emosi Anda juga mempengaruhi kualitas benih yang akan Anda produksi,” ucap Varrel. Emosi Rasha semakin tinggi. “Kenapa kau banyak omong, cepat ambil sampelnya sekarang dan simpan dalam bank benih milikmu itu! Kenapa jadi mulutmu berbusa penuh drama,” ketus Rasha sambil menggebrak meja. Varrel memijat keningnya perlahan dan menuliskan sesuatu di kertas itu. Dia mendongak dan menggelengkan kepalanya kepada Rasha. “Ini tidak semudah itu Tuan, meskipun ini memang permintaan kalian tapi emosi akan mempengaruhi kualitas benih itu sendiri, karena benih Anda tidak bisa berada di luar rahim lebih dari 24 jam, itu artinya kami harus melakukan pengecekan mulai dari kondisi normal dan abnormalnya,” jelas Varrel. “Bos, tolong kendalikan diri Anda, ingat ini untuk Sandr,” bisik Digga pelan melihat tuannya yang tidak sabar. Rasha menyandarkan tubuhnya di kursi. “Jadi kapan itu bisa terlaksana secara sempurna,” tegas Rasha. “Saat saya sudah tahu kondisi penerima dan pendonor, terutama kita harus pastikan masa subur penerima donor, kurang lebih satu bulan agar tingkat –“ Brraaaakkk.. Kursi yang diduduki Rasha sudah jatuh tak beraturan. Varrel menahan napas melihat kelakuan Rasha itu. Sergy dan Digga hanya bisa menghela napas. “Kau pikir aku mengeluarkan uang sebanyak ini hanya untuk dengar ocehan teorimu dan berani memintaku bersabar sampai sebulan,” bentak Rasha. Varrel menarik napas, “Tapi kita memang harus tahu dulu waktu masa subur penerima Tuan, jika ingin satu kali percobaan dan berhasil. Dari data Ileanor, proses inseminasi ini akan dilakukan bulan depan,” kata Varrel. “Besok atau rumah sakit ini akan rata dengan tanah!” ancam Rasha dengan sorot mata menyeramkan. Dia berlalu dari sana dan pergi dengan bantingan pintu yang tak main-main kerasnya sampai semua orang melihat kejadian itu. “Astaga, tempramennya buruk sekali,” gumam Varrel dan menelpon Ileanor menjelaskan apa yang terjadi. Dalam perjalanan, ponsel Rasha berdering muncul nama Ileanor di layar ponselnya tapi dia tak peduli, karena di tahu apa yang akan temannya katakan. Namun, Ileanor tak putus asa dan terus menghubunginya sampai deringnya berhenti dan berganti menghubungi Digga, asisten Rasha. “Ada yang bisa saya bantu dokter?” tanya Digga sambil mengaktifkan mode pengeras suara. Rasha masih tak peduli. “Kenapa Bosmu tak mengangkat telponku, apa dia sudah tak membutuhkan inseminasi lagi, jika memang ga mau dibantu bilang sekarang aku akan membatalkan semuanya,” ancam Ileanor. Digga menoleh ke arah bosnya, Rasha menghela napas dan mengangguk. Digga membalas ancaman Ileanor sebelum pria itu menutup panggilannya. “Tolong maklumi Bos Rasha Dokter Ileanor, beliau dalam mood yang buruk karena banyaknya hal yang dia kerjakan dan waktu pengalihan Sandr semakin dekat,” kilah Digga. “Penerima donor, yaitu Nona Abelone tidak dalam masa subur sampai satu atau dua bulan lagi, karena kondisi hormonya yang tidak stabil,” ucap Ileanor. “Aku sudah katakan kepada bosmu soal ini, seharusnya dia membuat Nona Abi bahagia agar hormon oxytocin atau hormon cinta dan kebahagiaan dalam dirinya muncul, sehingga bisa membantu pembentukan indung telur dalam rahimnya,” jelas Ileanor perlahan. “Semakin mudah merasakan stress untuk penerima donor maka indung telur akan sulit terbentuk dengan baik yng akhirnya hanya akan meluruh dan menjadi darah haid,” lanjut Ileanor dengan napas tersengal. Rasha terdiam memikirkan itu sampai membuat Digga dan Sergy saling pandang. “Kalau dia haid itu artinya tidak ada pembuahan yang terjadi sehingga kalian tahu apa akibatnya ke depannya. Tidak ada anak, tidak ada pewaris Sandr. Katakan itu kepadanya dan suruh cari dokter lain jika dia masih memaksa besok,” sentak Ileanor dan menutup telponnya. Rasha menghembuskan napas kasar mendengarnya. Dia mulai terpengaruh dengan ucapan Ileanor, dia bukannya tak paham apa yang dimaksud dengan hormon oxytocin tapi bagaimana bisa dia membantu menciptakan kebahagiaan sedangkan ini masalah bisnis, bukan pribadi. Dan dia tidak ada niatan untuk melibatkan perasaan dengan Abi. “Kita temui Abisha sekarang,” ucap Rasha tiba-tiba membuat dua orang yang ada di depan saling pandang tapi tak bisa membantah dan memutar arah ke tempat Abi. Dua bola mata lentik itu serius memperhatikan televise yang menggambarkan adegan pembunuhan, kekerasan dan banyak adegan aksi lainnya. Suara televise juga sengaja dinyalakan dengan suara keras untuk meredakan rasa sepinya. Namun, sebenarnya ada misi di balik kondisi itu, Abi mencari cara untuk kabur dengan belajar melalui film tersebut, terutama dalam kondisi tanpa alat apapun seperti dirinya saat ini. Di pagi sampai sore hari dia dilayani oleh Maria, nama pelayan yang sebelumnya datang menolongnya dan dia kpulang pukul 4 sore. Setelah itu, Abi akan kembali sendirian dan tetap dikunci dari luar seperti sekarang. Dia memang tak banyak bicara dengan Maria, tapi dia sedikit demi sedikit berhasil mengorek informasi dari Maria orang seperti apa yang memperkerjakan dia. Dari informasi itulah dia mulai menyusun rencana untuk kabur dari sana. Abi bukan tak mencoba sama sekali, siang tadi dia menggunakan kursi makan untuk memecahkan kaca sama sekali tak berhasil, kaca itu seakan tebal dan kuat. Dan kegagalan itu semakin lengkap saat Maria memergokinya melakukan itu sampai dia menjerit membuat para penjaga masuk dan mengikatnya di kursi. Tapi karena kasihan Maria minta mereka melepaskannya, meskipun awalnya para pengawal tak setuju tapi Maria mengingatkan jika Abi tak boleh celaka membuat mereka menuruti permintaan Maria. Malam ini Abi berakhir di kamar sambil mengenakan piyama yang sudah tersedia di walk in closet apartemen. Abi tak menyangka jika semua pakaian yang ada di sini sama dengan seleranya dan yang mengejutkan ukurannya juga pas di badannya. Kondisi ini tak ayal membuatnya curiga jika semua ini sudah direncanakan lama dan memang dia sasarannya. Rasha kaget saat pintu depan terbuka, dia mendengar suara tembakan dan teriakan yang keras. Sergy menatap empat orang yang ada di sana tapi mereka hanya mengangkat bahu membuat Sergy hanya menghela napas. Rasha berjalan ke dalam diikuti Digga dan Sergy. Lelaki itu tak menyangka jika tingkah Abi sungguh absurd, dia seakan menganggap apartemen ini seperti mini bioskop sampai menyalakan volume keras seperti sekarang. Rasha terkejut meliohat pemandangan di dalam kamar utama apalagi pintu kamar utama yang memang tidak ditutup oleh Abi. Sergy dan Digga ikut melihat apa yang terjadi dan Rasha langsung menutup pintu itu tak peduli jika dua orang pengawalnya masih ada di dekatnya atau mungkin terjepit karena perbuatannya. Lelaki itu tak mau pemandangan yang menyenangkan gejolak pria itu dinikmati orang lain selain dirinya. Rasha menyandarkan tubuhnya di salah satu meja kecil yang ada di kamar sambil menatap Abi yang masih santai memakai celana pendek tipis yang membuat salah satu bagian tubuhnya terekspos jelas dengan warna kulit putih menggoda siapapun yang melihatnya. Atasan piyama dengan kancing tak beraturan sudah mulai terbuka membuat dua gundukan di dalamnya terlihat. Rasha memperhatikan gundukan itu walaupun tidak terlalu besar jika dibanding wanita yang biasa mendampinginya tapi terlihat berisi yang cukup membuat gejolak pria bangkit. Rasha berdehem melihat pemandangan sesat atau segar di hadapannya ini tapi sebagai laki-laki dia tak bisa bohong jika tubuh Abi tidak buruk dan mungkin jika dia punya waktu nantinya mereka bisa bersenang-senang bersama. Rasha menelan ludah dan menggelengkan kepalanya memikirkan hal itu, dia segera menyadarkan diri untuk tidak berpikiran terlalu jauh apalagi untuk melakukan hal konyol macam itu dengan wanita penerima bibitnya ini. ‘Rasha, ini hubungan bisnis,’ tekan Rasha dalam kepalanya. Rasha berdehem tapi tak mendapat perhatian dari Abi. Lelaki itu mengedarkan pandangan untuk mencari sesuatu dan melemparnya di kasur tempat Abi asyik duduk menonton film juga tak membuat wanita itu menoleh kepadanya. Rasha melangkahkan kakinya dan berdiri di depan televisi, tindakan itu seketika membuat Abi membulatkan matanya dan menjerit sampai dia berdiri di ranjang. Rasha yang melihat hal itu hanya memiringkan kepalanya dan memasang wajah datar. “Bagaimana kamu bisa masuk ke sini,” seru Abi tak menyangka jika orang yang dia temui sekarang adalah orang dia kenal selama ini. Rasha menolehkan kepalanya menunjuk pintu. Abi mengikuti arah pandang Rasha dan menyadari jika di ruangan ini hanya ada mereka berdua. Abi melihat pakaiannya dan dia segera menutupinya dengan menarik selimut yang ada di dekatnya. “Keluarlah dulu aku mau ganti baju, nanti kita bicara di luar,” perintah Abi. Rasha menaikkan alisnya, apa dia tak salah dengar, baru saja dia diperintah oleh seorang wanita yang baru dikenalnya yang notabene bakal jadi wanita penampung benihnya. “Apa kamu menyuruhku pergi,” sahut Rasha pelan tapi nadanya kesal. Abi mengangguk cepat, “Huss, sana cepat,” usir Abi. Rasha merasa semakin kesal dan dia mendekati Abi membuat wanita itu terpojok dan merapatkan tubuhnya dalam selimut. “Aku sudah melihat apa yang ada di dalam piyamamu, kenapa aku harus pergi dan menunggumu ganti baju, buang-buang waktu,” desis Rasha membuat tubuh Abi menegang. Rasha berbalik dan duduk di sofa single berhadapan dengan ranjang. Lelaki itu melihat jam di tangannya dan menatap Abi. “Aku punya waktu 15 menit untuk menjawab semua pertanyaanmu tapi jika tak ada yang kamu tanyakan, aku akan –“ Abi langsung duduk tegak dan memotong ucapan Rasha, “Kita ada dimana?” tanya Abi cepat. Rasha menyandarkan tubuhnya di kursi sambil menarik salah satu sudut bibirnya. “Denmark,” jawab Rasha santai. Abi terbelak mendengarnya, bagaimana ceritanya dia bisa smapai di negara orang lain, bagaimana dengan kelengkapan dokumen dan lain-lainnya apa kini dia jadi imigran gelap dan terlibat perdagangan manusia. “Aku tidak menjualmu,” jawab Rasha seakan tahu apa yang ada di pikiran wanita itu membuat Abi menghela napas lega. “Tapi aku membayarmu untuk menerima benih dariku dan hamil anakku, setelah itu kamu bebas kembali ke kehidupanmu,” jelas Rasha singkat tanpa menggunakan bahasa yang halus. Deg. Speechless. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN