Abil
Aku menatap malas ke arah makanan yang baru saja Rega beli. Sudah empat hari ini aku terkena diare dan sedikit demam. Mau minta izin libur, aku merasa tidak enak karena baru beberapa hari masuk kerja. Meski badanku lemas tidak karuan, aku paksakan untuk tetap masuk. Untungya, Rega mau antar jemput ke rumahku. Sekalian minta sarapan, katanya.
“Dimakan kek Bil, wajah lo pucet bener.” Sudah lebih dari lima kali Rega mengingatkanku untuk segera makan. Makanan yang tadi dia beli sudah dingin, mengingat bungkusnya sudah lama dibuka, tetapi tak kunjung kumakan.
“Mual, Ga, nanti juga makanannya keluar lagi.”
“Izin pulang cepet aja gimana?”
“Jangan. Nggak enak sama yang lain. Kerjaan juga masih banyak.” Aku menggeleng, lalu menelungkupkan kepala di atas meja.
“Capek gue, ngingetin lo. Ya udah, yang penting kalau ada apa-apa bilang sama gue. Lo udah gue anggep adik sendiri.”
“Iya, Ga, makasih.”
Baru saja mataku terpejam beberapa saat, tiba-tiba aku mendengar suara yang langsung membuatku kembali terjaga.
“Abil sakit?” seketika aku mendongak begitu mengali suara itu, suara milik Pak Elvano.
“Dikit Pak,” sahutku pelan.
“ Panggil Mas aja Bil, aku belum setua itu.”
“Hehe. Iya, Mas El.”
“Sakit apa?”
Kali ini Pak Elvano... ralat, maksudku Mas Elvano menarik kursi dan duduk tepat di depan mejaku.
“Demam.”
“Mau aku anter periksa di poliklinik perusahaan? Kayaknya kamu udah beberapa hari ini keliatan pucat.”
Aku menggeleng pelan. “Nggak usah, Mas. Saya nggak papa.”
“Jangan sungkan, kalau butuh apa-apa bilang aja.”
“Iya...”
Dilihat dari segi mana pun, Mas El itu tampan. Wajahnya putih bersih dan hidungnya juga mancung. Dan bukannya aku kepedean, tapi aku yakin sekali kalau dia tertarik padaku. Hampir setiap hari sejak pertama kali aku masuk kerja, dia selalu meunjukkan perhatian lebih padaku. Akan tetapi, entah kenapa aku sama sekali tidak tertarik padanya. Entah tidak atau masih belum. Aku tidak yakin dengan diriku sendiri.
“Gimana Bil, rasanya diperhatiin sama Mas El?” bisik Nadia, teman satu departemen yang mejanya berada tepat di sebelahku. Dia juga karyawan baru sama sepertiku.
Jadi, dari total enam orang depatemen perancangan dan pengembangan aplikasi, tiga diantaranya adalah karyawan baru. Yaitu aku, Rega, dan Nadia.
“Biasa aja. Kenapa emang?”
“Dia kayaknya suka sama lo deh, Bil?” Nadia tiba-tiba beringsut mendekat, tanda kalau dia sedang dalam mode ingin bergosip.
“Iya tahu.”
“Lonya gimana?”
“Nggak gimana-gimana.” Aku menggeleng, juga mengedikkan bahu.
“Ganteng loh Bil, mana baik banget.”
“Ya terus kalau ganteng harus balas suka, gitu?”
“Kalau lo nggak mau, buat gue aja Bil.” Nadia tertawa pelan.
“Ambil aja sono.”
“Nggak ah, ntar bertepuk sebelah tangan.”
Dua setengah jam berlalu, dan sekarang sudah saatnya pulang. Setelah membereskan beberapa berkas, aku segera menyusul Rega yang katanya harus menyerahkan laporan mingguan ke ruangan ‘Pak Bos’ terlebih dahulu.
Ngomong-ngomong bos, jujur, aku belum tahu wajahnya sama sekali. Lagian aku tidak tertarik. Aku rasa bos perusahaan kami kurang lebih sama dengan bos pada umumnya. Laki-laki setengah baya dengan perut buncit khas orang kaya.
Duh, asumsiku gini amat, ya?
Aku ralat, maksudku begini, biasanya owner perusahaan itu orangnya sudah tua, terlepas postur tubuhnya bagaimana. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan kalau dia sudah mempercayakan pada anak atau sanak saudara yang lebih muda. Aku tidak tertarik karena merasa tanggung jawabku sekarang cukup pada Mas El, karena dia kepala departemenku, alias atasanku langsung.
Iya, kan?
“Bil!” aku langsung menoleh ketika mendengar suara Rega.
“Iya, Ga? Udah jadi ketemu Pak Bos?”
“Udah. Tapi itu, eee bude barusan telfon katanya Leni masuk rumah sakit. Kayaknya aku nggak bisa anter kamu pulang.”
“Si Leni sepupu lo itu? Sakit apa dia?”
“Gejala tipes katanya. Gimana nih Bil, gue buru-buru.”
Melihat Rega tampak panik, akhirnya aku menggeleng pelan. “Nggak papa, Ga, aku bisa pulang sendiri naik bis.”
“Jangan bis. Taxi aja. Besok ongkosnya gue ganti.”
“Lebay banget! Nggak usah!”
“Beneran, Bil. Lo kan lagi sakit. Nanti kalau desak-desakan, lo pingsan di jalan gimana?”
“Enggak Ga, enggak. Gue masih kuat kok.” Aku menepuk pundak Rega untuk meyakinkan dia kalau aku baik-baik saja.
“Beneran nih, lo nggak papa kalau gue tinggal?”
“Lo kira gue anak kecil?” aku pura-pura menatap kesal, ke arah Rega.
“Masalahnya lo lagi sakit, b**o!”
“Hush hush! Udah sana. Kasian bude sama sepupu lo.”
“Beneran nggak papa? Sorry banget ya, Bil, gue duluan!” Rega balas menepuk pundakku, sebelum akhirnya dia berlari meninggalkanku sendirian.
Setelah Rega pergi, aku berjalan pelan menuju lift. Aku terus menunduk karena kalau kepalaku terangkat sedikit saja, pusing itu datang lagi.
***
Juna
Aku bersandar ke dinding lift sementara lift bergerak turun menuju lobi kantor. Untuk kesekian kalinya, aku pulang menunggu kantor sepi.
Ting!
Pintu lift terbuka. Aku melihat seorang perempuan dengan kepala menunduk ikut masuk lift yang sama denganku. Perempuan itu berjalan ke sudut dan bersandar disana. Aku menoleh dan menatap kearah name tag-nya.
“Nabila Arshita Malik?” aku membatin dalam hati.
Mataku seketika melebar begitu ingat kalau nama itu adalah milik perempuan yang tempo hari menolongku. Memang, setelah malam itu aku tahu kebenarannya dari Dek Risa, aku belum melihat perempuan ini lagi. Dan di sini aku melihat kejanggalan. Dia kenapa?
“Nabila?” aku menyapanya terlebih dahulu.
“Eh, iya?” dia mendongak dan menatapku. Aku tertegun begitu melihat wajahnya sangat pucat dan pias.
“Oh, mas yang kemarin ya? Maaf, saya nggak lihat,” balasnya dengan suara pelan dan senyuman tipis. Ralat, sangat tipis, nyaris tak terlihat.
Ting!
Kami sampai di lantai satu. Perempuan ini, maksudku Nabila, keluar terlebih dahulu. Dia berjalan pelan sekali dan kepalanya masih tertunduk.
“Pak Jun—“
“Ssst!” aku mengisyaratkan Reni untuk diam. Reni menangguk, tetapi dia tampak bingung. Reni adalah salah satu karyawan yang bertugas di lobi. Dia tampaknya hanya sekedar menyapa karena mau pulang.
“Saya duluan, Pak.”
“Iya.”
Kembali ke Nabila, saat ini aku masih mengikutinya. Melihat gerak-gerik dia yang sedikit membuatku khawatir, akhirnya aku putuskan untuk mengikutinya.
Mataku melebar begitu melihat tiba-tiba perempuan itu limbung. Aku berlari dan menangkap pundaknya. Wajahnya mendongak. Dia tersenyum pias ketika melihatku.
“Makasih, Mas.”
“Kamu sakit?” tanyaku sambil membantunya berdiri tegak.
“Sedikit.”
“Mau saya—“
Kalimatku terhenti begitu perempuan itu jatuh pingsan. Praktis aku langsung menangkapnya agar tidak jatuh ke tanah.
“Abil!” Aku menoleh ketika tiba-tiba ada yang berlari mendekat. Dia Elvano, kepala Departemen Perancangan dan Pengembangan Aplikasi. Aku memang tidak menghafal seluruh karyawanku, tapi setidaknya, aku hafal di luar kepala setiap kepala departemen.
“Pak Juna, biar saya saja. Saya mau membawanya ke rumah sakit. Dia sudah sakit sejak beberapa hari yang lalu.”
“Oh, silahkan.” Praktis aku melepas tanganku ketika Elvano mengangkat Nabila dan menggendongnya ke mobil.
Entah kenapa, aku merasa sedikit tidak rela ketika Elvano mengambil Nabila dari tanganku. Akan tetapi, akan sangat aneh jika saat ini aku mengambil lagi Nabila dari Elvano dan bilang kalau sebaiknya aku saja yang mengantarnya ke rumah sakit.
“Terimakasih banyak, Pak, sudah mau menolong Abil.” Elvano kembali menghampiriku dan menunduk sesaat.
“Kamu pacarnya?” tanyaku kemudian.
“Iya pak. Maksud saya, sebentar lagi. Saya permisi.” Elvano berlari meninggalkanku. Aku diam mematung sampai mobil milik Elvano pergi dan tidak terlihat lagi.
“Sudah punya pacar rupanya,” gumamku pelan. Entah kenapa, aku merasa sedikit kecewa ketika mengetahui fakta itu. Memangnya apa yang aku harapkan?
Dia cuma malaikat penolongmu Jun, tidak lebih.
Tanpa sadar, aku tersenyum getir.
***