6. Salah Paham

1341 Kata
Abil                   “Udah sembuh, Bil?” Nadia yang baru datang, langsung menghampiriku begitu dia melihatku hari ini masuk kantor. “Udah, Nad.” Aku mengangguk, lalu tersenyum lebar.   Selama dua hari sejak aku pingsan sore itu, aku izin tidak masuk kerja. Kalau kata Rega,  aku dibawa ke rumah sakit oleh Mas El. “Beneran nggak sih, kalau Pak Elvano yang bawa lo ke rumah sakit?” tanya Nadia, begitu dia sudah duduk di kursinya. “Iya Nad. Kemaren Rega sama Mama bilangnya gitu.” “Mama? Pak El udah ketemu Mama lo?” Mata Nadia mendelik kaget. “Yap! Ya kan dia yang bawa gue ke rumah sakit. Gimana, sih?” “Gile, si. Segitunya ya, dia ngejar lo.” Nadia geleng-geleng tak percaya.                 Memang kurasa Mas El ini agak berlebihan mengejarku. Kami bahkan kenal belum lama, aku juga belum menunjukkan gelagat akan membalas perasaanya, tetapi dia terus saja menunjukkan perasaannya secara terang-terangan di depan semua orang. “Tapi sebenernya gue ngrasa aneh tau Nad,” “Aneh gimana?” Merasa ada yang janggal, Nadia kali ini langsung menarik kursinya agar mendekat ke arahku. “Seingat gue sebelum pingsan, yang nolongin gue pas mau jatuh, bukan Mas El. Tapi orang lain.” “Siapa?” “Nggak tau namanya. Pokoknya dia karyawan sini juga. Kalau nggak salah orang departemen keuangan.” “Cewek dong?” Alis Nadia seketika terangkat sebelah. “Cowok, kok.” “Ye, jangan ngaco. Orang departemen keuangan isinya cewek semua.” Nadia menepuk pelan lenganku, juga menatapku penuh sangsi. “Seriusan? Berarti gue dibohongin dia dong.” “Iya, serius. Orang departemen keuangan isinya cewek semua. Kecuali kepala departemen, namanya Pak Rudi. Itu pun beliau udah tua. Apa jangan-jangan yang kamu maksud itu Pak Rudi?” kali ini Nadia melongo tak percaya. Ini anak, memang jagonya pasang ekspresi hiperbolis. “Bukan. Orangnya masih muda. Badannya tinggi. Wajahnya good looking banget. Ganteng lah, pokoknya.” “Sama Pak Elvano gantengan siapa, Bil?” “Ganteng dia deh kayaknya. Pokoknya wajahnya enak banget dilihat.” “Ha? Siapa, ya? Setahu gue sih, karyawan yang paling ganteng ya Pak Elvano. Yang lainnya biasa-biasa aja. Ada sih, beberapa yang ganteng, tapi masih kalah sama Pak Elvano. Kalau yang super ganteng pake banget, dia bukan karyawan tapi Pak Bos kita. Dia masuk jajaran bos besar, yang membawahi para kepala departemen.” “Bos besar? Bukan, bukan. Dia karyawan kok, orang wawancaranya aja bareng kita.” Meskipun aku belum tahu seperti apa wajah Pak Bos yang kata Nadia ganteng, tetapi aku rasa pasti bukan dia. Yang menolongku itu kan bilang kalau dia ikut wawancara di hari yang sama denganku. “Siapa, ya, Bil? Gue nggak ngerti kalau gitu.” Nadia mengedikkan bahu.                 Aku diam sejenak. Laki-laki itu siapa, ya? Dengan wajah seganteng itu masak masih low profile? Kalau Nadia aja tidak tahu, apa lagi aku? Ngomong-ngomong, Nadia ini paling tidak bisa kalau lihat cowok ganteng. Bikin lemah katanya. “Eh Rega hari ini nggak masuk, ya?” tanya Nadia ketika dia tiba-tiba berdiri dan berjalan menuju meja milik Rega “Enggak Nad, dia harus jagain sepupunya. Kasian pakde sama budenya.” “Emang gimana keadaan sepupunya?” “Ternyata bukan gejala tipes. Tapi demam berdarah.” “Ya ampun, kasian!” ***                 Hari ini terpaksa aku pulang naik angkutan umum lagi. Tadi pagi, Farel yang mengantarku berangkat kerja. Motorku lagi-lagi masuk bengkel. Maklum, motor tua. Huhu! “Gue duluan ya, Bil!” Nadia melambaikan tangannya. “Iya, hati-hati.”                 Tiap pulang kerja, Nadia harus menjemput adiknya dari tempat les-lesan. Maka dari itu, dia tidak bisa menawariku tumpangan meski rumah kami searah.                 Aku berjalan menuju halte yang terletak kurang lebih seratus meter dari gerbang kantor. Belum ada sepuluh langkah aku keluar gerbang, tiba-tiba honda jazz silver berhenti tepat di sampingku. “Aku anter pulang, Bil.” Muncul wajah Mas El begitu kaca mobil di turunkan. “Nggak usah, Mas. Rumah kita berlawanan.” “Nggak papa, Bil. Gimana, udah sehat beneran?” “Udah Mas. Makasih banyak ya…” Aku tersenyum sekenanya. “Sama-sama. Ayo masuk…” “Nggak, Mas, makasih. Aku masih mau mampir cari buku, kok.” “Ya udah sekalian kalau gitu. Aku juga mau cari buku.”                 Aku mengumpat dalam hati. Ini cowok getol banget kalau urusan PDKT. Please, hari ini aku sedang malas basa-basi. “Nggak baik loh Bil, nolak kebaikan orang.” “Emmm bukan gitu. Soalnya aku juga mau ada urusan lain setelah beli buku. Lain kali aja, Mas.” “Beneran? Padahal nggak papa kalau mau ikut. Aku antar kemana aja kamu mau pergi.” Mendengar itu, aku mengehala napas panjang. Tampaknya, Mas El benar-benar ingin sekali pulang denganku. Dia masih saja menawariku naik mobilnya, padahal aku sudah sering menolaknya.   “Nggak, Mas. Lain kali saja. Makasih buat tawarannya.” “Ya udah kalau gitu. Aku duluan ya!” “Iya, Mas.”                 Aku menghembuskan napas lega begitu mobil Mas El pergi. Bukannya aku tidak suka dikasih perhatian, cuma kalau over begini akunya malah risih. Dan masalah cari buku, sebenarnya aku tidak bohong. Aku memang sudah ada rencana cari buku.   Belum lagi karena malam ini malam minggu, pasti di rumah tidak ada orang. Farel main ke rumah temen kuliahnya, sementara Papa dan Mama pasti punya agenda. Quality time katanya, biar tidak kalah sama anak muda. Padahal anaknya sendiri kalau tiap malam minggu cuma meringkuk di kasur sambil scroll sosial media. Ckck ! ***                 “Cari buku apa mbak?” Tanya petugas toko, tepat ketika aku baru saja melangkah masuk. “Buku tetang algoritma pemograman ada, Mbak?” “Öh ada, ada.” Petugas itu tersenyum ramah, lalu keluar dari kubikelnya. “Di sebelah mana, ya, Mbak?” “Di Rak paling ujung itu, Mbak. Yang warna hijau muda. Di sana banyak versi dari berbagai penulis.” Petugas itu menunjuk rak super besar yang terletak di paling ujung. “Oke. Makasih mbak,” “Sama-sama.” Aku berjalan menuju rak itu dan mulai mencari buku yang aku butuhkan. Aku tersenyum sendiri membayangkan dulu waktu di Jogja hampir setiap hari libur aku mampir ke toko buku. Kadang sendiri, kadang bersama teman jurusan. Sekarang rasanya beda. Di Jakarta tidak banyak orang yang aku kenal. Ditambah lagi, Ivi sekarang di luar negri untuk lanjut kuliah. Memang dia sangat beruntung. Selain memiliki otak yang brilian, orang tuanya juga sangat mampu. Sementara aku? Meski kata teman-teman otakku juga otak brilian, tapi orang tuaku bukan dari keluarga kaya raya. Ya memang cukup berada, cuma masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan keluarga Ivi yang notabene keluarga konglomerat.                 Kembali ke buku yang sedang aku cari, sudah hampir setengah jam aku memutari rak itu. Aku nyaris putus asa karena buku yang aku cari belum ketemu. Atau mungkin malah sebenarnya tidak ada. Aku mundur dua langkah dan menatap rak paling atas. Aku melihat satu persatu judul buku yang ada di sana. Mataku membulat sempurna begitu melihat buku yang aku cari ada diantara buku-buku yang covernya mirip. Pantas saja susah ditemukan!                 Aku berjinjit untuk mengambil buku itu, dan jangkauan pertamaku gagal. Aku mencoba berjinjit lagi dan jangkauan keduaku juga gagal. Akhirnya, aku memutuskan untuk memanggil pegawai toko untuk membantu mengambil buku itu. “Mbak—“ Kalimatku seketika berhenti, begitu melihat laki-laki yang sudah dua hari ini aku cari, sedang berdiri di depan kasir degan tangan merangkul seorang gadis berambut lurus sepunggung. Aku tidak bisa melihat wajah gadis itu karena dia memunggungiku. Tapi yang jelas, dia membawa jas putih di tangannya. Aku rasa gadis itu seorang dokter. “Bayarin loh, ya!” “Kaya biasanya enggak.” Laki-laki itu mengacak gemas rambut si gadis.                 Tanpa sadar, aku tersenyum getir. Sepertinya aku hanya terlalu berharap lebih pada kebaikan laki-laki itu. Dan sepertinya juga, kejadian di halaman kantor hanya halusinasiku saja. Buktinya, yang ada di sampingku ketika aku sadar bukan laki-laki itu, melainkan Mas El.                 Sudahlah, lain kali aku harus lebih realistis. Memang aku siapanya? Aku tidak lebih dari perempuan yang tanpa sengaja mendapat pertolongannya.                 Begitu aku melihat laki-laki itu balik badan, aku segera mundur beberapa langkah untuk bersembunyi. Kuharap kami tidak akan bertemu lagi. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN