4. Itu, Dia?

1502 Kata
Abil                   Hari pertama masuk kerja. Apa yang akan kalian lakukan? Tampil paripurna? Atau bagaimana? Akhirnya, setelah beberapa bulan statusku adalah pengangguran, mulai hari ini statusku berubah kembali menjadi bukan pengangguran. Memang benar, rezeki setiap orang sudah diatur. Meski aku gagal bekerja di perusahaan Papa Ivi, sekarang aku mendapat gantinya. Bahkan aku rasa perusahaan yang sekarang lebih cocok dengan jurusanku, ilmu komputer. Ngomong-ngomong, aku ditempatkan di departemen perancangan dan pengembangan aplikasi. “Abil!” tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku. Begitu aku menoleh, senyumku langsung mengembang lebar. Dia Rega, teman baruku. “Hai, Ga! Kita satu departemen kan?” tanyaku begitu Rega sudah berdiri di sebelahku. Ngomong-ngomong, kami bertemu pertama kali waktu wawancara minggu lalu. Hubungan kami mengingkat pesat setelah tahu ternyata Rega ini anak bungsu dari salah satu saudara jauh Papa yang ada di Semarang. Jadi bisa dibilang, Rega ini temanku sekaligus saudara jauh. “Yak betul. Yuk, Bil, langsung masuk. Excited banget nih, gue.” Aku langsung tertawa mendengarucapan Rega. “Sama, Ga. Udah terlalu bosan nganggur soalnya.”                 Akhirnya, aku dan Rega bergegas masuk kantor. Kami menunduk sopan tiap kali melihat senior lalu lalang di sekitar kami. Setelah sampai di ruangan, kami langsung duduk di meja masing-masing. Ada tulisan nama di setiap meja, jadi kami tidak bingung harus memakai komputer yang mana. “Nabila, ya?” aku mendongak dan mendapati ada laki-laki berdiri tepat di depan mejaku. “Iya, saya Nabila. Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku agak grogi mengingataku baru saja masuk dan belum mengenal siapa pun di sini kecuali Rega. “Kenalkan, saya Elvano, kepala Departemen Perancangan dan Pengembangan Aplikasi.” Laki-laki itu tiba-tiba mengulurkan tangannya. “Eh? Kepala departemen? Ah iya, iya. Saya Nabila. Mohon bimbingannya.” Aku berdiri dan menyambut uluran tangan itu, lalu tersenyum canggung. “Panggil saya El. Orang-orang terdekat saya manggil saya begitu.” “ Ya?” aku melongo, agak kaget karena orang ini tiba-tiba menyebut ‘orang terdekat’. “Ehm!” Rega berdehem disampingku. Aku meliriknya dan ternyata anak itu sedang menahan tawa. “Saya mau menemui atasan dulu. Kalau butuh bantuan, jangan sungkan bilang sama saya. Arahan buat karyawan baru nanti saya mulai jam sepuluh. Sebelum jam itu, kalian bebas mau ngapain.” “Eh iya, eee.... Pak El?” “El saja. Atau Mas El juga boleh.” “He?” aku mengerjapkan mata beberapa kali. “Saya pergi dulu.”                 Aku mematung ditempat. Apa maksudnya orang ini? “Hahaha! Hari pertama masuk kerja udah dilirik senior, anjir!” Rega mulai tertawa setan. “Diem, lo!” sungutku sebelum kembali duduk. “ Lumayan loh bil. Bening.” “Apaan, sih!” Aku menatap Rega malas, lalu mulai menyalakan komputer yang ada di depanku. “Memang nggak sia-sia lo, Bil, punya wajah kinyis-kinyis begitu.” “Diem nggak?” aku melotot. “Iya-iya. Nih, gue diem.” Rega menipiskan bibir, lalu kedua jarinya bergerak dari kiri ke kanan bibirnya, mengisyaratkan kalau dia benar-benar akan diam                 Aku menatap ke penjuru ruangan. Setidaknya ada enam meja di ruangan ini. Berarti ada enam orang yang satu departemen denganku. Mungkin tiga yang lain belum datang atau bisa jadi sedang pergi entah kemana. “Ga, kita harus ngapain sekarang? Pengarahannya masih nanti jam sepuluh.” “Gimana kalau lo anter gue beli makan?” Rega meringis, menunjukkan gigi taringnya yang menyerupai vampir. “Lo belum sarapan?” “Belum. Bude gue telat bangun sih, jadi belum sempet masak.” “Di Jakarta, lo tinggal sama bude? Kata Papa, lo tinggal sama pakde?” “Nggak lucu! Bude sama Pakde gue tinggal serumah, dodol.”                 Aku tertawa pelan, menyadari kalau candaanku benar-benar garing. “Ya udah, ayo kalau mau ke kantin.” Mendengar itu, Rega langsung berdiri dan menghampiri mejaku. “Ayo!” *** Juna                   Hari ini berakhir dengan begitu cepat. Aku melirik jam tanganku, dan ternyata jam sudah menunjukkan pukul lima kurang beberapa menit. Aku rasa kantor pasti sudah mulai sepi. Aku merapikan beberapa berkas yang ada di meja sebelum akhirnya menyambar jas dan bergegas pulang. “Baru pulang, Pak Juna?” aku reflek menoleh begitu mendengar pertanyaan itu. “Ah, iya.” Aku menjawab sekenanya. Pasalnya aku tidak benar-benar hafal seluruh karyawan yang bekerja di kantor ini.                 Aku berjalan santai menuju parkiran. Setelah ini, aku harus menjemput Dek Risa karena hari ini dia tidak membawa motor. Tadi pagi dia dijemput temennya waktu berangkat ke rumah sakit. Tin!                 Aku balik badan begitu mendengar suara klakson motor. “Wah! Ketemu lagi nih, Mas!”                 Aku menyipitkan mata. Siapa perempuan ini? Aku tidak bisa melihat wajahnya karena tertutup kaca helm. “Ternyata masnya diterima kerja disini juga,” lanjutnya yang semakin membuatku bingung. “Siapa?” tanyaku sembari menggerakkan tangan di depan wajah, mengisyaratkan perempuan itu untuk membuka kaca helmnya. “Eh iya, ya ampun!” saat itu juga, perempuan itu menaikkan kaca helmnya dan tersenyum lebar ke arahku. Ah, perempuan yang waktu itu. “Saya berutang budi sama masnya.” “Jangan dipikir, Mbak. Bukan apa-apa.” Perempuan itu meringis. “Hehe, makasih. Ngomong-ngomong, Masnya kerja di departemen apa, kalau boleh tahu?” “Hah? Oh itu. Departemen Perancangan dan Pengembangan Aplikasi.” Aku menjawab spontan. “Loh? Berarti kita sama. Tapi kok tadi saya nggak lihat Masnya?” “Eeee, maksud saya, Departemen Keuangan.”                 Aku tidak tahu kenapa, aku ingin terus menjawab pertanyaan perempuan ini. Padahal, aku bisa saja mengabaikannya. “Oh, Kirain…” “Abil! Buruan woy! Keburu malem. Mau gue tinggal?” tiba-tiba saja, terdengar sebuah teriakan suara berat milik laki-laki “Eh iya, Ga! Gue kesitu!” perempuan juga itu balas berteriak. “Duluan ya, Mas. Saya sudah ditunggu. Lain kali saya janji akan membalas kebaikan Masnya yang waktu itu.” Perempuan itu menyalakan motornya dan pergi meinggalkanku sendirian di parkiran. Untuk kedua kalinya, aku berbohong pada orang yang sama. Dan lagi-lagi, bukannya merasa bersalah, entah kenapa justru aku merasa senang. ***                 “Mas, mampir beli makan dulu, ya?” ucap Dek Risa malam itu, begitu masuk mobil. “Ntar aku aja yang masak—“ “Lah, aku pengennya makan pizza. Lagian emangnya Mas Juna nggak capek nunggu aku sampai hampir satu jam?”                 Dek Risa benar, sebenarnya aku juga lelah. Apalagi karena Dek Risa mendapat tugas dadakan dari seniornya, aku sampai harus rela menunggunya cukup lama. “Ya capek sih, banget malah.” “Ya udah, makanya beli aja. Mau burger juga boleh. Pokoknya lagi nggak mau makan nasi.” “Ya udah. Tapi kamu yang bayar.”                 Dek Risa langsung mendelik begitu mendengar kalimatku. “Kakak macam apa yang membiarkan adiknya bayar makan sendiri?” “Sekali-kali dong, Dek. Kan udah mulai dapat gaji juga.” “Uang Mas Juna kan unlimited, lah uangku? Boro-boro!” Aku tertawa mendengar balasan Dek Risa.  Unlimited katanya? Memangnya dia kira uangku ini wifi kampus?                 Akhirnya, setelah kurang lebih sepuluh menit kami mengendarai mobil pelan-pelan, akhirnya kami berhenti di salah satu kedai yang menjual berbagai macam pizza dengan varian rasa. “Makan ditempat aja ya, Mas. Biar masih anget.” “Iya, aku ikut kamu.”                 Setelah Dek Risa memesan satu loyang pizza berukuran sedang, kami berjalan ke tempat duduk yang terletak paling ujung dan dekat jendela. Namun, baru saja Dek Risa menggigit potongan pizza pertamanya, tiba-tiba dia memekik dan menutup mulutnya dengan tangan. “Ada apa, Dek?” “Bentar. Perempuan itu nggak, sih?” praktis saat itu juga aku ikut menoleh ke arah yang sama dengan tatapan mata Dek Risa. Keningku berkerut samar begitu tidak melihat orang yang cukup familiar di mataku. “Liatin siapa sih, Dek?” “Itu loh, Mas. Perempuan yang pake topi dan berdiri di dekat kasir.” Kali ini Dek Risa sudah menurunkan sebelah tangannya, lalu melanjutkan kunyahan pizzanya yang sempat tertunda. “Nggak keliatan wajahnya. Nunduk gitu, main hape.” “Ya makanya aku lagi nunggu dia nggak nunduk lagi. Barusan aku udah lihat wajahnya sekilas.” “Kenapa emang?” “Ssst! Nanti aku jelasin.” Dek Risa masih fokus menatap perempuan itu sementara aku sudah masa bodoh. “Sumpah! Beneran dia orangnya!” kali ini aku kembali menoleh. “Siapa, sih?” “Mas, lihat deh, perempuan yang pake jaket pink sama pake topi.” Dek Risa kini dengan percaya dirinya menunjuk perempuan itu dengan jari telunjuk. “Iya, kenapa? Eh bentar... dia itu satu karyawan baru di kantorku. Siapa ya, namanya? Nabila atau siapa, gitu, kalau nggak salah.”                 Kali ini Dek Risa malah melotot ke arahku. Ini anak kenapa, sih? “Demi apa, dia kerja di kantor Mas Juna?” tanyanya dengan ekpresi yang menurutku agak hiperbolis. “Iya. Kami malah sudah saling sapa beberapa kali.” “Ah, syukurlah. Aku nggak perlu kesusahan cari dia lagi. Hampir aja aku mau lari buat nyamperin dia.” “Kenapa emang? Kamu kenal dia?” Aku yang tiba-tiba merasa haus, langsung meneguk air mineral yang ada di depanku. “Asal Mas Juna tahu aja, dia ini yang nolongin Mas Juna waktu kecelakaan.” Uhuk uhuk!                 Aku tersedak minumanku begitu mendengar ucapan Dek Risa barusan. “SERIUSAN, DEK?” *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN