7. Bus Menuju Jogja

1295 Kata
Juna                   Aku tersenyum kepada seluruh pegawai yang datang begitu turun dari mobil dan bergabung dengan mereka. Hari ini adalah agenda rutin, dimana tiap kali perusahaan merekrut pegawai baru, maka perusahaan akan mengadakan jalan-jalan bersama. Acara ini bertujuan untuk menumbuhkan keakraban dan rasa kekeluargaan antar pegawai. Target peserta yang mengikuti acara ini adalah seluruh pegawai baru dan beberapa pegawai lama yang ditugaskan untuk membimbing. Tahun ini, kami mengadakan acara tahunan di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Biasanya kami mengambil tempat yang berbeda di setiap tahunnya. Dan tahun ini pilihan kami jatuh pada salah satu kabupaten di Yogyakarta yang terkenal akan keindahan pantai-pantainya.                   Dari total tiga puluh lima pegawai baru, tiga puluh direkrut dua bulan lalu, dan lima sisanya baru direkrut satu bulan lalu. Aku mendengar dari panitia, yang ikut acara ini hanya tiga puluh satu orang, empat orang sisanya izin karena alasan pribadi. Untuk pegawai lama, ada sekitar lima belas orang yang ditugaskan. Kami menyewa Bus Besar untuk transportasi ke Yogyakarta. “Kita berangkat jam berapa, Pak Juna?” tanya Pak Rendra beberapa saat setelah aku duduk di dekat beliau. “Yang bilang bisa ikut acara hari ini, semuanya udah datang?” “Sepertinya sudah, Pak. Atau lebih baiknya kita semua naik bus dulu saja dan nanti saya absen di dalam?” “Boleh, Pak. Ide bagus.                 Pak Rendra mengumumkan kepada seluruh pegawai yang datang untuk segera masuk bus karena perjalanan akan segera dimulai. Begitu naik bus, aku duduk di kursi penumpang paling depan. Sampingku jelas kosong karena aku rasa tidak ada yang berani duduk di sampingku. Oh, atau mungkin Pak Rendra yang akan duduk di sampingku nanti setelah beliau selesai mengabsen. “Abil sama Rega belum datang, Pak Ren. Masih kejebak macet katanya, tapi mereka udah deket.” Aku mendengar teriakan dari arah belakang. “Ditunggu saja pak, kasihan,” ucapku yang langsung dibalas anggukan oleh Pak Rendra. Abil sama Rega siapa pula? Aku jelas belum benar-benar paham siapa saja pegawai baru di kantorku. Ngomong-ngomong pegawai baru, entah kenapa sudah hampir dua minggu ini aku tidak melihat Nabila. Gadis yang pernah aku tolong dan juga menolongku. Terakhir aku melihat dia ya waktu dia jatuh pingsan di halaman sore itu. “Mereka datang!” pekik suara yang terdengar sama dengan suara tadi. “Cepat, cepat! Kalian ini!” “Maaf, Pak! Sumpah, jalanan macet banget.” Dua orang datang depan belakang. Yang satu laki-laki dan yang satu perempuan. Aku tidak memperhatikan wajah mereka karena aku pikir itu tidak terlalu penting. “Kami duduk dimana pak? Kok kayaknya udah penuh?” Mereka jalan ke tengah-tengah bus untuk mencari kursi yang masih kosong. “Masih dua kursi yang kosong di depan. Tuh sampingnya Pak Juna sama sampingnya Riziq. Saya duduk di Kursi yang deket pak supir.” “Gue yang samping Riziq!” Itu suara laki-laki. “Ga? Kok lo tega sih?” “Biar sekalian lo kenalan sama Pak Bos. Pegawai macam apa lo, yang nggak tau wajah bos sendiri?” “Ga! Diem!”                 Aku tersenyum kecil mendengar perseteruan mereka. Jangan kira aku akan marah hanya karena hal kecil seperti itu. Asal kalian tahu, bahkan ada pegawai yang baru tahu wajahku setelah hampir satu tahun bekerja. Itu karena saking tidak pernahnya dia terlibat langsung denganku. Jadi aku rasa perempuan itu sangat wajar. Dan aku sama sekali tidak tersinggung. “Selamat malam, Pak. Maaf, saya—“ Kalimat itu terputus begitu aku menoleh. Perempuan itu menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya melebar dan kelihatan sekali kalau dia sedang terkejut. “Silahkan duduk, jangan takut. Dibuat santai saja.”                 Perempuan itu mengerjapkan mata berkali-kali. Dia masih bergeming dari keterkejutannya. Oh ayolah, apa wajahku setampan itu sampai dia sangat terkejut begitu melihatku? “Ada apa? Tidak mau duduk?” tanyaku kemudian. Perempuan itu masih menutup wajahnya dengan tangan sementara dia mulai berhati-hati duduk di sebelahku. Pak Rendra menyuruh supir untuk segera masuk dan tak berselang lama, bus mulai melaju. “Saya bau ya, sampai kamu menutup mulut dan hidung seperti itu?” aku memutuskan untuk bertanya setelah beberapa saat lamanya perempuan itu masih menutup sebagian wajahnya dengan kedua tangan. Perempuan itu menoleh, sembari menggeleng cepat. “Terus?”                 Dia tampak ragu-ragu menurunkan tangannya. “Maafkan saya, Pak, waktu itu saya benar benar nggak tau. Tolong jangan salah paham, saya benar-benar nggak tau kalau bapak bukan karyawan biasa seperti saya.” Perempuan itu menangkupkan kedua telapak tangannya di depan wajah. “Apa kita pernah ketemu sebe— kamu?” Kini giliran aku yang terkejut begitu perempuan itu menurunkan kedua tangannya. Oh ya ampun! Perempuan itu adalah Nabila! Perempuan yang aku cari keberadaannya beberapa hari terakhir ini. Jadi Nabila dan Abil itu orang yang sama? Aku jadi ingat, pantas saja waktu itu Elvano memanggilnya Abil bukan Nabila. “Maafkan saya, Pak. Sumpah, saya nggak tahu. Taunya bapak itu sama seperti saya.” Perempuan itu, eh maksudku Abil, lagi-lagi minta maaf. “Perasaan waktu itu kamu manggil saya Mas bukan Bapak?” “Ha?” “Iya, kan?” “Ya itu waktu saya belum tahu kalau Bapak ini atasan saya.” Rasanya lucu sekali melihat wajah Abil masih tampak panik. Apa di matanya, aku ini tipe yang akan mempermasalahkan kesalahpahaman? “Ya udah panggil saya seperti biasanya kamu manggil saya.” “Hah?” “Panggil saya Mas, jangan Pak.”                 Abil melongo, lalu menggeleng. “Jangan, Pak, jangan. Saya nggak bisa. Nanti yang lain salah paham.” “Saya nggak keberatan kalau yang lain salah paham.” *** Abil   “Saya nggak keberatan kalau yang lain salah paham.” Aku mengerjapkan mata beberapa kali begitu mendengar jawaban itu.  Apa maksudnya?                 Aku segera menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mendengar percakapan kami. Aku menghembuskan napas lega begitu melihat para pegawai yang lain tampak sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Bahkan ada yang sudah mulai memejamkan mata untuk tidur. “Sekali lagi saya minta maaf, Pak.” Hanya itu yang bisa kuucapkan saat ini. “Ternyata kamu cukup keras kepala, ya?” balas laki-laki itu, maaf, maksudku Pak Juna, sambil melirikku sekilas.                 Aku tak menyahut, pura-pura tak mendengar kalimatnya. Detik berikutnya, aku memilih untuk duduk tenang dengan kepala menunduk. Aku malu, bisa-bisanya mengalami hal seperti ini? Untungnya, Pak Juna ini orangnya terlihat santai.                 Aku mendadak ingat siang itu, ketika dengan santainya aku meminta tolong padanya dengan setengah memaksa. Mana tahu kalau laki-laki tempo hari adalah bosku di kemudian hari? “Saya bersyukur Elvano tidak ikut acara ini.” Mendengar nama Mas El disebut, praktis aku menoleh. “Maksudnya?” “Sudah, lupakan. Saya mau tidur.”                 Aku mendengus pelan. Maksudnya apa sih, kok tiba-tiba menyebut Mas El? “Pak, sebentar. Ini saya dimaafkan kan?”                 Aku mengurungkan niat untuk diam saja. Aku perlu memastikan apakah aku dimaafkan atau tidak. Kan tidak lucu kalau sepulang dari Jogja aku malah dipecat? “Tergantung.” “Tergantung apa, Pak?” “Saya pikirkan dulu.” “Apanya, Pak, yang perlu dipikirkan?” “Boleh saya tidur, Abil?” “Abil?”                 Aku tak bisa menyembunyikan rasa kagetku ketika Pak Juna memanggilku dengan sebutan Abil. Bukan apa-apa, orang-orang yang belum mengenal baik aku, pasti akan memanggilku Nabila. “Saya salah?” “Eee... enggak, Pak. Silahkan kalau Pak Juna mau tidur. Maaf, sudah menggangu.” Aku merapatkan jaketku dan mulai mengatur posisi dudukku agar lebih nyaman. Tidak lupa, aku juga menggeser dudukku agar sedikit menjaga jarak. Seriusan, Pak Juna wangi banget, nggak ngerti lagi, pokoknya! Karena hampir setengah jam aku tidak terlibat obrolan dengan siapa pun, ponselku juga sedang sepi, akhirnya aku ikut memejamkan mata seperti yang lainnya. Padahal ini belum terlalu malam, tapi entah kenapa suasanya mendukung sekali untuk tidur.                 Pelan-pelan aku mulai kehilangan kesadaran. Karena saking ngantuknya, aku pasrah saja ketika merasakan ada tangan yang meraih kepalaku agar menyandar. Kuharap aku tidak membuat masalah lagi ketika bangun nanti.                 ‘Tidur yang nyenyak, Bil...’ ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN