Chapter 6

2317 Kata
*POV AUTHOR* Luthfi mendesah pasrah ketika menyetujui permintaan Ana yang ingin menggelar sebuah pesta kecil untuk menyambut kedatangan sahabat kecilnya. Luthfi tahu istirnya itu pasti punya niat terselubung saat menyampaikan keinginannya. Namun, meski ditolak juga Ana pasti akan tetap melakukan apa pun semaunya. "Memang siapa yang mau datang?" tanya Pak Po setelah Luthfi menerima telepon dari Ana, mengingatkannya supaya pulang cepat hari ini. "Teman masa kecilnya Ana. Mantan istrinya Jefri." "Jefri PT. Sahabat Makmur? Bukannya mereka belum bercerai?" tanya Pak Po menyebutkan sebuah nama perusahaan garmen yang cukup terkenal di Jakarta. "Iyalah. Jefri siapa lagi? Secara hukum memang belum, tapi secara Agama sudah sejak lama." "Seperti kamu dan Ana dong?" "Sudah, sudah! Jangan dibahas lagi. Lihat ini, sekarang masih jam sebelas siang dan Ana sudah meneleponku sebanyak tiga kali hanya untuk mengingatkanku supaya pulang cepat. Berisik sekali wanita itu." "Gitu-gitu istri kamu, Lut. Kamu juga yang sering berulah, mangkir tanpa alasan setiap kali Ana membuat acara." "Acara Ana itu pamer terselubung. Malas aku." "Dia berarti bangga pada kamu, pada rumah tangga kalian," balas Pak Po dengan senyum mencemooh. "Halah, bullshit!" Pak Po hanya tertawa ketika Luthfi mengumpat kesal seperti itu. Bukan barang baru baginya Lutfhi mengumpati istri dan rumah tangganya yang tampak sempurna di mata orang-orang tetapi penuh cacat di dalamnya. Jinan sudah berada di rumah Ana sejak pukul tujuh pagi dan sejak dia menginjakkan kakinya di rumah mewah ini sama sekali belum melihat batang hidung Dani. Ingin bertanya pada salah satu pembantu rumah tangga yang turut membantunya membuat puding pesanan Ana, tetapi tidak mungkin dilakukan oleh Jinan. Dia pasti akan dicurigai jika berani bertanya soal Dani. Mau mencari sendiri keberadaan Dani, yang ada dia pasti akan tersesat di dalam rumah besar nan mewah ini. "Dek Jinan, ini yang sudah matang pudingnya ditaro di mana?" tanya pelayan yang membantu Jinan. "Tolong taruh di atas meja makan aja, Bik. Nanti biar aku saja yang melanjutkan," jawab Jinan sambil mengaduk adonan puding yang sedang berada di atas kompor. Selang sepuluh menit kemudian terdengar suara derap langkah seseorang mendekati dapur. Jinan masih fokus pada pekerjaannya. Hingga dia tidak sempat menoleh untuk melihat siapa orang yang saat ini sedang berdiri di depan lemari es. "Jus jeruk untuk aku belum disiapin?" tanya suara berat dan serak khas laki-laki dewasa ketika baru bangun tidur. Jinan menoleh dan mendapati Dani tengah berdiri menatapnya dengan tatapan mata sayu. Jinan menatap tubuh atletis Dani hanya dibalut boxer di atas lutut tanpa mengenakan Pakaian sehelai pun. Jinan menatap bengong, kesusahan menelan salivanya hingga tidak sadar telapak tangannya menyentuh panci panas di atas kompor. "Awww..., panas!" pekik Jinan. Dani sadar kalau perempuan yang sedang berada di hadapannya kini adalah Jinan. Dia bergegas menuju tempat Jinan sedang memegangi telapak tangannya, segera menarik tangan Jinan dan membasuh telapak tangan tersebut di bawah kucuran air kran wastafel. "Perih?" Jinan mengangguk. Dani meraih tisu makan yang tergantung di dinding. Mengusap tangan Jinan dengan lembut kemudian meniup pelan telapak tangan Jinan yang telah mengering. Jinan menahan perih melihat perlakuan Dani yang sedemikian perhatian padanya. "Aku ambilin salep untuk luka bakar ya," ujar Dani seraya mengusap pelan telapak tangan Jinan. Belum sempat Jinan menjawab perhatian Dani yang penuh kelembutan, laki-laki itu mengempaskan tangan Jinan begitu mendengar suara Ana sedang berbincang dengan Martha, semakin dekat ke arah dapur. "Loh..., kamu ngapain di dapur, Dan?" tanya Ana penuh selidik. "Emmhh..., itu, Dani mau ambil jus jeruk. Biasanya diantar ke kamar tapi tadi bangun tidur nggak ada di atas meja," kilah Dani sambil menggaruk tengkuknya. Sesekali dia melirik wajah Jinan yang menatapnya penuh kecewa. "Ya sudah biar dibikinin dulu sama Martha, nanti diantar ke kamar kamu. Jus jeruk aja pesenannya?" "Kalau ada cemilan berat, Ma. Tapi jangan nasi." Ana hanya mengangguk kemudian menyuruh Dani meninggalkan dapur. Ana sendiri juga ikut pergi dari dapur, meninggalkan Martha dan Jinan. "Pudingnya sudah ada yang matang?" tanya Martha. "Sudah, tapi belum mengeras. Masih lembek." "Haduh, mau siapkan apa untuk cemilan berat si Dani. Saya lupa beli roti. Dani memang gitu. Suka rewel kalau soal sarapan. Nggak mau nasi." "Ada kentang?" tanya Jinan ragu. "Sepertinya ada. Tapi untuk apa?" Jinan tersenyum penuh arti. Dia kemudian mengupas tiga kentang, memotongnya menjadi sebesar dadu. Menggoreng, meniris, menaburi dengan garam setelah itu dilumuri saos pedas, sedangkan Martha sibuk menyiapkan jus jeruk pesanan Dani, sesekali melirik Jinan yang terlihat senang melakukan pekerjaannya. "Mana ini anak-anak kok pada nggak kelihatan?" ujar Martha menengok ke sana kemari mencari keberadaan pembantu rumah tangga yang lain. "Cari siapa, Bu Martha?" tanya Jinan. "Kamu bisa mengantar sarapan ini ke kamar Dani?" tanya Martha seraya menyodorkan nampan berisi sepiring kentang goreng dadu buatan Jinan dan segelas jus jeruk segar buatan Martha. "Bisa, tapi aku ndak tau kamarnya." Martha kemudian menunjukkan arah kamar Dani kepada Jinan. Dengan senang hati dia mengantarkan sarapan untuk Dani. Di depan pintu kamar berbahan kayu jati ini Jinan diam sejenak. Mengatur napas dan menyiapkan senyum terbaik untuk ditampilkan di depan Dani. Setelah satu kali tarikan napas panjang, Jinan memberanikan diri mengetuk pintu kamar Dani, ternyata tidak ada jawaban. Jinan lantas memberanikan diri menekan handle pintu kamar. Tidak terkunci. Jinan masuk begitu saja dan mendapati kamar Dani dalam keadaan kosong. Jinan tiba-tiba memekik kecil sambil menutup wajahnya saat melihat Dani keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang menggantung di bawah pinggang hingga atas lututnya saja. "Loh, Jinan? Kamu kok bisa ada di kamarku?" "Mau antar sarapan untuk Mas Dani," jawab Jinan masih enggan menatap tampilan tubuh Dani. Dani mengerti Jinan sedang malu padanya saat ini. Dia sengaja semakin mendekati Jinan, berdiri tepat di hadapan gadis itu. Jinan menolak saat Dani memintanya untuk membuka kedua tangan yang sedang menutupi wajahnya. "Ngapain malu sama pacarnya sendiri?" canda Dani. "Mas Dani ndak pakek baju gitu. Pakek baju dulu sana, baru aku mau buka mata." Dani tertawa kemudian tidak lagi menggoda Jinan. Dia segera mengenakan Pakaian sesuai perintah kekasihnya itu. Tak lupa Dani menutup serta mengunci pintu kamarnya. "Ada sarapan apa untuk aku?" "Kentang goreng sama jus jeruk segar sesuai pesanan mas Dani." "Kamu yang bikin?" "Jus jeruknya Bu Martha. Kentang gorengnya aku." Dani menyicipi kentang goreng beberapa potong kemudian meneguk jus jeruk hingga tersisa separuh gelas. Dia lalu meminta Jinan duduk di atas ranjangnya. "Aku mau balik ke dapur, takut dicariin sama Bu Martha dan Tante Ana." Namun tangan panjang Dani berhasil menjangkau pinggang Jinan dan membawanya hingga terduduk di atas pangkuan Dani. "Bentar aja," ujar Dani kemudian memeluk tubuh Jinan. "Aku kangen kamu, Nan," ujar Dani, tanpa melepas pelukan Jinan. "Aku juga," cicit Jinan malu-malu. Dani membalik tubuh Jinan, masih tetap duduk di atas pangkuan Dani. Perlahan Dani mendekati bibir Jinan. Dia mengecup pelan bibir ranum Jinan. Kecupan Dani yang tadi ringan berubah menjadi menekan kemudian lidahnya ikut mendesak masuk ke dalam mulut Jinan. Jinan yang awam soal ciuman hanya mengikuti saja alur yang diarahkan oleh Dani. Saat Dani mengusap punggung Jinan, gadis itu reflek melingkarkan kedua tangannya di leher Dani. Sesekali membelai rambut kekasihnya itu. "Maaf ya, sayang. Aku nyuri ciuman pertama kamu ya?" tanya Dani setelah memisahkan bibirnya dari bibir Jinan. Ia mengusap bibir Jinan yang menyisakan basah bekas saliva keduanya. Jinan hanya mengangguk malu kemudian turun dari pangkuan Dani. "Aku kembali ke dapur dulu ya," ujarnya meninggalkan kamar Dani tanpa persetujuan laki-laki itu. "Kamu dari mana?" tanya pembantu rumah tangga yang membantu Jinan sejak pagi. "Dari ngantar sarapannya Mas Dani." "Kamu jangan naksir sama anak juragan." "Maksudnya apa, bik?" "Kamu nanti bakal patah hati kalau ditolak atau disia-siakan, apalagi sampai kedengeran Bu Ana. Bakal nggak tenang hidupmu." "Memangnya diapain kok sampe ndak tenang?" "Ibu Ana itu lebih rela suaminya diganggu wanita lain, ketimbang anak laki-lakinya yang didekati perempuan nggak sesuai kriterianya." "Memang seperti apa kriteria perempuan yang tepat versi Tante Ana untuk anak laki-lakinya?" "Nanti malam kamu akan tahu, perempuan seperti apa yang pantas versi Bu Ana, untuk anak laki-laki kesayangannya." Jinan mengernyit heran tidak mengerti maksud dari ucapan pembantu rumah tangga tersebut. Dia tidak bertanya lebih lanjut dan memilih menyelesaikan pekerjaannya sebelum acara dimulai beberapa jam lagi. *** Sekitar pukul lima sore Luthfi pulang kantor dan mendapati rumah sepi seperti biasanya. Istrinya entah ke mana karena yang menyambut kedatangannya adalah Martha. Selalu seperti itu. "Mana Ana?" tanya Luthfi seraya menyerahkan jas dan dasinya untuk dicuci pada Martha. "Di kamar sedang berias." "Seperti mau ke pesta pernikahan saja pakai acara dandan segala," komentar Luthfi dengan muka masam. "Nanti kalau dia tampil cantik, awas naksir." Luthfi malah terbahak dan melanjutkan langkah menapaki tangga marmer menuju kamarnya. Namun terhenti Luthfi karena pandangannya terusik ke arah sosok yang asing di matanya sedang fokus menata bunga di ruang keluarga. Meski wajah perempuan itu tidak terlalu tampak jelas, tetapi tanpa sadar Luthfi mengukir sebuah senyum tipis nan tulus di bibirnya. "Siapa?" tanya Luthfi pada Martha yang masih berada di anak tangga paling bawah, sudah siap berbalik hendak meninggalkan Luthfi. "Karyawan Ana's Bakery. Diminta bikin puding sama Ana," jawab Martha. Luthfi hanya mengangguk sekali lalu melanjutkan langkah menuju kamarnya. Di dalam kamar, dia memilih langsung mandi ketimbang harus berbasa-basi singkat dengan istrinya. Luthfi tidak peduli meski Ana terus mengajaknya bicara dengan nada bicara mesra di depan team MUA yang disewa dengan harga selangit untuk merias wajahnya. Malam hari, acara yang disiapkan Ana benar-benar terwujud. Sebuah acara makan malam mewah yang dihadiri oleh anggota arisan sosialita Ana, para petinggi beberapa perusahaan terkemuka, hingga ada anggota dewan dan pejabat yang turut hadir di acara bulanan yang memang kerap diadakan oleh Ana. Ana bilang ini hanya silaturahmi untuk empererat tali persaudaraan dan bisnis tentunya. Tak ketinggalan pamer terselubung yang dikatakan oleh Luthfi pada Pak Po tadi siang di kantornya. Namun dari sekian banyak tamu yang hadir, dua adik perempuan Luthfi tidak tampak satupun, meski sudah diundang oleh Ana. Mereka malas menghadapi manusia dengan tipe pamer yang sudah terlalu mendarah daging seperti Ana. Jinan masih bertahan di rumah mewah ini. Dia sebenarnya sudah izin pamit pulang sejak sore tadi. Namun Ana menahan dengan iming-iming akan menambah bayaran Jinan di luar gajinya. Jinan tergiur dengan tawaran itu. Daripada diam di kosan sendirian. Begitu pikiran sederhananya. Merasa tidak dibutuhkan di dapur, Jinan berjalan-jalan di halaman belakang rumah milik Ana. Dan sampailah Jinan di sebuah taman, menyajikan kolam yang jernih dan riaknya cukup tenang. Semilir Jinan mendengar seorang laki-laki dan perempuan sedang bercanda tidak jauh dari tempatnya sedang berdiri. Suara laki-laki yang tidak asing membuat Jinan penasaran dengan siapa laki-laki itu sedang berbincang, hingga bercanda seperti sekarang ini. "Mas Dani?" desis Jinan tanpa berani memperlihatkan dirinya ke hadapan Dani. Terdengar suara Ana memanggil Dani dan memintanya masuk beserta perempuan yang sedang berbincang dengannya. Dani tidak mengetahui kalau Jinan sedang meihat kebersamaannya dengan perempuan lain, karena Jinan bersembunyi di balik tembok. Dari tempat persembunyiannya Jinan bisa melihat perempuan itu merangkul lengan Dani dengan mesra hingga masuk ke dalam rumah.  Jinan yang tidak bisa melihat wajah perempuan itu, berinisiatif masuk lagi ke dalam rumah dan mencari sesuatu hal yang bisa dikerjakan di dapur untuk melihat wajah perempuan tadi dengan jelas. "Mau tahu perempuan paling layak untuk mendampingi putra kesayangan Ibu Ana?" tanya pembantu rumah tangga yang sedang dibantu Jinan. "Mana?" Pembantu rumah tangga tersebut menunjuk perempuan cantik, anggun dan memiliki segala hal yang tak dimiliki Jinan, sedang duduk di samping Dani. "Memangnya dia siapa?" tanya Jinan ingin tahu. "Anak konglomerat rekan bisnis Pak Luthfi, mamanya sahabat masa kecilnya Bu Ana, temannya den Dani juga waktu kecil. Baru kembali dari luar negeri." "Pak Luthfi siapa?" "Ya suaminya Bu Ana itu namanya Pak Luthfi." Perasaan Jinan campur aduk. Dia bingung mesti bagaimana saat ini. Lamunan Jinan terhenti saat Ana berdiri seraya memegang gelas berbentuk piala dan sendok di tangannya. Ana menyentuhkan sendok di pinggiran gelas hingga mengeluarkan bunyi dentingan cukup nyaring. "Perhatian semua! Di malam spesial ini, aku ingin menyambut kedatangan teman masa kecilku yang sudah cukup lama meninggalkan tanah air kita, beserta anak gadisnya yang luar biasa cantiknya. Kedua aku ingin memperkenalkan produk terbaru dari Ana's Bakery." Ana kemudian meminta salah satu pembantunya untuk membawa puding-puding yang dibuat oleh Jinan sejak pagi tadi. "Puding ini resep asli dari aku. Silakan menikmati semuanya,” lanjut Ana memamerkan hasil karya orang lain tetapi diakui sebagai hasil karyanya. Dari balik dinding pemisah antara dapur dan ruang makan, Jinan hanya menatap sedih orang-orang yang sedang menikmati puding buatannya, dipuji banyak orang karena kelezatannya tetapi diakui sebagai hasil karya orang lain, bukan hasil karya Jinan. Namun yang membuat hati Jinan lebih hancur saat ini adalah kala menatap Dani sedang menikmati kebersamaan dengan perempuan lain tanpa memedulikan Jinan sedikit pun. Dani sempat melihat Jinan sekilas. Namun tidak sampai lima detik Dani sudah berpaling karena sentuhan perempuan di sampingnya. Dengan perasaan paling hancur Jinan kembali ke dapur dan melanjutkan langkah menuju tempat tadi dia melihat Dani sedang bersama perempuan untuk pertama kalinya. Dia menyepi di tepi kolam renang sambil menunggu acara selesai. Jinan berdoa semoga acara diakhiri lebih cepat sehingga dia bisa pamit pulang pada Ana. Hingga pukul sepuluh malam belum ada tanda acara akan selesai. Jinan berinisiatif pamit pulang pada Martha saja. Tubuh Jinan terlalu letih karena seharian ini dia tidak istirahat. Ditambah lagi perasaannya sedang berada dalam kondisi paling kacau. Daripada dia memaksakan diri hingga acara selesai lalu besok tidak masuk kerja karena sakit? Jinan tidak sekuat itu. "Bu Martha aku pamit pulang dulu ya. Sudah ngantuk berat. Ndak tahan lagi kalau harus nunggu Tante Ana selesai," ujar Jinan saat pamitan pada Martha. "Kamu pulang sama siapa Jinan?" "Pulang sendiri Bu Martha. Nanti sambil jalan pesan gojek." Selang beberapa menit setelah Jinan keluar dari rumah, sebuah mobil menghampiri Jinan ketika langkah lesunya baru saja melewati pintu gerbang. Seorang pria paruh baya berlari kecil keluar dari mobil menuju tempat Jinan sedang berdiri. "Neng Jinan, betul?" tanya pria tersebut sopan. "Iya, saya Jinan, Pak. Ada apa ya?" "Silakan masuk. Saya anter Neng sampai tujuan." "Ndak usah, Pak. Aku bisa pulang sendiri kok. Ini mau pesan gojek." "Nggak apa-apa, Neng. Saya ini cuma menjalankan perintah aja." "Perintah siapa?" "Pak Luthfi, Neng. Kalau sampai Neng nggak mau diantar pulang, bisa dipecat saya nanti sama tuan besar." Jinan terpaku di tempatnya berdiri dan bingung mesti menanggapi apa kebaikan orang yang sama sekali asing baginya. Mendengar namanya saja baru beberapa jam yang lalu. Dan sekarang Jinan dituntut untuk menerima kebaikan orang asing itu. "Ayo buruan masuk mobil, Neng. Nanti Neng masuk angin kalau kelamaan di luar." Jinan tidak bisa berpikir jernih. Dia ingin segara sampai kos dan merebahkan tubuh lelahnya. Dia butuh tempat terbaik untuk menenangkan batin yang sedang bergejolak menahan rasa tidak terima melihat kebersamaan Dani dengan perempuan lain. Terlepas dari perempuan itu memiliki segala kesempurnaan yang tidak dimiliki oleh Jinan dan lebih pantas mendampingi Dani, tetapi Dani tidak berhak menyakiti Jinan dengan cara seperti ini. ~~~ ^vee^  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN