Prolog
Jinan sangat ingin pergi dari rumah tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Rumah yang dulunya selalu dihiasi canda dan tawa sebelum kakak laki-lakinya meninggalkan rumah, demi mengejar cinta seorang gadis. Rumah penuh kenangan dengan mendiang Ibunya yang telah meninggal dunia dan rumah yang dulunya penuh kehangatan sebelum Ayah Jinan memutuskan menikah lagi dengan wanita simpanannya dua minggu setelah kematian Ibu kandung Jinan.
Jinan yang lugu dan manis mulai kehilangan arah. Sang Ayah sudah tak memiliki waktu untuk sekadar mendengar curahan hati anak gadisnya. Ayah yang dulu hangat dan sangat Jinan hormati kini menjelma menjadi sosok yang menyeramkan, mudah marah dan tak ada tolerir bila sudah menyangkut soal istri keduanya. Terlebih Jinan tak pernah menyukai istri kedua Ayahnya. Wanita yang dengan keji telah merusak rumah tangga orang tua Jinan. Ibu Jinan bahkan sampai mati bunuh diri di hadapan Jinan karena tak kuasa bila harus hidup berbagi suami dengan wanita lain.
*POV JINAN*
Hari ini lagi-lagi aku bertengkar hebat dengan Ayah. Permasalahannya sepele. Berawal dari aku tidak mau membantu ibu tiriku mengangkat timba berisi air mandi untuknya. Mau dibantu bagaimana, aku sendiri saat itu sedang sibuk merapikan kamarku. Aku memang sangat enggan bersikap baik dan manis di depan wanita itu. Aku juga tidak pernah sudi membantunya, terlebih jika dia memerintahku seenak perutnya.
Dan hari ini wanita itu bertingkah dengan membesar-besarkan masalah kecil. Sebenarnya masalah timba air tadi sudah selesai setelah aku menjelaskan alasanku tidak bisa membantunya. Namun berubah seratus delapan puluh derajat ketika wanita itu menyadari kalau Ayah sudah berada di teras rumah. Dia tiba-tiba menjerit histeris sambil menangis lantas mengatakan pada Ayah kalau aku tidak sudi meringankan beban pekerjaannya, ditambah perkataannya bahwa aku terus mengolok-oloknya sebagai pelakor. Tak perlu menunggu waktu, Ayah yang kalem mendadak menjadi sumbu pendek sejak menikahi wanita itu. Amarahnya sangat tak terbendung terhadapku. Hari ini bahkan Ayah sampai hati mengatakan sumpah serapah padaku beserta kata-kata kotor, yang tidak pernah terlontar dari mulutnya selama 18 tahun hidupku di dunia ini.
“Kalau Ayah tidak mengharap kehadiran aku lagi, lebih baik aku angkat kaki dari rumah detik ini juga!”
Detik berikutnya Ayah melemparkan asbak berisi serbuk bekas rokok dan puntung rokok ke arahku. Beruntung aku cukup sigap dan segera memiringkan tubuh saat asbak berbahan tembikar itu melayang ke arahku. “Ojok kurang ajar kowe. Temui ibumu sekarang dan minta maaf sama beliau! Kamu juga harus berjanji nggak akan bersikap kurang ajar lagi terhadap istri ayah,” ucapnya, berdiri sambil bertolak pinggang.
“Aku ndak sudi minta maaf sama wanita perusak rumah tangga! Perebut suami orang seperti dia itu pantasnya dicemplungkan di rawa-rawa yang isinya buaya kelaparan,” jawabku penuh amarah.
Duh Gusti Pangeran... Aku mendadak lupa daratan, tata krama serta unggah-ungguh adat yang selalu diajarkan oleh kedua orang tua dan guru-guruku di sekolah.
“Jinan?! Omonganmu sudah kelewatan! Sopo sing ngajarin kowe?” Ayah berteriak histeris hingga napasnya naik turun tidak keruan. Tatapan matanya nyalang dan siap memakanku hidup-hidup.
Bibi Sarti datang menghampiri dan menarik tubuhku menjauh dari hadapan Ayah. Wanita paruh baya itu adalah adik perempuan Ayah dan sudah seperti ibuku sendiri. Dari kecil aku dirawat oleh beliau jika Ayah dan mendiang Ibu sedang sibuk di sawah kami yang berada di lereng gunung Bromo.
“Wes tho, Nan... Kamu harus bisa mengalah sama egomu. Bukan demi ayahmu, tapi demi dirimu sendiri. Sudah tau ayahmu itu sekarang tempramen, kok yo masih kamu pancing emosinya. Untung asbak tadi kena pilar rumah. Coba kalau kena batukmu, opo ndak nyonyor itu,” ujar bibi Sarti seraya membelai kepalaku dengan lembut.
“Aku mau minggat. Aku capek hidup kayak gini terus. Aku pengen mengubah garis hidupku. Kalau aku ndak cepet-cepet pergi dari sini, yang ada nenek sihir itu makin nginjek-nginjek aku dan berusaha nyari-nyari alasan untuk menyingkirkan aku dari rumah ini.”
Bibi Sarti menghentikan aktivitasnya. Beliau memutar tubuhku hingga menghadap padanya. “Ojok ngawur, Nan! Masmu aja sampek detik ini nggak jelas juntrungannya setelah keluar dari desa. Kamu mau bernasib seperti masmu?”
“Masku itu dipelet sama perempuan. Kok bisa suka sama perempuan sampai tergila-gila gitu. Mas Firman itu ninggalin desa untuk ngejar perempuan itu. Aku kan ndak kayak gitu. Pokoknya aku mau mengadu nasib ke Jakarta.”
Bibi Sarti terbahak. “Ke Jakarta? Lah wong kamu ke kota aja belum tentu sebulan sekali kok mau nekat ke Jakarta. Ibu kota itu kejam, Nan. Kejamnya ibu kota itu mengalahkan kejamnya ibu tirimu. Kamu aja benci banget sama ibu tirimu, gimana bisa menaklukan Jakarta? Ojok ngimpi kamu, Nduk!”
Bibi Sarti meninggalkanku seorang diri di kamar. Sepeninggal bibiku itu, aku bergegas mengemas pakaian dan menyiapkan barang-barang yang aku butuhkan saat minggatku nanti. Aku juga sudah menjual beberapa perhiasan peninggalan mendiang Ibu untuk bekalku selama perjalanan dan menyimpan sisa perhiasan yang belum kujual untuk simpanan selama hidup di Jakarta. Aku sudah mencari tahu lewat teman sekolahku yang pernah bekerja di Jakarta soal jalur transportasi menuju Jakarta. Dia juga memberi kontak telepon serta alamat tempat tinggal temannya di Jakarta yang mungkin bisa membantu saat aku telah menginjakkan kaki di ibu kota.
~~~
^vee^