Chapter 5

2438 Kata
*POV JINAN* Katanya aku dan Dani sudah resmi pacaran. Namun Dani sama sekali tidak pernah mengajakku jalan layaknya orang pacaran. Dia hanya menjemputku pulang kerja saja, itupun bila Mamanya sedang tidak ada di toko. Dia juga belum pernah memperkenalkanku pada teman-temannya. First dating yang ia janjikan pada malam dia menembakku pun sampai detik ini belum terwujud. Alasannya klasik, tugas kuliah menumpuk. "Bete banget kayaknya lo?" tanya Irza yang melihat aku seharian ini hanya rebahan tanpa melakukan apa pun. Hari ini aku dapat jatah libur, tapi Dani malah tidak bisa diganggu. Bahkan pesan elektronik yang aku kirim sejak dua jam lalu belum mendapat balasan dari Dani. "Dani sibuk banget kayaknya akhir-akhir ini," jawabku malas. "Punya pacar kali." "Kan aku pacarnya." Irza terbahak setelah jawabanku. Ekspresi wajahnya seolah sedang mengejek ucapanku. "Jangan percaya begitu aja sama omongan laki-laki." "Kamu sendiri?" "Kalau ada bukti baru aku percaya?" "Contoh buktinya apa?" "Salah satunya uang." "Dasar matre!" "Nggak matre ya mati gue, Nan. Bertahan hidup di kota besar dengan jadi wanita matre itu udah termasuk pilihan tepat bagi gue." "Tapi tidak dengan menjual diri." Irza diam. Tidak melanjutkan lagi wejangannya. Dia memilih bersiap setelah mendapat telepon entah dari siapa. Dari caranya menjawab telepon bisa dipastikan kalau yang meneleponnya adalah laki-laki. "Ikut gue aja daripada lo mulai nggak jelas gini nungguin kabarnya si Dani," ujar Irza begitu kembali dari kamar mandi. "Ke mana?" "Gue mau ketemu temen." "Laki-laki?" "Iyalah. Temen gue yang cewek cuma lo doang." "Kenapa kamu mau berteman denganku, sedangkan aku ndak menghasilkan apa pun untuk pundi-pundi keuangan kamu?" "Nggak usah dibahas. Mau  ikut nggak lo?" "Males, Ir. Mau ngapain kamu?" "Mau belanja gue, trus kita makan enak. Udah nggak usah pakek mikir. Buruan mandi trus ganti baju!" Irza menarik tanganku hingga membuatku bangkit dari tempat tidur. *** Saat ini, aku menemani Irza bertemu teman laki-lakinya yang lebih pantas menjadi bapaknya daripada temannya. Aku ikut saja ke manapun Irza membawaku pergi. Dia keluar masuk toko pakaian, sepatu, tas dan banyak lagi. Semua yang Irza inginkan dengan mudahnya dipenuhi oleh teman laki-lakinya itu. Aku juga ditawari memilih dan membeli sesuatu yang aku suka. Namun aku pilih menolak dan tidak tergiur dengan apa yang Irza dapatkan hari ini. Aku takut ada pamrihnya. "Lo laper nggak, Nan?" tanya Irza saat dia memperlihatkan pakaian yang entah sudah keberapa kalinya dia bawa masuk ke ruang pas. "Iya. Aku laper, pegel dan ngantuk. Pulang yuk, Ir!" rajukku. "Dikit lagi ya. Abis ini kita makan, trus pulang." Aku mengangguk menyetujui ucapan Irza. Setelah Irza masuk lagi ke ruang pas, aku kembali memandangi ponselku yang sepi tanpa notifikasi apa pun dari Dani. Aku hanya bisa menghela napas berat dan membuang jauh-jauh pikiran burukku soal apa yang dilakukan oleh Dani tanpa sepengetahuanku. Irza benar-benar membawaku makan ke gerai makanan yang sangat besar dan aromanya menunjukkan makanannya lezat. Irza mempersilakanku memesan makanan dan minuman apa pun yang aku mau. Teman laki-laki Irza sendiri sejak tadi tidak banyak bicara. Dia sibuk dengan ponsel besar di tangannya. Kata Irza namanya Ipad. Laki-laki itu orang sibuk kata Irza lagi. Bos sebuah perusahaan besar, tapi Irza tidak menyebutkan nama perusahaannya. Pria kesepian, sudah lama pisah dengan istrinya. Irza memanggil teman laki-lakinya itu dengan sebutan Dedi. Saat kutanya apa nama laki-laki tersebut Dedi? Irza malah tertawa. Yang dimaksud Dedi oleh Irza itu adalah daddy dalam bahasa Inggris, atau dalam bahasa Indonesia artinya ayah. Aku tidak bertanya lebih jauh kenapa Irza memanggil pria berumur itu dengan istilah daddy padahal mereka berdua tidak memiliki hubungan darah sedikitpun. Selesai makan, aku pamit ke toilet pada Irza dan daddy-nya. Keduanya mempersilakanku dan bahkan terlihat dengan senang hati saat membiarkan aku pergi. Seharusnya hal ini harus aku lakukan sejak tadi, karena pasti mereka berdua menginginkan waktu untuk berduaan saja. Tidak ingin mengganggu dua sejoli beda usia bak langit dan bumi itu, aku keluar dari gerai makanan untuk berjalan-jalan sendiri. Sebulan lebih tinggal di Jakarta baru kali ini aku lihat penampakan sebenarnya dari yang namanya pusat perbelanjaan. Saat ini aku persis seperti anak ayam kehilangan induknya. Namun aku tidak peduli, masih ada ponsel yang bisa membantuku bertemu Irza. Aku yakin bila sudah selesai dengan urusannya, Irza akan mencariku.  Sepertinya aku berjalan terlalu jauh dari gerai makanan yang tadi aku datangi bersama Irza dan daddy-nya. Pandanganku berhenti pada seseorang yang sangat aku kenali sedang duduk berhadapan dengan seseorang mungkin temannya di sebuah coffe shop. Aku baca dari papan nama yang ada di atas pintu. Membuang jauh-jauh rasa malu dan takut aku menghampiri orang tersebut. Kalau pun salah ya tidak mengapa, namanya juga usaha. "Mas Dani?" tanyaku seraya menepuk pelan bahu laki-laki yang kukenali milik Dani. "Loh, Jinan? Kamu sama siapa?" Ternyata memang benar Dani. Aku lega bisa bertemu dengan orang yang sangat aku kenal di tempat ramai seperti ini. "Tadinya sama Irza dan temannya. Tapi aku memisahkan diri," jawabku. "Sebentar aku kirimi Irza chat kalau sedang bersama Mas Dani di sini," ujarku lagi, teringat aku harus menghubungi Irza dan mengabari kalau sedang bersama Dani saat ini. Dani mengangguk lalu memintaku duduk di sampingnya. Dia juga memberi informasi nama coffe shop tempatku berada saat ini. "Kamu sudah makan?" tanya Dani lembut. Aku mengangguk tak ketinggalan melempar senyum terbaik untuk Dani. Aku senang sekali bisa melihat wajah laki-laki ini setelah lebih dari satu minggu tidak bertemu. "Mas sendiri sudah makan?" tanyaku. "Udah. Aku kangen kamu, Nan," ujar Dani lagi. Dia meraih salah satu tangannku lalu meremas jemariku pelan. "Kangen tapi ndak pernah ada waktu nemuin aku, piye tho?" "Maaf ya. Aku bener-bener sibuk." "Tapi nongkrong di sini bisa." "Kebetulan aja. Abis ini aku ke kampus lagi." "Ekheemm...," terdengar suara orang berdeham pelan tapi panjang. Aku dan Dani hampir melupakan bahwa ada orang lain di antara kami berdua saat ini. "Oya, Nan... Kenalin nih, teman kuliahku." Laki-laki di seberang meja menjulurkan tangan kanannya padaku kemudian berkata, "Sagara," ujarnya menyebutkan sebuah nama yang cukup unik diiringi senyum ramah. "Jinan," balasku menjabat tangan laki-laki tersebut. "Siapa?" tanya Sagara pada Dani. "Menurut lo?" balas Dani seraya tertawa. Sagara hanya mengangguk paham, menatapku sebentar kemudian tidak berkata apa-apa lagi. "Gue tunggu di basement ya," ujar Sagara, setelah membereskan barang-barang milliknya yang ada di atas meja. Dani hanya mengangguk lalu membiarkan Sagara pergi dari hadapan kami. Dani memutar tubuhnya menghadap padaku, "kamu habis ngapain aja di mall, sayang?" tanyanya, sambil menyelipkan sebagian anak rambut yang menjuntai di sekitar telinga ke belakang telingaku. "Nemenin Irza belanja, banyak banget." "Kamu sendiri nggak belanja?" Aku menggeleng kemudian membalas genggaman tangan Dani dan mengusap pelan punggung tangannya yang terasa begitu halus.  Jauh sekali dengan kulit tanganku yang terasa kasar dan kulitnya mulai mengeras akibat terlalu sering bersentuhan dengan sabun cuci pakaian dan sabun cuci piring. Telapak tangan Dani juga terasa hangat dan lembut, tidak sama dengan tanganku yang dingin dan agak basah jika sedang menghadapi situasi canggung. "Pengen peluk kamu tapi nggak mungkin di sini. Kamu sih, nggak mau diajak tinggal bareng aku. Coba mau kan enak kita bisa tiap hari ketemu," ujar Dani, setelah memintaku menceritakan soal kesibukanku, tanpa menceritakan kesibukan dia sendiri. "Apartemen kamu kata Irza jauh banget dari tempat kerjaku. Nanti gimana aku berangkat dan pulang kerjanya?" "Kan ada aku, sayang. Mana mungkin aku biarin pacar aku terlunta-lunta nggak jelas." Aku menghela napas berat. "Nanti aku pikirkan lagi ya. Kamu sampai kapan sibuknya dan bisa menemui aku, Mas? Aku juga kangen dan ingin menghabiskan waktu libur sama kamu." "Nanti kalau ada waktu luang pasti aku nemui kamu. Sabar ya, sayang," jawab Dani sambil mengusap salah satu pipiku. "Akhirnya ketemu juga lo!" suara Irza cukup mengejutkanku. Membuat Dani menarik tangannya dari pipiku. "Katanya lo ngantuk, kita pulang sekarang yuk!" ujar Irza kemudian menarik tanganku. "Tapi, Ir...," jawabku, enggan pergi dari hadapan Dani. "Tunggu bentar napa? Jinan juga udah nemenin dan nungguin lo daritadi. Gantian dong, kali ini lo yang nungguin Jinan," sergah Dani kemudian menarik tanganku supaya aku duduk kembali. "Lo tu ye! Kalau emang niat pacaran sama Jinan, ya temuin dia dong. Ajak dia jalan kek, makan kek, ngemall kek. Kasihan anak orang nungguin kabar dari pacarnya udah kayak orang nyaris depresi aja," balas Irza dengan kesal. Nada bicaranya juga ketus khas Irza kalau sedang kesal pada sesuatu hal. "Lo kenapa jadi kayak menggurui gue?" jawab Dani tidak terima. "Udah, udah! Kalian berdua kenapa jadi bertengkar gini?" Aku berusaha melerai Dani dan Irza yang sedang memperdebatkan soal aku. "Loh, kamu Dani kan? Daniyal Khawas?" tanya daddy-nya Irza yang tiba-tiba saja sudah berada di balik punggung Irza. "Eh..., om Jefri ya? Iya aku Dani, Om," jawab Dani kemudian menganggukkan kepala dengan sangat sopan bahkan sampai berdiri dari kursinya. Sepertinya Dani sangat menghormati daddy-nya Irza ini. "Kamu kenal Jinan?" "I..., iya, Om. Aku kenal." "Papa dan Mama kamu sehat, Dan?" "Sehat, Om." "Jinan ini siapa kamu, Dani?" "Oh, itu, anu, Om..., Jinan ini...," "Bukan pacarmu, kan?" Dani seperti orang bingung mesti menjawab apa pertanyaan sederhana yang dilontarkan oleh laki-laki yang kini aku tahu bernama asli Jefri itu. Bukan Dedi seperti dugaanku seperti di awal bertemu tadi. Beberapa kali Dani menatapku sampai akhirnya menjawab, "bu..., bukan, Om. Jinan cuma kenalanku. Salah satu pegawai di toko kuenya Mama." Lalu memalingkan wajahnya dariku. "Owhhh..., ya sudah kalau gitu. Om juga nyangkanya nggak mungkinlah Jinan pacaran sama kamu," jawab Jefri sambil tertawa mengejek, kemudian merangkul pundak Irza dan mengajaknya pergi dari hadapanku. "Oya, salam sama Papa kamu ya. Sudah lama kami tidak bertemu. Kata Pak Po, Papa kamu sedang galau. Nanti kalau saya ada waktu pasti menemui papamu, memberinya solusi bagaimana cara paling tepat dalam menghadapi puber kedua," ujar Jefri. "Iya, Om. Nanti aku sampaikan pada Papa," jawab Dani seperti orang ketakutan. "Kok kamu nggak ngakuin aku pacarmu?" tanyaku penuh kekecewaan, sepeninggal Irza dan om Jefri. Lagi-lagi Dani kesulitan untuk menjawab pertanyaan sesederhana itu. Dia malah memilih menatap ke sembarang arah daripada menatapku yang sedang duduk menunggu jawaban dengan gusar. Benar-benar tidak seperti Dani yang aku kenal selama ini. "Kalau kamu ndak bisa jawab, aku pulang aja." "Tunggu, Nan. Kamu jangan salah paham dulu ya." "Sayangnya aku sudah salah paham, Mas." "Om Jefri itu temannya Papaku. Aku takut aja nanti orang itu cerita yang aneh-aneh sama Papaku soal kamu. Apalagi kalau sampai kedengaran Mama, aku menjalin hubungan spesial dengan salah satu pegawai toko kuenya. Kamu bakalan kena, dan Mama nggak akan segan ganggu kenyamanan hidup kamu, sayang!" "Kenapa gitu? Apa aku seenggak pantas itu menjalin hubungan spesial dengan kamu? Karena kamu anak orang kaya? Anak dari pemilik tempat aku berjuang mencari nafkah? Sememalukan itu kah aku di mata orang-orang kaya seperti kalian?" "Jinan, please! Kamu jangan salah paham gitu dong?" "Maaf, Mas. Tapi aku sudah salah paham dan lebih menyedihkan lagi aku sudah salah menilai kamu. Aku kira kamu beda dari orang-orang kaya lainnya. Ternyata kamu sama saja seperti mereka, Mas." Aku beranjak dari dudukku. Bergegas pergi dari coffe shop tempat aku bersama Dani sejak beberapa menit yang lalu. Aku berhasil menemui Irza yang ternyata berada tidak jauh dari coffe shop sedang asyik memilih jam tangan. Aku segera menyeret temanku itu dan mengajaknya pergi tanpa memedulikan tampang kesalnya karena perbuatanku.   Beberapa hari setelah kejadian di Mall, aku sudah baikan dengan Dani. Dengan mudahnya aku memaafkan soal sikap Dani yang tidak mau mengakuiku sebagai kekasihnya di hadapan Jefri. Dia sudah menjelaskan padaku keesokannya dan alasannya memang masuk akal, jadi aku tidak punya alasan untuk tidak memaafkannya. Namun makin hari kurasakan sikap Dani makin beda. Dia semakin jarang menelepon dan hampir tidak punya waktu menjemputku pulang kerja. Ketika aku tanya kenapa dia bersikap seperti itu, dia bilang sedang sibuk ujian semester juga persiapan menghadapi skripsi. Aku yang tidak begitu mengerti dunia perkuliahan menerima begitu saja apa pun alasan Dani. "Woy! Ngelamun aja lo! Dipanggil Tante Ana tuh," ujar Mia setelah menarik ujung rambutku. Dengan berdecak kesal, aku melangkah menuju ruangan Tante Ana yang letaknya di lantai dua toko miliknya ini. Begitu melihat kedatanganku, Tante Ana tersenyum tipis dan mempersilakanku duduk di kursi yang berseberangan dengan kursinya. "Jinan gajian ya?" tanya Tante Ana setelah aku duduk dengan nyaman. "Iya Tante. Hari ini aku gajian. Telat dua hari, tapi ndak apa-apa kok," jawabku sopan. "Iya, maafkan saya ya. Beberapa hari ini saya sibuk mempersiapkan acara menyambut kedatangan sahabat karib saya dari luar negeri. Biasalah, orang penting. Kebetulan suaminya teman bisnis suami saya juga." Aku mengangguk saja mendengar penjelasan panjang lebar dari Tante Ana. Apa kesibukan itu ada hubungannya dengan Dani tidak bisa menghubungiku ya? Semoga saja selain kuliah, Dani sibuk membantu mamanya ini. "Ini gaji kamu. Dan juga bonus kamu." "Bonus Tante?" "Iya bonus. Penjaga malam toko saya sering mergokin kamu pulang malem, sedangkan Ratih sudah pulang terlebih dulu, tapi saya nggak mau membandingkan apalagi menyalahkan siapa-siapa. Saya hanya berusaha membayar lebih atas tenaga lebih yang sudah kamu berikan selama bekerja di sini. Saya juga sudah menegur Ratih, memperingatkan untuk mempelakukan kamu secara layak tanpa membeda-bedakan dengan karyawan yang lainnya. Jadi kamu jangan meributkan soal apa pun lagi dengan Ratih, ya." "Iya Tante, aku ngerti. Aku juga minta maaf seandainya masih banyak yang harus aku perbaiki selama menjadi karyawan di sini." "Saya suka gadis polos dan pekerja keras seperti kamu, seperti mengingatkan saya pada seseorang yang berasal dari masa lalu saya. Kamu masih mau kan terus membantu saya di toko?" "Tentu saja aku mau, Tante. Lagian mau ke mana lagi aku kalau ndak kerja di sini." Tante Ana tersenyum begitu lembut. Namun beberapa detik kemudian kedua matanya seperti berkaca-kaca. Dia menatap ke langit-langit kemudian mempersilakan aku kembali ke pekerjaanku. "Oya, Jinan. Ada yang lupa. Tolong bikin puding seperti yang waktu itu dipesan teman arisan saya." "Puding yang mana ya, Tante?" "Yang kamu bilang puding mercon manis itu loh." Sejak memiliki ponsel aku memang mempelajari banyak hal yang selama ini tak aku dapati selama tinggal di desa. Salah satunya mempelajari tentang resep membuat puding. Dan puding yang dimaksud oleh Tante Ana merupakan hasil prakarya pertamaku yang kebetulan diminati oleh teman arisannya. Namun Tante Ana belum berani memasukkan puding buatanku ke salah satu menu puding yang dijual di Ana's Bakery, karena memang bahannya yang berasal dari bahan berkualitas, membuatnya pun membutuhkan waktu yang cukup lama. Sehingga Tante Ana masih bingung mesti memberi label harga berapa untuk puding tersebut,  jika dijual di toko kuenya. Aku tertawa mengingat nama puding asal sebutku itu. Tante Ana masih ingat. Aku saja yang membuatnya sudah lupa. Aku lantas mengangguk dan bertanya, "untuk kapan Tante? Berapa banyak?" "Besok malam. Tolong bikin untuk 5 loyang ya." "Bahan-bahannya gimana? Soalnya persediaan bahan untuk toko menipis." Tante Ana tersenyum lalu memberiku beberapa lembar uang seratus ribuan. "Sebentar lagi jam kerjamu selesai. Tolong mampir supermarket untuk membeli bahan-bahan keperluan membuat puding mercon manis ala Jinan," ujarnya sambil terkekeh. "Bikinnya besok di rumah saya saja ya. Peralatannya lebih modern tapi lebih mudah digunakan, daripada yang ada di toko. Kamu pasti suka." Aku segera melesat ke bawah dan menyelesaikan sisa pekerjaanku. Tawaran dari Tante Ana sangatlah menarik. Selain melakukan hal yang aku sukai, bonusnya aku bisa bertemu dengan Dani saat nanti membuat puding di rumah Tante Ana. Karena sepengetahuanku, Dani masih tinggal dengan orang tuanya. Dia belum mau tinggal di apartemennya karena Dani tidak suka kesendirian. Oleh karena alasan itu lah dia ngotot ingin mengajakku tinggal bersama di apartemennya. ~~~ ^vee^  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN