"Kanaya!!!" panggil Camelia sambil menggedor-gedor pintu kamar Putri semata wayangnya itu.
Kanaya menggeliat mendengar suara gedoran dan suara melengking sang Mama.
"Iya Mamaaaa-"
Kanaya bangkit sambil menggosok-gosok kedua matanya sesekali ia masih menguap.
Kanaya membuka pintu dan menampilkan sang Mama yang sudah memakai pakaian serba hitam.
"Kanaya! kamu baru bangun!" bentak sang Mama melirik ke bawah sampai ke atas.
Kanaya masih menggunakan lingerie.
"Ha ...Mama? Ya Tuhan, aku lupa Maa ..."
Kanaya membulatkan kedua bola matanya setelah melihat pakaian yang di gunakan sang Mama, ini semua pasti karena semalam dia tidur terlalu malam.
"Cepat kamu mandi dan pakaian, kami akan duluan menuju ke makam, kamu nyusul!" titah sang Mama.
"Oke oke Ma,"
Kanaya menggerutu sambil menggaruk-garuk kepalanya, ia melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, bisa-bisanya dia kesiangan di hari penting seperti ini. Ini adalah hari Clarista akan di makamkan dan diberikan penghormatan terakhir.
Camelia menuruni anak tangga sambil mengoceh "Bagaimana bisa gadis yang masih kekanak-kanakan itu menikah, aku tidak akan membiarkan Papa menikahkan Kanaya," gerutunya.
Camelia turun dan naik ke mobil yang sama dengan Evelyn dan Alex.
Evelyn bersandar dengan suaminya sambil menangis tersedu-sedu.
"Kanaya mana Lia?" tanya Alex.
"Kanaya nyusul kita Mas, dia masih bersiap-siap," jawab Camelia.
Alex mengangguk, Pak Supir pun membawa mereka menuju Pemakaman elite dimana Clarista akan dimakamkan.
Pemakaman sudah ramai, beberapa teman Clarista menangis disamping peti jenazah Clarista, Evelyn yang baru tiba pun ikut menangis histeris.
Ethan dan Edward berada di samping Antonio, Antonio terus mengusap matanya dari air mata yang terus mengalir.
Evelyn melirik ke arah Ethan, Ethan yang ingin menyapanya terpaksa menelan saliva karena Evelyn memalingkan wajahnya ke samping.
Pendeta membacakan doa untuk mengiringi kepergian Clarista, peti jenazahnya sudah mulai diturunkan ke dasar tanah.
Evelyn masih saja histeris, Alex dan Camelia lah yang berusaha untuk menenangkan Ibu yang sudah kehilangan Putri satu-satunya itu.
"Clarista-" panggil Evelyn tersedu-sedu.
Pemakaman berjalan dengan lancar, para Pelayat mulai bubar dan pulang ke rumah masing-masing.
Tetapi Kanaya tak kunjung tiba membuat Camelia kesal, syukur saja Antonio tidak menyadari ketidakhadiran Kanaya di tengah-tengah pemakaman Clarista, kalau tidak Papanya itu masih akan marah.
Alex memapah Evelyn yang sudah lemas tak berdaya, wanita itu sudah tak kuat bila harus berdiri di pemakaman lebih lama lagi, sehingga Alex memutuskan untuk membawa pulang Istrinya itu.
Tinggallah Ethan, Edward, Antonio dan Camelia.
"Mana cucumu yang satu lagi," bisik Edward setelah melihat kepergian Alex dan Evelyn.
Antonio yang sejak tadi bermuram durja pun menyadari ketidakhadiran Kanaya.
"Camelia!"
"Iya Pa,"
"Mana Kanaya?"
Camelia mendelik, ia melihat kesana kemari dan Kanaya memang tak berada di tempat.
"Astaga Kanaya! mana anak itu! " batin Camelia.
"Ka-kanaya belum sampai Pa, tadi dia bilang akan menyusul, mungkin jalanan macet Pa," ujar Camelia.
Antonio menghembuskan pelan nafasnya, dia tidak mungkin memaki Kanaya di depan Ethan dan Edward. Bagaimana pun tinggal gadis itu saja harapannya.
Antonio melirik tajam ke arah Camelia memberikan kode agar segera menghubungi Kanaya.
Camelia menyadari kalau ini ada kaitannya dengan rencana perjodohan Ethan dan Kanaya.
Tapi ia tak mungkin membantah sang Papa di depan Edward dan Ethan. Lagipula ini masih rencana dan belum tentu terlaksana.
Camelia melirik ke arah Ethan, pria tampan dengan tubuh tinggi menjulang itu tampak dingin, tak ada ekspresi apapun yang ia tunjukkan, ia berdiri santai di belakang sang Kakek.
Camelia menjauh dan mengeluarkan ponsel dari tasnya, ia menghubungi Kanaya dan sayangnya Kanaya tak kunjung mengangkat.
Camelia kembali dan membisikkan kepada sang Papa kalau Kanaya tidak mengangkat panggilannya. Antonio yang tampak kesal berusaha menahan emosinya.
"Gadis ini," gerutunya dalam hati.
"Ed, sepertinya cucuku sedikit terlambat, apa kita bicara saja di rumahku," bujuknya.
"Maaf sebelumnya, saya ada rapat penting hari ini, jadi saya harus segera ke kantor," tegas Ethan.
Ethan mengetahui semuanya karena ia mendengar semua ucapan sang Kakek. Rasanya sangat tidak masuk di akal bila hari itu mereka masih membahas masalah perjodohan setelah apa yang terjadi. Ethan sangat kesal pada kakeknya dan juga Antonio.
"Baiklah, kalau begitu bagaimana kalau minggu depan kita membicarakan semuanya, setelah semua tenang aku rasa adalah waktu yang tepat membahas perjodohan ini," ujar Edward.
"Lagipula mana mungkin hari ini kita ke rumahmu untuk membahas perjodohan Nio, aku tak berani menatap wajah Alex dan Evelyn," batin Edward.
"Ya sudah, aku setuju," ucap Antonio.
"Kalau begitu kami duluan Nio, Camelia," ucap Edward.
"Iya Ed,"
Camelia membungkukkan tubuhnya memberikan hormat pada Edward.
Ethan memapah sang Kakek yang menggunakan tongkat itu, mereka masuk ke mobil dan langsung meninggalkan pemakaman.
"Mama!" panggil Kanaya yang tergesa-gesa berlari kecil menuju ke pemakaman Clarista.
Camelia menepuk jidatnya sambil melirik ke arah sang Papa. Benar saja wajah Antonio begitu dingin.
"Papa pasti marah pada Kanaya," batin Camelia.
"Kakek, kenapa sudah sepi?" tanya Kanaya melirik kesana kemari.
"Pemakaman sudah selesai, bagaimana bisa kau tak melihat pemakaman Sepupu mu satu-satunya," ucap Antonio datar.
Kanaya menundukkan kepalanya, ia tahu kali ini dia salah dan dia tak berani membantah Kakeknya.
"Setelah berdoa kau segera kembali ke rumah, ada yang ingin Kakek bicarakan padamu!" ucapnya lalu pergi meninggalkan Kanaya dan Camelia.
"Baik Kek," jawab Kanaya.
Camelia yang sudah tahu apa yang akan dibicarakan Papanya hanya bisa menghela nafasnya, ia tak sanggup mengatakan itu kepada Putri semata wayangnya itu, biarlah Kanaya mendengar itu langsung dari Kakeknya sendiri.
"Apa yang mau di bicarakan Kakek padaku Ma," tanya Kanaya bingung.
"Entahlah, persiapkan saja dirimu!" ujar sang Mama.
"Camelia!" panggil Antonio.
"Iya Pa," jawab Camelia.
"Cepatlah kemari, kau pulang bersamaku, biarkan saja Kanaya pulang sendiri," teriaknya.
"Baik Pa," jawab Camelia.
"Mama pulang duluan, setelah berdoa kamu segera pulang, jangan keluyuran lagi," perintah sang Mama.
"Iya Mama,"
Camelia pun pergi meninggalkan Kanaya sendiri. Kini hanya ada Kanaya dan juga makam Clarista.
Kanaya membawa satu buket mawar putih dan meletakkannya di atas pusara Clarista.
Kanaya menutup matanya dan mendoakan Clarista sepenuh hatinya.
"Aku berharap kau bisa tenang di sana, apapun masalahmu yang membuatmu pergi dengan cara seperti ini, aku harap kami bisa mengetahuinya, tenanglah di sana Clarista, aku berjanji akan mencari tahu penyebab kau tiada," ucapnya.
Kanaya kembali teringat masa lalunya bersama Clarista, sejak kecil mereka sudah hidup bersama, meskipun sebenarnya lebih banyak kenangan buruk daripada kenangan indah bersama Sepupunya itu.