Masa Kecil

1063 Kata
Masih teringat jelas di hati Kanaya bagaimana dulu Clarista berusaha mati-matian untuk membuat Kakek mereka marah kepada Kanaya, dan hal yang paling di ingat jelas oleh Kanaya adalah, ~ "Kanaya! kau itu tidak punya Papa! aku tidak pernah melihat Papamu," ledek Clarista yang saat itu masih berusia sepuluh tahun dan Kanaya berusia delapan tahun. Kanaya berjongkok dan menyembunyikan wajah mungilnya di balik lutut. "Papaku ada, kata Mama Papa hanya pergi sebentar," gumamnya. Clarista tertawa terbahak-bahak. "Mamamu itu berbohong bodoh! mungkin saja kau itu anak pungut!!!" teriak Clarista dengan suara tawa yang melengking. "Tidak! tidak! tidak!" Kanaya menutup kedua telinganya dengan tangan, namun suara tawa itu semakin kuat membuat Kanaya kehabisan kesabarannya. Kanaya yang tingginya hanya berbeda lima sentimeter saja dari Clarista berdiri lalu menarik boneka yang ada di tangan Clarista dan melempar boneka itu ke selokan yang tak jauh dimana keduanya berdiri. Kebetulan mereka sedang berada di taman untuk bermain. Clarista menangis sekuat tenaganya membuat para pembantu rumah tangga berlarian ke arah mereka. "Ada apa Nona Clarista?" "Kanaya membuang boneka ku, boneka ku sekarang sudah kotor!" teriak Clarista sambil menunjuk ke arah selokan. Saat itu juga, Antonio sang Kakek memarahi Kanaya habis-habisan. Antonio bahkan tidak mau mendengar alasan kenapa Kanaya sampai melakukan itu. "Selama seminggu kau tidak boleh bermain dengan Reins!" ancam Antonio. Ia menatap tajam ke arah Kanaya. Antonio tahu betul gadis kecil itu hanya memiliki Reins sebagai temannya. "Ta-pi Kek, Kanaya melakukannya itu karena-" "Cukup! kau ini masih berani mengelak! jangan kau bawa-bawa sikap kurang ajar ayahmu yang miskin itu ke rumah ini, mengerti!" bentak Antonio memotong penjelasan yang ingin Kanaya katakan. Antonio sangat kesal karena boneka itu adalah pemberiannya, ternyata Clarista sudah berbohong pada sang Kakek, dia mengatakan kalau Kanaya membuang boneka itu karena iri padanya, karena sang Kakek hanya memberikan boneka padanya saja, sedangkan Kanaya tidak. Kanaya menangis tersedu-sedu di kamarnya, saat itu Camelia mamanya sedang berada di luar kota untuk melakukan perjalanan bisnis. "Mama-" Panggil Kanaya dari dalam kamarnya. "Kenapa Kakek selalu menyayangi dan selalu mendengar apa yang di katakan Clarista, kenapa Kakek tidak pernah mau mendengar penjelasanku dulu," Tangisan pilu itu sangat memilukan, ia bukan bersedih karena hukuman yang diberikan sang Kakek, ia sedih karena perbedaan sikap yang di tunjukkan Kakeknya itu kepada mereka berdua, padahal sudah jelas kalau Kanaya juga cucunya. Tetapi Kanaya adalah gadis yang kuat, ia tak mau Mamanya bersedih, setelah Mamanya kembali dari perjalanan bisnis, Kanaya tidak mengatakan apapun tentang ketidakadilan yang ia terima selama Mamanya itu pergi. Begitulah keseharian Kanaya semasa kecil, Clarista tidak segan-segan mencari masalah dengannya terutama bila Mama Kanaya alias Tantenya itu sedang pergi melakukan perjalanan bisnis. Namun Kanaya selalu bahagia karena Evelyn, Mama dari Clarista itu selalu membelanya di hadapan sang ayah mertua alias Kakek Clarista dan Kanaya. Evelyn selalu bersikap bijaksana, tidak peduli Clarista itu adalah Putrinya, ia akan selalu mendengarkan penjelasan dari Kanaya dulu apabila Kanaya dan Clarista bertengkar. Itu juga penyebab Kanaya selalu menghormati Evelyn. Tidak jarang Evelyn lebih sering memarahi putrinya itu dibandingkan Kanaya. Hal itu membuat Clarista semakin kesal dan selalu mencari masalah hingga mereka beranjak dewasa. Suatu ketika saat Kanaya sudah berusia empat belas tahun dan Clarista berusia enam belas tahun, saat itu keduanya sama-sama duduk di bangku menengah atas, Kanaya yang memang cerdas selalu mendapat nilai terbaik dan rangking pertama, berbeda dengan Clarista yang selalu berada di rangking terakhir. Clarista yang saat itu kesal karena melihat Kanaya membawa piala dan menunjukkan pada sang Kakek. "Kakek, lihatlah aku membawa piala ini, aku mendapat juara satu umum di sekolah," ujarnya sambil tersenyum lebar. Antonio yang senang melihat pencapaian Kanaya memeluk tubuh anak yang sudah remaja itu. "Kau memang keturunanku Kanaya, kau gadis yang pintar, aku rasa akan mewariskan perusahaan ku padamu," ucap Antonio. Kanaya tersenyum sumringah, sedangkan Clarista yang berdiri tak jauh dari mereka sudah mengepalkan kedua tangannya. Namun Antonio tak diam saja saat melihat kehadiran Clarista dengan wajah yang masam. "Clarista, kemarilah Sayang," panggil Antonio. Kanaya duduk di sebelah kanan Antonio dan Clarista duduk di sebelah Kiri Antonio. Antonio merangkul kedua cucu perempuannya itu. "Clarista, kau adalah lambang kecantikan di rumah ini, dan kau Kanaya adalah lambang kecerdasan, Kakek merasa beruntung memilki cucu seperti kalian berdua," pujinya. Mendengar pujian sang Kakek membuat Kanaya sangat bahagia, sedangkan Clarista masih saja memasang wajah masam. "Clarista, masa yang akan datang mungkin kau tidak akan bisa mengurus perusahaan kita sebaik Kanaya, tapi percayalah Kakek akan menikahkan mu dengan pria paling kaya di kota ini," bujuk sang Kakek. "Benarkah Kek?" "Iya Sayang, kau akan menjadi wanita paling beruntung di dunia ini tanpa harus bekerja keras," "Makasih Kek," Clarista yang tadinya murung berubah menjadi periang setelah mendengar kata-kata dari kakeknya. "Dan kau Kanaya, belajarlah dengan baik agar kau bisa mengurusi perusahaan kita di masa yang akan datang," Kanaya mengangguk "Baik Kek," Setelah keduanya tenang, sang Kakek menyuruh mereka untuk masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Tetapi saat ingin masuk ke kamarnya, Clarista menarik tangan Kanaya dan membawanya ke pojok rumah, tempat yang sepi karena tidak di lalui para pekerja rumah tangga. "Lepas Clarista! tanganku sakit." bentak Kanaya menghempaskan tangan Clarista. "Kau dengar kan apa kata Kakek, dia akan menikahkan ku dengan pria kaya karena aku sangat cantik, sedangkan kau disuruh untuk bekerja keras," ledek Clarista. "Lalu kenapa? ada yang salah?" tanya Clarista memasang wajah datar. Clarista menjitak kepala Kanaya. "Dasar bodoh! itu artinya aku lebih berharga di mata Kakek, dia tidak ingin aku capek sedangkan Kau, Kakek ingin kau yang meneruskan perusahaan karena kau memang pantas melakukan pekerjaan sulit," kekeh Clarista. Kanaya tertawa pelan, sangat pelan membuat Clarista kesal. "Itu semua karena Kakek merasa kau tidak mampu bodoh! kau hanya bisa mengandalkan wajahmu ini saja, kau dan aku memang berbeda, aku ingin mendapatkan apapun dengan hasil kerja keras bukan bergantung pada lelaki!" tegas Kanaya menghempaskan tangan Clarista yang masih menggenggam kuat tangannya. "Sialan kau Kanaya! lihat saja nanti ketika kita sudah dewasa, siapa yang akan lebih bahagia, kau atau aku!" "Oke!" Kanaya pun langsung pergi setelah menjawab pertanyaan Clarista itu dengan singkat. Clarista mengepalkan kedua tangannya. ~ "Kalau mengingat ucapanmu dulu, aku tidak menyangka kau melakukan ini Clarista, saat mendengar pertunanganmu dengan seorang konglomerat aku merasa kau sudah memenangkan taruhan kita, tapi aku tidak menyangka kau malah berakhir seperti ini," ucapnya menatap ke arah pusara Clarista yang di penuhi oleh bunga-bunga berwarna-warni. Kanaya pun memutuskan untuk pulang, ia teringat akan perkataan sang Kakek yang ingin bicara dengannya. "Aku pulang dulu Clarista," ucapnya dan pergi meninggalkan tempat pemakaman itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN