Kanaya Setuju

1030 Kata
"Benarkah aku boleh memelukmu Kek?" tanya Kanaya memastikan apa yang terjadi bukanlah mimpi atau karena ia salah mendengar. "Benar Kanaya, ke marilah Nak," Kanaya berdiri dan mendekat dengan sang Kakek. Kanaya dan Antonio berpelukan, ini adalah pertama kali Kanaya di peluk oleh Antonio, Kakeknya. "Kakek menyayangimu Kanaya, maaf kalau selama ini Kakek terlalu keras padamu," bisiknya. "Aku juga sayang padamu Kek," jawab Kanaya yang sudah meneteskan air mata. Camelia yang sedang mengintip bahkan sampai menutup mulutnya dengan tangan karena kaget, begitu juga Alex dan Evelyn. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Camelia. "Jangan-jangan, Kanaya menyetujui permintaan Papa," jawab Alex. Evelyn menggeleng-gelengkan kepalanya "Papa kalian memang sudah tidak waras!" pekik Evelyn pergi meninggalkan Alex dan Camelia yang masih mengintip. Evelyn terus menggerutu sepanjang perjalanannya menuju kamar. "Aku tidak habis pikir, bisa-bisanya Papa ingin menumbalkan Kanaya juga demi perusahaan, aku yakin semua orang juga dapat merasakan kalau Ethan itu bukan pria baik!" gerutu Evelyn mengepalkan kedua tangannya. Camelia merasa was-was, ia pun sebenarnya tidak ingin Kanaya menikah secepat ini. Tapi melihat raut kebahagiaan Papanya, ia yakin itu semua karena Kanaya sudah setuju dengan perjodohan itu. "Bagaimana ini Mas Alex? apa Putriku yang masih kecil itu akan di nikahkan oleh Papa?" "Entahlah Lia, aku pun masih tidak habis pikir dengan pola pikir Papa," bisiknya. Camelia mendesah, ia tidak menyangka kalau Kanaya akan semudah itu menerima perjodohan, berbeda dari Clarista, Kanaya biasanya bisa lebih jujur pada dirinya ataupun orang lain, itu sebabnya Camelia tidak khawatir saat Kanaya berbicara berdua saja dengan Papanya. "Kalau begitu aku menyusul Evelyn, kau bicarakan lah baik-baik pada Papa, bagaimana pun ini berkaitan dengan masa depan Kanaya, dan Kanaya adalah satu-satunya pewaris keluarga Taufan yang tersisa, " tegas Alex. Camelia mengangguk "Baik Mas," Memberanikan diri, Camelia berjalan ke arah ruang keluarga, Kanaya dan Antonio menyambut dirinya dengan senyuman lebar. "A-apa yang terjadi? kenapa Papa dan Kanaya berpelukan?" tanya Camelia. "Kanaya setuju dengan perjodohan," jawab Antonio. Camelia melotot menatap ke arah Kanaya seakan-akan memberi kode mengapa Kanaya semudah itu setuju. "Jangan buat Kanaya bimbang, aku akan menghubungi Edward, bawalah Kanaya ke kamarnya," perintah Antonio. Camelia menarik tangan Kanaya dan membawa Putrinya itu dengan segera. Dengan percaya diri dan senyuman lebar di bibirnya, Antonio menghubungi Edward. "Halo Ed, aku punya kabar gembira!" "Kabar gembira?" Edward sedikit heran, kenapa Antonio mengatakan akan ada kabar gembira, padahal mereka baru saja kehilangan salah satu anggota keluarga. "Kanaya setuju dengan perjodohan ini," "Kanaya? Cucumu?" "Iya Ed, kita harus segera mempertemukan Kanaya dan Ethan, aku pikir kali ini tidak perlu ada pertunangan segala, lebih baik langsung kita nikahkan!" "A-apa? ayolah Nio kenapa kau terlalu terburu-buru seperti ini, kalian baru saja kehilangan Clarista, apa mungkin akan mengadakan pesta pernikahan dalam waktu dekat ini?" "Tidak masalah Ed, bukankah kau bilang kalian membutuhkan calon pewaris selanjutnya dengan segera, kalau Ethan dan Kanaya menikah sekarang, mereka akan segera memiliki keturunan," "Hah, keturunan? kau benar Nio," Seperti biasa, Edward akan lebih bersemangat bila membahas keturunan, ia memang sudah tidak sabar ingin menimang cicit, matanya akan menjadi berbinar-binar bila mendengar kata-kata keturunan. Dan sepertinya Antonio tahu bahwa itu adalah kelemahan Edward. "Kalau begitu hari minggu kalian kemari, kita akan langsung membicarakan pernikahan Kanaya dengan Ethan," "Ba-baiklah Nio, aku akan mengabari Ethan," Sambungan telepon itu pun terputus, Edward yang masih shock menggaruk-garuk lehernya. "Apa-apaan si Antonio, bagaimana bisa kita mengadakan pesta pernikahan padahal mereka masih dalam keadaan berduka?" batin Edward. Namun, Edward sangat mengenal baik Antonio, ia tidak pernah sekalipun berpikir negatif mengenai sahabat yang ia sudah kenal sejak mereka masih kanak-kanak. "Apa Antonio sangat ingin berbesan denganku," kekeh Edward. "Sialan! sekarang apa yang harus aku katakan pada Ethan, astaga ini pasti lebih akan menyulitkan," umpat Edward. ~ Camelia terus menarik lengan Kanaya, ia membawa putrinya itu ke kamarnya. Camelia mendudukkan Kanaya di atas ranjang dan menatap putrinya itu dengan tajam. "Apa ini Kanaya?" bentak Camelia. "Apa lagi Ma?" jawab Kanaya lesu. "Kenapa kamu setuju untuk menikah? kau bahkan belum melihat pria itu," "Apalagi yang bisa aku lakukan Ma? Clarista saja mau menerima perjodohan itu, kenapa aku tidak ma," Kanaya meremas celananya, ia masih mengingat jelas ucapan Kakeknya yang mengungkit kebaikannya selama ini, tetapi Kanaya tak berdaya dan sebagai anak sekaligus cucu, ia cuma bisa pasrah sama seperti Clarista. "Karena itu Kanaya, apa kau tidak takut Nak, Mama saja masih terbayang-bayang bagaimana Clarista tergantung di kamarnya, dan sekarang kau ingin menyerahkan dirimu kepada pria dingin itu," "Sebenarnya kita gak bisa menuduh pria itu Ma, Reins bilang padaku kalau dia pernah melihat Clarista dengan pacarnya," "A-apa?!" Camelia mengernyitkan dahinya. "Apa maksudmu Kanaya?" "Apa Tante Eve dan Om Alex tidak tahu kalau Clarista memiliki kekasih Ma?" "Setahu Mama tidak," "Mungkin itulah penyebab Clarista bunuh diri Ma, mungkin dia putus asa karena tidak bisa menikahi pria yang dia cintai karena Kakek menjodohkannya, sedangkan aku tidak memiliki kekasih, mungkin ini lebih mudah untukku Ma," ujar Kanaya. Camelia menepuk pundak Kanaya yang tampak pasrah. "Kenapa Mama merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan, apa ada kata-kata Kakek yang menyakitimu?" "Tidak ada Ma," Kanaya bangkit. "Aku mau kembali ke kamarku Ma, aku lelah," Kanaya meninggalkan Mamanya begitu saja, tidak ada alasan yang jelas untuk membuat Camelia yakin, raut wajahnya terlihat seperti biasa, tidak terlihat kesedihan ataupun kebahagiaan. "Kenapa harus begini? kenapa nasib putriku seperti ini?" lirih Camelia. Kanaya tersenyum sebelum menutup pintu kamar Mamanya. Setelah pintu kamar itu tertutup, Kanaya memegangi dadanya yang terasa sesak. Sejak tadi ia berusaha menyembunyikan kesedihannya, baginya ini semua demi keluarga. Meskipun ada kata-kata Kakeknya yang sangat menyakitkan, ia tak mau memberitahu kepada Mamanya. Kanaya melewati kamar Tante Eve dan Om Alex. Kanaya tahu betul, kabar buruk ini pasti membuat Tante Eve dan Om Alex pun bersedih. Kanaya ingin membicarakan hal ini dengan Tante Eve dan Om Alex, namun dia merasa kalau kedua orang itu pasti masih berkabung atas kematian Clarista. "Sebaiknya nanti saja aku bicara pada Tante Eve, sekarang semua orang harus menenangkan diri terlebih dahulu," Kanaya melewati kamar Tante dan Omnya itu. Ia berjalan masuk ke dalam kamarnya. "Jujur aku sangat gelisah, aku sendiri tidak percaya kenapa aku begitu mudah menerima perjodohan ini, apa karena aku terlalu haus akan pengakuan Kakek? atau karena aku mulai bersikap seperti Clarista yang ingin selalu di sayang oleh Kakek?" Kanaya membaringkan tubuhnya di ranjang sambil menutup wajahnya dengan bantal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN